Di antara dalilnya adalah firman Allah Ta'ala:
فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلا يَضِلُّ وَلا يَشْقَى وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
“Barang siapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". (Thaahaa: 123-124)
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barang siapa yang mengerjakan AMAL SHALIH, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan BERIMAN, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya KEHIDUPAN YANG BAIK dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 97)
Seberapa besar kebutuhan seorang hamba terhadap petunjuk Allah? Mengapa kita harus senantiasa memohon petunjuk kepada Allah, terutama ketika shalat dengan membaca:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
(Al-Fatihah: 6).
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan:
”Ayat ini mengandung penjelasan bahwa sesungguhnya setiap hamba tidak akan mendapatkan jalan untuk menggapai kebahagiaannya kecuali dengan tetap istiqamah di atas jalan yang lurus. Dan tidak ada jalan untuk meraih keistiqamahan baginya kecuali dengan hidayah dari Rabb-nya kepada dirinya. Sebagaimana tidak ada jalan baginya untuk beribadah kepada-Nya kecuali dengan pertolongan-Nya, maka demikian pula tidak ada jalan baginya untuk bisa istiqamah di atas jalan tersebut kecuali dengan hidayah dari-Nya.” (Al Fawa’id, hal. 21).
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan:
”Seandainya bukan karena sedemikian besar kebutuhan hamba untuk memohon hidayah siang dan malam, niscaya Allah Ta’ala tidak perlu membimbing hamba-Nya untuk melakukan hal ini. Karena sesungguhnya setiap hamba sangat membutuhkan pertolongan Allah Ta’ala di sepanjang waktu dan keadaan agar petunjuk itu tetap terjaga, kokoh tertanam, semakin paham, meningkat, dan agar dia terus berada di atasnya…” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, I/37)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah mengatakan:
”Jalan yang lurus ini adalah jalannya orang-orang yang diberi kenikmatan khusus oleh Allah, yaitu jalannya para nabi, orang-orang yang shiddiq, para syuhada dan orang-orang shalih. Bukan jalannya orang yang dimurkai, yang mereka mengetahui kebenaran namun sengaja mencampakkannya seperti halnya kaum Yahudi dan orang-orang semacam mereka. Dan jalan ini bukanlah jalan yang ditempuh orang yang sesat; yaitu orang-orang yang meninggalkan kebenaran karena kebodohan dan kesesatan mereka, seperti halnya kaum Nasrani dan orang-orang semacam mereka.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 39).
Allah Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik." (Al-'Ankabuut: 69)
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan:
”Allah Subhanahu wa Ta'ala mengaitkan hidayah dengan jihad (kesungguh-sungguhan). Maka orang yang paling sempurna hidayahnya adalah yang paling besar jihadnya dan jihad yang paling wajib adalah berjihad untuk menundukkan diri sendiri, melawan hawa nafsu, memerangi syaitan, dan menundukkan urusan keduniaan. Barang siapa yang berjihad melawan keempat hal ini di atas petunjuk Allah maka Allah akan menunjukkan kepada-Nya berbagai jalan untuk menggapai keridhaan-Nya dan akan mengantarkan dirinya menuju ke dalam surga-Nya. Dan barang siapa yang meninggalkan jihad, maka akan luput pula darinya petunjuk sebanding dengan jihad yang ditinggalkannya. Al Junaid mengatakan,”Orang-orang yang berjihad menundukkan hawa nafsu mereka di atas jalan Kami dengan senantiasa bertaubat, maka Kami akan menunjukkan kepadanya jalan-jalan keikhlasan, dan tidak mungkin sanggup berjihad menghadapi musuh fisik yang ada di hadapannya kecuali orang yang telah berjihad menundukkan musuh-musuh ini di dalam dirinya…” (Al Fawa’id, hal. 58).
Allah Ta’ala berfirman:
فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنَ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Maka apabila mereka tidak memenuhi seruanmu (wahai Muhammad), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka itu hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada kaum yang zalim.” (Al-Qashash: 50).
Ayat ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa SEMUA ORANG yang tidak mau memenuhi seruan Rasul dan justru menganut pendapat yang menyelisihi ucapan Rasul maka dia tidaklah bermadzhabkan bimbingan hidayah, akan tetapi madzhabnya adalah hawa nafsu.
Orang-orang yang dimaksud oleh ayat ini adalah orang yang kezhaliman telah menjadi karakter hidupnya dan (sifat) suka menentang (kebenaran) telah melekat dalam perangainya. Ketika hidayah menyapa, mereka justru menolaknya. Mereka lebih senang menuruti kemauan hawa nafsunya. Mereka sendirilah yang menutup pintu-pintu dan jalan menuju hidayah. Mereka justru membuka pintu-pintu kesesatan dan jalan menuju ke sana. Mereka menutup mata dan tidak mau tahu, padahal mereka telah tenggelam dalam kesesatan dan penyimpangan. Mereka terombang-ambing, hidup di ambang kehancuran.
(Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 618).
Adapun tentang beriman kepada Allah, yang dapat dijelaskan di sini adalah:
Pengertian Iman
Iman menurut bahasa adalah membenarkan. Adapun menurut istilah syari’at yaitu meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan membuktikannya dalam amal perbuatan yang terdiri dari tujuh puluh tiga hingga tujuh puluh sembilan cabang. Yang tertinggi adalah ucapan لاَ اِلَهَ اِلاَّ لله dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan yang menggangu orang yang sedang berjalan, baik berupa batu, duri, barang bekas, sampah, dan sesuatu yang berbau tak sedap atau semisalnya.
Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam bersabda:
”Iman lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang, paling utamanya perkataan لاَ اِلَهَ اِلاَّ لله dan yang paling rendahnya menyingkirkan gangguan dari jalan, dan malu merupakan cabang dari keimanan.” [HR. Muslim (35), Abu Dawud (4676), Tirmidzi (2614)]
Iman kepada Allah
Iman kepada Allah adalah mempercayai bahwa Dia itu maujud (ada) yang disifati dengan sifat-sifat keagungan dan kesempurnaan, yang suci dari sifat-sifat kekurangan. Dia Maha Esa, Mahabenar, Tempat bergantung para makhluk, tunggal (tidak ada yang setara dengan Dia), Pencipta segala makhluk, Yang melakukan segala yang dikehendaki-Nya, dan mengerjakan dalam kerajaanNya apa yang dikehendaki-Nya. (Pengertian oleh Imam Ibnu Daqiq dalam Syarah Arbai’in an-Nawawi, penerbit Darul Haq, hal. 41)
Beriman kepada Allah juga bisa diartikan, berikrar dengan macam-macam tauhid yang tiga serta beri’tiqad (berkeyakinan) dan beramal dengannya yaitu tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah dan tauhid al-asma’ wa ash-shifaat. (Pengertian oleh syaikh Shalih al-Fauzan, Prinsip-Prinsip Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, Pustaka Ishlahul Ummah, hal.16)
Mengimani sifat rububiyah Allah (Tauhid Rububiyah), yaitu mengimani sepenuhnya bahwa Allah-lah yang memberi rizki, yang menolong, menghidupkan, mematikan dan bahwasanya Dia itu adalah pencipta alam semesta, Raja dan Penguasa segala sesuatu.
Mengimani sifat uluhiyah Allah (Tauhid Uluhiyah), yaitu mengimani bahwa hanya Dia lah sesembahan yang tidak ada sekutu bagi-Nya, mengesakan Allah melalui segala ibadah yang memang disyariatkan dan diperintahkan-Nya dengan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun baik seorang malaikat, nabi, wali maupun yang lainnya.
Tauhid rububiyah saja tanpa adanya tauhid uluhiyah belum bisa dikatakan beriman kepada Allah karena kaum musyrikin pada zaman Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam juga mengimani tauhid rububiyah saja tanpa mengimani tauhid uluhiyah, mereka mengakui bahwa Allah yang memberi rizki dan mengatur segala urusan tetapi mereka juga menyembah sesembahan selain Allah, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ أَمْ مَنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الأمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلا تَتَّقُونَ
Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah". Maka katakanlah: "Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?" (Yunus: 31)
Dan juga firman-Nya:
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
"Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)." (Yusuf: 106)
Mengimani Asma’ dan Sifat Allah (Tauhid Asma’ wa Sifat), yaitu menetapkan apa-apa yang Allah dan Rasul-Nya telah tetapkan atas diri-Nya baik itu berkenaan dengan nama-nama maupun sifat-sifat Allah, tanpa tahrif[1] dan ta’thil[2] serta tanpa takyif[3] dan tamtsil[4].
[1] Tahrif atau takwil yaitu mengubah lafadz Nama dan Sifat, atau mengubah maknanya, atau menyelewengkan dari makna sebenarnya. Misalnya adalah perkataan Ahli Bid’ah yang menafsirkan Ghadhab (marah) dengan iradatul intiqam (keinginan untuk membalas dendam); Rahmah (kasih sayang) dengan iradatul in’ am (keinginan untuk memberi nikmat); dan Al-Yadu (tangan) dengan an-ni’mah (nikmat). Artinya, mereka ini tetap membiarkan lafazh sebagaimana aslinya, tetapi melakukan perubahan terhadap maknanya.
[2] Ta’thil secara bahasa berarti meniadakan. Adapun menurut pengertian syar’i adalah : Meniadakan sifat-sifat Ilahiyah dari Allah Ta’ala, mengingkari keberadaan sifat-sifat tersebut pada Dzat-Nya, atau mengingkari sebagian darinya. Jadi, perbedaan antara tahrif dan ta’thil yaitu : ta’thil adalah penafian suatu makna yang benar, yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah, sedangkan tahrif adalah penafsiran nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan interpretasi yang bathil.
[3] Takyif artinya bertanya dengan kaifa, (bagaimana). Adapun yang dimaksud takyif di sini adalah menentukan dan memastikan hakekat suatu sifat, dengan menetapkan bentuk/keadaan tertentu untuknya. Meniadakan bentuk/keadaan bukanlah berarti masa bodoh terhadap makna yang dikandung dalam sifat-sifat tersebut, sebab makna tersebut diketahui dari bahasa Arab.
Inilah paham yang dianut oleh kaum salaf, sebagaimana dituturkan oleh Imam Malik rahimahullah ketika ditanya tentang bentuk/keadaan istiwa’ (bersemayam), maka beliau rahimahullah menjawab:
“Istiwa’ itu telah diketahui (maknanya), bentuk/ keadaannya tidak diketahui, mengimaninya wajib, sedangkan menanyakannya bid’ah.”
Semua sifat Allah menunjukkan makna yang hakiki dan pasti. Kita mengimani dan menetapkan sifat tersebut untuk Allah, akan tetapi kita tidak mengetahui bentuk, keadaan, dan bentuk dari sifat tersebut. Yang wajib adalah meyakini dan menetapkan sifat-sifat tersebut maupun maknanya, secara hakiki, dengan memasrahkan bentuk/keadaannya. Tidak sebagaimana orang-orang yang tidak mau tahu terhadap makna-maknanya.
[4] Tamtsil artinya tasybih, menyerupakan, yaitu menjadikan sesuatu yang menyerupai Allah Ta’ala dalam sifat-sifat Dzatiyah maupun Fi’liyah-Nya.
Tamtsil ini dibagi menjadi dua, yaitu :
Pertama :
Menyerupakan makhluk dengan Pencipta. Misalnya orang-orang Nasrani yang menyerupakan Al-Masih putera Maryam dengan Allah Ta’ala dan orang-orang Yahudi yang menyerupakan ‘Uzair dengan Allah pula. Maha Suci Allah dari itu semua.
Kedua :
Menyerupakan Pencipta dengan makhluk. Contohnya adalah orang-orang yang mengatakan bahwa Allah mempunyai wajah seperti wajah yang dimiliki oleh makhluk, memiliki pendengaran sebagaimana pendengaran yang dimiliki oleh makhluk, dan memiliki tangan sebagaimana tangan yang dimiliki oleh makhluk, serta penyerupaan-penyerupaan lain yang bathil. Maha Suci Allah dari apa yang mereka ucapkan.
Dua Prinsip dalam meyakini sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala:
1. Allah Subhanahu wa Ta’ala wajib disucikan dari semua sifat-sifat kurang secara mutlak, seperti ngantuk, tidur, lemah, bodoh, mati, dan lainnya.
2. Allah mempunyai nama dan sifat yang sempurna yang tidak ada kekurangan sedikit pun juga, tidak ada sesuatu pun dari makhluk yang menyamai Sifat-Sifat Allah.
Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata:
“Allah juga memiliki tangan, wajah dan diri seperti disebutkan sendiri oleh Allah dalam al-Qur’an. Maka apa yang disebutkan oleh Allah tentang wajah, tangan dan diri menunjukkan bahwa Allah mempunyai sifat yang tidak boleh direka-reka bentuknya. Dan juga tidak boleh disebutkan bahwa tangan Allah itu artinya kekuasaan-Nya atau nikmat-Nya, karena hal itu berarti meniadakan sifat-sifat Allah, sebagaimana pendapat yang dipegang oleh ahli qadar dan golongan Mu’tazilah. (Pendapat Imam Abu Hanifah tentang Masalah tauhid: http://www.almanhaj.or.id/
Beliau juga berkata: “Allah tidak serupa dengan makhluk-Nya, dan makhluk-Nya juga tidak serupa dengan Allah. Allah itu tetap akan selalu memiliki nama-nama dan sifat-sifat-Nya. (Ibid)
Allah Ta'ala berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
”Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Asy-Syura: 11)
Terakhir, tentang mengerjakan amal shalih. Maka yang harus kita ketahui adalah, apakah amal shalih itu? Bagaimana suatu perbuatan itu dapat dikatakan sebagai amal shalih?
Merujuk kepada dalil-dalil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah, dapat kita temukan bahwa suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai amal shalih apabila memenuhi dua rukun:
1. Ikhlas karena Allah Ta’ala.
2. Mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dua syarat ini disebutkan dengan jelas dalam akhir surat al-Kahfi:
(فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَداً)
“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Rabb-nya.” (Al Kahfi: 110)
Dalam kaitannya dengan masalah ini, Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkomentar tentang firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: “…Agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (Huud, QS 11: 7).
Menurutnya, yang dimaksud dengan “lebih baik amalnya”, adalah amal yang didasari keikhlasan dan sesuai contoh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika ia ditanya, “Wahai Abu Ali, apa yang dimaksud dengan amal yang ikhlas dan benar?” Maka ia menjawab, “Sesungguhnya amal yang dilandasi keikhlasan tetapi tidak benar, tidak diterima oleh Allah. Sebaliknya, amal yang benar tetapi tidak dilandasi keikhlasan, juga tidak diterima oleh Allah. Amal perbuatan itu baru diterima oleh Allah jika didasari dengan keikhlasan dan dilakukan dengan benar. Yang dimaksud dengan “ikhlas” yaitu amal perbuatan itu dikerjakan semata-mata karena Allah, dan yang dimaksud dengan “benar” yaitu amal perbuatan itu harus sesuai contoh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.” Setelah itu, Abu Ali membacakan surat Al-Kahfi: 110 di atas.
Dari sinilah kemudian kita kenal istilah, “Barangsiapa mengamalkan Al-Qur’an tidak sesuai dengan praktik Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (tdk ada contohnya), maka ia tidak dapat dikatakan telah mengamalkan Al-Qur’an.” (As-Sunnah Qablat Tadwin, Dr. Muhammad Ajaj Al-Khathib).
Apabila seorang muslim tidak memahami kaidah tersebut, maka ia akan terjerumus kepada perbuatan bid’ah sebagaimana banyak dilakukan oleh orang-orang sufi.
Di antara contohnya adalah dzikir mereka yang tidak sesuai dengan sunnah, yaitu dzikir dengan menyebut lafal tunggal “Allah”, karena berdalil dengan ayat, “...ingatlah Allah dalam keadaan berdiri, dalam keadaan duduk dan dalam keadaan berbaring.” (An Nisaa’, QS 4: 103). Dan ayat, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab, QS 33: 21).
Karena kurangnya pemahaman mereka tentang As-Sunnah, maka mereka berdzikir dengan mengatakan, “Allah.. Allah.. Allah”. Padahal, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam TIDAK PERNAH melakukan dzikir dengan lafal tunggal “Allah”, tetapi dengan ucapan “Laa ilaaha Illallah”. Atau dengan dzikir lain seperti “Subhanallah”, “Alhamdulillah”, “Allahu Akbar”, dan lain-lain. (Lihat Ensiklopedi Bid’ah, Bab Do’a dan Dzikir, 335).
Di antara contoh lain yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum adalah: tahlilan pada saat kematian maupun sesudah kematian, peringatan Maulid Nabi, peringatan Isra’ Mi’raj, ucapan shadaqallahul adzhim setelah membaca Al-Qur’an, bersalaman setelah shalat, mengusap wajah setelah salam (usai shalat), mengucapkan Alhamdulillah setelah bersendawa, berta’awudz setelah menguap, dzikir bersama dengan menyatukan suara, berdakwah dengan nyanyian dan alat musik, menetapkan masuknya bulan Ramadhan dan Syawwal dengan cara hisab, berdzikir dengan biji tasbih, mengadakan acara Hari Ulang Tahun, Hari Ibu, Hari Keluarga, Hari Valentine, Khataman Al-Qur’an, mengatakan demonstrasi sebagai jihad, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Mengenai banyaknya orang yang melakukan, tidak bisa dijadikan sebagai ukuran dan pembenaran, karena setiap yang berkaitan dengan ibadah sifatnya adalah tauqifi (harus ada dalilnya dan TELAH dilakukan/dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam). Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلا يَخْرُصُونَ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (Al-An’aam: 116).
Kita pun dilarang taqlid buta (mengekor/ikut-ikutan) kepada firqah-firqah (kelompok/golongan/partai)
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai…” (Ali ‘Imran, QS 3: 103).
وَلا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
“..dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (Ar- Ruum: 31-32).
Demikian yang dapat saya sampaikan dalam catatan ini. Semoga Allah Ta'ala mudahkan kita semua untuk bisa menerima petunjuk Allah Ta'ala dan istiqomah di dalam mengikuti petunjuk-Nya, dapat beriman kepada Allah Ta'ala dengan keimanan yang benar, dan dapat mengerjakan amalan-amalan shalih yang dapat mendekatkan diri kita kepada-Nya dan mendatangkan keridhaan-Nya, sehingga kita semua bisa menjadi hamba-hamba Allah yang bisa memperoleh kebahagiaan yang hakiki, Allahumma amin.
Bagi yang ingin mengetahui “Apa Sih Bid’ah Itu?” Silakan baca catatan saya berikut ini:
http://www.facebook.com/no
Abu Muhammad Herman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar