Sayang. Aku masih penat. Keringat masih belum kering dari baju kerjaku. Peluh masih merona diwajahku. Tapi kamu? Kamu terus saja cerita tentang tetangga yang marah-marah padamu. Mengkritikmu habis-habisan soal ketidakhadiranmu yang tanpa berita pada acara rapat di RT kita kemarin. "Iya Bang, khan mestinya ia datang atau menelpon keq, sebelum membatalkan acara itu. Aku khan nggak enak badan jadi nggak datang dalam acara itu," seperti bunyi KRL kamu terus bernyanyi, "nggak bisa dong, dia seenaknya saja membatalkan acara ini. Kalau memutuskan itu ya di rapat, mau diundur atau di cancel atau malah dibubarin sekalian."
Seperti orang yang sedang buang air bekas cucian dari ember, kau tumpahkan seluruh kesahmu. Aku sampai tak sempat bernafas untuk duduk mencicipi kopi hangat yang kau bikinkan. "Bener, aku kesel banget. Untung aza aku masih bisa nahan emosi. Kalo nggak khan bisa jadi ribut kita."
Cintaku, aku salut padamu. Kamu masih bisa menahan amarah. Padahal, gelombang itu meronta-ronta. Seakan membakar seluruh ruangan kognitif dan afeksimu. Kamu masih mending. Kalau aku, belum tentu semampu kamu menahan. "Terimakasih yah sayang. Kamu menjaga kata-kataku untuk tidak berkonfrontasi dengan orang. Bertengkar. Siapapun dia." Kukatakan itu sembari menyeruput kopi yang cukup manis hanya dengan memandang wajahmu yang memang manis. Pun, bila kamu sedang marah.
Jangan pernah bertengkar. Karena orang alim mengatakan bertengkar itu jelek. Apa pun kondisinya. Bertengkar itu tetap buruk. Walau pun seandainya kita dalam posisi yang benar. Sebab, ketika terjadi pertengkaran, orang akan melihat ?tengkar?-nya saja pada saat itu. Orang tidak mengerti. Dan, mungkin tidak akan pernah sampai pada pengertian bahwa kita, dalam posisi yang benar. Para tetangga akan mengatakan, "Eh, ibu anu tadi bertengkar dengan anu lho. Seru loh." Yang lain menimpali, "Iya, aku juga dengar ibu A ribut dengan ibu B." Percayalah padaku, mereka tidak dan tidak akan pernah berkesimpulan bahwa kita pada posisi yang benar. Mereka hanya tahu kita ribut. Itu saja.
Begitulah sayang,
Dalam kehidupan nyata, sangat banyak kejadian yang harus kita hadapi. Seberapa sukses kita menghadapinya adalah berbanding lurus seberapa kemampuan diri kita dan seberapa besar keyakinan kita kepada Allah. Aku nilai kamu lulus untuk satu hal. Kamu tiodak terpancing untuk melawan dan berkonfrontasi dengan kritikan sang tetangga. Sabarlah, nanti orang pun tahu siapa yang benar.
Walau pun demikian, sayangku,
Salah satu problem yang pasti akan dihadapi oleh siapapun adalah menerima kritikan. Mendengar kata "kritik" saja kesan kita pasti sesuatu yang menghinakan, menyakitkan dan merendahkan diri kita. Bahkan kebanyakan orang menganggap pengritiknya adalah musuh. Mereka memberikan label ?lawan? bagi mereka yang memberikan analisa kritis. Ada segumpal argumentasi yang berlandaskan prasangka buruk (suhudzon) terhadap kritik yang diterima. Bahwa mereka ingin melakukan sesuatu yang tidak baik. Mereka mengincar jabatan kita. Mereka ingin kita tidak dihormati. Mereka ingin kita dimusuhi. Mereka hanya ingin berkuasa dengan cara merendahkan kita. Begitu seterusnya. Tapi sekali lagi. Itu hanya berpondasi prasangka buruk.
Dan,istriku sayang,
Menurut hematku, perasaan itu tak berguna. Buang saja jauh-jauh. Itu hanya energi negatif yang semakin membuat kita terpuruk. Semua perasaan itu hanya akan menutupi semua akal sehat kita. Sehingga, alih-alih akan mendapatkan solusi. Yang terjadi, malah memburuk. Bagaimana mungkin meraih solusi kreatif bila akal sehat sudah tertutup.
Kamu tahu akibat? jika sebuah kritik terlontar maka yang terjadi adalah permusuhan atau paling tidak perbedaan pendapat yang menegangkan. Walaupun memang itu tidak tidaklah salah. Setiap manusia membutuhkan rasa aman. Jika rasa itu terganggu maka muncullah perlawanan.
Tapi, mari berpikir tenang dan santai. Mari kita tanya diri kita keuntungan apa yang akan kita dapatkan dari permusuhan ini? Jawabannya jelas : Tidak ada!
nah, duhai istriku,
Bagi kita dan orang-orang yang sedang memperbaiki diri, kritikan justru bisa memantik diri untuk menjadi lebih baik. Kita tidak akan dan tidak akan pernah mau menghabiskan energinya untuk melampiaskan kekecewaan hatinya.
Malah kamu sudah menang selangkah. Kamu tetap sabar dan menyibukan diri dengan mencari hikmah dan segera diterapkan dalam diri agar terjadi percepatan perubahan yang sangat nyata.
Bagaimana jika kritikan itu merendahkan diri kita? Ah, sebenarnya kalau kita mau jujur, kita adalah lebih rendah dari isi kritikan itu. Kita merasa direndahkan oleh kritikan karena kita merasa tinggi dan mulia. Bukankah, Justru merasa mulialah yang akan menjerumuskan kita ke neraka. Bukankah merasa lebih hina akan lebih memompa semangat kita untuk terus menata hati dan diri.
Bagaimana jika kritikan itu disampaikan bukan pada saat yang tepat?
Sayang, bila pikiran kita seperti tadi, tidak akan pernah ada saat yang tepat untuk sebuah kritikan. Sekali lagi tidak ada.
Bagaimanapun, manusia lebih suka dipuji. Malah, bila ada yang minta dikritik, jarang-jarang ada yang mengatakannya secara terus terang. Kalaupun dikatakan, maka sangat halus menyampaikannya. Justru pada saat kita tidak siap, maka itulah kritikan yang asli. Bisa jadi kritikan ini lebih mirip dengan keadaan kita yang sebenarnya. Malah itu cermin seadanya tentang diri kita.
Bagaimana jika cara menyampaikannya dengan cara yang kurang baik? Kita tidak perlu protes. Bukankah mereka berbicara dengan mulut mereka sendiri? Bukankah idenya muncul dari pikiran mereka sendiri? Kita tidak berhak untuk mengatur orang lain untuk bertindak seperti yang kita inginkan. Biarkan saja mereka berbicara dan kita meraih hikmahnya.
Bagaimana jika yang mengritik adalah orang yang kita cintai? Justru tulah bukti cinta tulus mereka kepada kita. Mereka ingin menyelamatkan kita dari malapetaka dengan kritikan itu. Justru merekalah sahabat sejati kita. Mereka telah merelakan dirinya menjadi cermin bagi kita. Bukankah cermin adalah mahluk paling jujur yang menggambarkan obyek di dekatnya? Teman yang baik itu adalah teman yang mengatakan kondisi sebenarnya tentang diri kita.
Maka sayangku, inilah setangkup cinta untukmu bila ada yang mengkritikmu. Ini advis seorang teman melalui forwardnya. Jangan sekali-kali membantah kritikan itu, biarkan ia tertumpah. Jika kita membantahnya, maka ibarat aliran alir di sungai yang deras dan kita membendungnya. Maka yang terjadi adalah seperti bendungan jebol atau paling tidak, air meluap ke mana-mana. Dengarkan saja. Kalau bisa ajak ia ke tempatyang lebih nyantai. Kalau perlu cari tempat yang bisa minum atau bahkan mungkin saat makan. Sesuatu yang disampaikan setelah kenyang, biasanya diterima lebih santai. Lalu, Dengarkan sampai tuntas dan akui bahwa kritikan itu benar. Ucapkan terima kasih kepada yang menyampaikannya. Ini tidak begitu mudah, tapi justru di sinilah salah satu tolok ukur kualitas diri kita. Berikan maaf dan kirim do'a kebaikan bagi pengritik itu. Inilah tindakan yang terpuji. Memberikan maaf dan mendoakan adalah bagian dari amal sholeh kita, jika dilakukan dengan penuh keihlasan.
Istriku,
Mungkin tidak sesederhana dan semudah itu kita lakukan. Tapi apalah gunanya kita bergelut dengan kritikan sehingga kita kehilangan kesempatan untuk melakukan amal sholeh lainnya? Lebih baik kita ubah energi marah kita menjadi energi perbaikan diri. Jawaban terbaik untuk kritikan adalah perbaikan diri. Tidak pernah merugi orang-orang yang selalu memperbaiki diri.
Dikutip dari draft naskah Sekuntum Cinta untuk Istriku karya Komarudin Ibnu Mikam
komaibnumikam@yahoo.com
Sumber : www.eramuslim.com
Kalau Suamiku Sih...
Suamiku ke luar kota lagi. Terpaksa deh nggak belanja ke pasar, nunggu tukang sayur aja yang biasa beredar di komplek. Waduh! Ibu-ibu, para tetanggaku udah pada ngumpul. Bakalan seru nih. Mereka tengah mengelilingi gerobak sayur yang berhenti tak jauh dari rumahku. Percakapan nggak penting pun meramaikan suasana pagi. Biasalah ibu-ibu...
"Mbak, suaminya ke luar kota lagi ya?? tanya seorang tetanggaku padaku saat
aku baru saja mengucapkan salam pada mereka.
Rata-rata tetanggaku masih muda juga, nggak jauh usianya dariku.
"Kalau saya sih, kalau suami saya lagi keluar kota, bawaannya tuh pingin
tau aja dia lagi di mana, lagi ngapain." Sahut seorang tetanggaku tiba-
tiba.
"Suami mbak suka nelfon nggak?" tanya seorang tetanggaku yang lain padaku.
Duh, ibu-ibu sukanya ngurusin orang lain aja deh, gumamku dalam hati. Aku
sih hanya bisa tersenyum.
"Kalau suami saya nih ya... " kata tetangga depan rumahku, "mesti diingetin
dulu sebelum berangkat ?ntar kalo udah nyampe telfon?. Gitu... Kalo nggak
diingetin bisa nggak ada kabar sampe pulang lagi ke rumah."
"Iya memang... mereka nyantai aja, tapi kita yang khawatir di rumah."
sambung yang lain.
Dalam hati, kalau suamiku sih... tiap ke luar kota tujuannya jelas, bagian
dari pekerjaannya. Jadi gimana mau khawatir?! Emang sih dia nggak pernah
nelfon aku untuk ngasih tau dia sedang apa. Tapi cukup hanya dengan miscal
aku, aku tahu kok dia ngapain aja.
Tiap pagi jam 3 dia miscal, tanda dia udah bangun, mau sholat malem. Jam 5
miscal lagi tanda dia udah sholat subuh, mau ngaji. Miscal Jam 7 tandanya
dia udah makan, udah siap mau beraktivitas. Miscal jam 12 tandanya dia mau
sholat zhuhur trus makan siang. Miscal jam 3 sore tandanya dia mau sholat
ashar. Miscal jam 6 tandanya dia mau sholat maghrib dan diam di masjid
sampe isya. Jam 8 malam dia miscal lagi tanda dia udah makan malam. Kalau
deringnya lama tandanya dia mau ngobrol sama aku atau anak-anak. Kalau
nggak, ya berarti dia capek banget, mau langsung tidur.
"Kalo jeng ini mana khawatir, ibu-ibu." bela tetangga sebelah
rumahku, "Lihat dong jilbabnya. Tinggal berserah diri sama Tuhan, ya
sudah." diikuti dengan anggukan ibu-ibu yang lain.
"Kalau suami saya itu ada lucunya juga... " kata tetanggaku yang sedang
memilih2 sayur bayam, "kadang-kadang tengah malem dia nelfon ke rumah cuma
mo bilang selamat tidur aja. Hi hi..."
"Wah, Kalo suami saya sih, suka nggak sensi. Kalo saya nelfon bilang lagi
kangen sama dia, dia cuma bilang ?besok juga aku pulang?... Mbok ya bilang
kangen juga gitu lho. Nggak sensi deh, nggak romantis!" gerutu seorang
tetanggaku. "Kalau suami mbak? Romantis nggak?" tanyanya padaku.
Walah?! Aku hanya tertawa kecil, lebih sibuk memilih ikan daripada ikut
nimbrung percakapan mereka.
"Eh jangan salah. Jeng ini suaminya romantis buanget." bela tetangga
sebelah rumahku lagi.
Lha?! Aku jadi bingung. Kok malah dia yang lebih tahu.
"Pernah nih..." lanjutnya, "pagi-pagi Jeng ini bikin kopi anget. Suaminya
lagi duduk2 di depan rumah. Saya lagi nyapu halaman. Abis diminum sedikit
sama suaminya, dia minta Jeng ini nyicipin. Ternyata kopinya itu pahit,
lupa dikasih gula. Tapi gelasnya langsung ditarik sama suaminya. Tau nggak
kata suaminya? Katanya gini... ?udah nggak pa pa, abis dicicipin dinda
tadi, langsung manis tuh?. Gituuu..."
Waaa?! Semua orang memandangku... rasanya wajah ini sudah memerah jambu.
Tapi aku jadi inget kejadian sore itu. Hi hi hi. Lucu juga.
"Waduh waduh... nggak nyangka lho mbak." komentar tetanggaku, "Ternyata di
balik itu..."
"Makanya jangan kayak nuduh suami orang nggak romantis gitu dong." sahut
tetanggaku yang lain.
"Kalo suami saya mah jauh dari romantis. Kalo saya lagi pusing, pinginnya
kan dimanja, dipijetin. Eee ini malah disuruh minum obat. Kalo nggak ada,
beli sendiri ke warung." gerutu seorang tetanggaku.
"yah betul atuh. Kalo pusing mah minum obat, masa minum racun." sahut si
akang tukang sayur yang ternyata mengikuti perbincangan pagi itu. Tawa ibu-
ibu pun menyambut ceplosannya. Aku jadi ikut ketawa juga. Tukang sayurnya
ikut-ikutan aja deh.
Pikir-pikir, Kalo suamiku sih... kalo nemenin belanja, selalu ngangkatin
barang2 belanjaan. Kalo aku masak pagi2 untuk sarapan, dia pasti nemenin
aku duduk di ruang makan walaupun sebenernya dia masih ngantuk, nggak tega
katanya kalo aku sendirian di dapur. Kalo aku lagi males nyetrika, dia
bilang ?udah besok aja?, padahal baju itu mo dipake besok itu juga. Emang
sih dia nggak bantuin nyetrika. Tapi aku kan jadi nggak beban.
Tapi apakah suamiku romantis, aku masih ragu... Pernah suatu kali saat
suamiku berada dalam perjalanan ke luar kota. Aku lagi iseng nih ceritanya.
Aku sms dia, "abang, malam ini gelap ya? oh iya, kan bulannya lagi ke luar
kota." Dan tak berapa lama dia membalas, "nggak ada bulan tuh disini, nda.
gelap juga, sama." He he he... ternyata dia nggak ngerti maksudku.
Tapi ah, ngapain aku pikirin. Romantis gak romantis, tetep cinta kok.
Tiba-tiba hp-ku berbunyi di kantong gamisku.
"Wah, ada sms ya, Jeng. Pasti dari suaminya." goda tetangga sebelah rumahku.
"Iya... tadi pagi saya sms nanyain gimana pagi di sana. Ini pertama kalinya
dia datang ke kota itu." jawabku sambil membaca apa yang tertulis di layar
hp-ku itu.
"Apa jeng katanya?" usik tetanggaku yang penasaran melihat aku tersenyum
geli.
"Nggak penting kok." jawabku sambil memasukkan semua belanjaanku ke dalam
plastik dan membayarnya. "Yuk, ibu-ibu... assalaamu?alaykum." Aku pun pamit
pulang ke rumah.
Hmmm, masih dengan senyuman ini... tak bisa hilang kata-kata yang terbaca
di layar hp itu dari benakku, jawaban saat kutanya keadaan pagi di kota
tempat ia sedang berada.
"Dinda sayang... bagaimana hari bisa pagi di sini, sementara matahari
terbit di mata dinda"
Princess LL
wife_wannabe@eramuslim.com
untuk pangeranku... tak perlu kau bacakan puisi dari bawah jendelaku,
jangan pula kau culik aku dengan kudamu, ataupun kau taburkan mawar di
sepanjang jalanku. Ketuk saja pintu itu, maka aku akan menerima apa adanya
dirimu.
Sumber : www.eramuslim.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar