Rabu, 24 Februari 2010

MEMAHAMI MAKNA DAN HAKIKAT HIDUP

Konon kabarnya, menurut para ahli, mutiara yang mahal itu berasal dari masuknya sebutir pasir ke dalam tiram yang terbuka. Pasir yang masuk itu ternyata menimbulkan sakit yang luar biasa sehingga untuk menahan rasa sakit tersebut sang tiram membungkus pasir itu dengan “air liurnya” terus menerus selama betahun-tahun. Sebutir pasir yang terus menerus dibungkus dengan “air liurnya” tiram tersebut, secara tidak sadar telah menghadirkan mutiara yang indah dan mahal harganya.

Teman dan sahabat, terkadang menjalani hidup ini perlu merasakan rasa sakit dan ujian bahkan jatuh hingga titik nol untuk menemukan esensi hidup itu sendiri. Billi PS Lim dalam bukunya “dare to Fail” mengatakan bahwa banyak orang menerjemahkan ujian hidup dan penderitaan sebagai suatu bagian dari kegagalan hidup. Itulah sebabnya ia mengatakan “No failure only success delayed.” (Tidak ada kegagalan, melainkan hanya sukses yang tertunda).

Socrates pernah berkata bahwa hidup yang tidak teruji adalah hidup yang tidak layak untuk dihidupi (unexamined life is not worth living). Hanya ada satu tempat di dunia ini dimana manusia terbebas dari segala ujian hidup, yakni di KUBURAN. Berarti, tanda bahwa manusia tersebut masih hidup adalah ketika dia mengalami ujian, kegagalan, dan penderitaan. Lebih baik kita tahu mengapa kita gagal daripada tidak tahu mengapa kita berhasil.

Seorang profesor pernah menerangkan bagaimana perak harus dimurnikan sebanyak tujuh kali. Perak yang masih kotor harus dipanaskan dan dilelehkan, karena perak berberat jenis besar, maka ketika dipanaskan dia akan turun dan kotorannya akan naik. Saat itulah, kotoran-kotoran yang sudah naik tersebut disaring dan dibersihkan. Setelah mengalami pembersihan tahap pertama, maka kembali perak itu dicairkan untuk kedua kalinya lalu disaring kembali. Hal ini harus dilakukan berulang kali untuk mencapai tingkat kemurnian yang diharapkan. Setelah tujuh kali, barulah perak itu murni, tinggal menyisihkan kotoran-kotoran yang halusnya saja.

Alhasil setelah melalui berkali-kali proses pembersihan, perak itu bisa begitu cemerlang bagaikan cermin. Padahal, ketika masih kotor, betapa sulitnya untuk bercermin pada perak tersebut. Namun, setelah tujuh kali dipanaskan, orang baru dapat melihat wajahnya sendiri pada perak tersebut. Dari sana dapat kita ambil hikmah, bahwa ketika “kotoran hidup” (karakter, watak dan kebiasaan negatif sulit lekang sekali pun sudah berkali-kali berusaha untuk meninggalkannya), maka kita tampaknya perlu masuk dapur api pengujian hidup agar dapat menemukan kembali makna hidup itu sendiri.

Bagaimana memaknai setiap ujian hidup, menjadi sangat berarti bagi kita untuk meraih dan menikmati hikmahnya. Pernah ada seorang trainer yang selalu aktif pada suatu akhir tahun harus diopname di rumah sakit selama beberapa minggu karena serangan stroke ringan, selain itu beliau pun harus menjalani fisioterapi pasca opname. Dia ini sangat bersyukur dengan kondisi sakitnya itu, karena menginap di rumah sakit rupanya menjadi waktu yang indah untuk menikmati arti hidup dan tujuan hidup.

“Ternyata harta dan omset bukan segala-galanya. Bukankah ketika mati lampu adalah kesempatan bagi kita untuk menikmati indahnya terang?” demikian tuturnya.

Apakah masalah kita saat ini? Keluarga yang tidak harmonis? Anak yang susah diatur? Uang yang selalu tidak cukup di tengah-tengah kenaikan biaya hidup yang semakin tinggi? Atau karier yang tidak berjalan mulus dan tersendat?

Tampaknya, kita perlu merenungkan kembali bahwa matahari akan selalu tetap bersinar. Seandainya saat ini mendung, bukan berarti matahari berhenti bersinar. Mungkin ini kesempatan untuk menikmati keteduhan, barang sejenak melakukan refleksi hidup, atau Sang Pencipta heNdak “berbicara” banyak kepada kita karena kita sibuk sehingga ada kalanya “suara”-Nya nyaris tak terdengar. Cepat atau lambat mendung akan berlalu dan matahari akan menunjukkan wajahnya kembali. Kalau pun mendung menjadi hujan, habis hujan pasti tampak pelangi yang indah.

Dalam The Bamboo Oracle, dikisahkan bagaimana pohon bambu yang hidup enak dalam rumpunannya terpaksa harus ditebang dan menderita rasa sakit yang amat sangat ketika dipotong-potong. Namun, sang bambu akhirnya mengerti setelah dia tahu bahwa dirinya dipergunakan untuk saluran air bagi masyarakat, obor, kentongan, dan lemang. Rasa sakitnya ternyata bermakna untuk kebahagiaan oang lain. Mungkin juga ujian hidup yang tengah kita alami saat ini sedang dipersiapkan untuk memberi jalan amal bagi kebahagiaan orang banyak.

************************************************************************

Ketika duduk di bangku SMA, pada pelajaran biologi, guru saya mengatakan bahwa istilah makhluk mengacu pada 3 jenis ciptaan Tuhan, yaitu tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Dia juga menambahkan bahwa ciri-ciri makhluk hidup ada 3 : (1). Tumbuh, (2) Berkembang biak dan (3) Bernafas.

Ambil contoh pohon mangga. Ia merupakan makhluk hidup karena bisa tumbuh, berkembang biak, dan juga bernafas. Dari sebuah biji, ia tumbuh menjadi pohon yang rimbun hingga menghasilkan buah. Pohon mangga juga berkembang biak. Jika kita menanam biji mangga dan merawatnya dengan baik, biji itu akan tumbuh menjadi pohon mangga baru.

Di balik penglihatan mata lahir yang terbatas, pohon mangga juga bernafas dengan cara menghirup zat CO2 (karbon di oksida). Itu sebabnya, di jalan-jalan sangat dianjurkan untuk ditanami pohon, karena dapat menyerap polusi zat CO yang berasal dari kendaraan bermotor maupun asap pabrik.

Hewan adalah contoh makhluk hidup lain yang juga bernafas, tumbuh dan berkembang biak. Seekor induk harimau, misalnya, akan melahirkan bayi harimau yang seiring dengan perjalanan waktu, bayi itu akan tumbuh menjadi harimau dewasa. Tentu saja, selama masih hidup, harimau itu akan selalu bernafas.

Nah pertanyaannya, apakah cukup hidup hanya untuk bernafas, tumbuh, dan berkembang biak seperti tumbuh-tumbuhan dan hewan? Kalau hanya demikian, bukankah berarti kita sebagai manusia tidak ada bedanya dengan dengan hewan atau tumbuhan? Padahal, Allah Swt. telah menciptakan manusia dengan bentuk yang sempurna. Ia memiliki akal dan hati (qolbu) — dua hal yang tak dipunyai oleh makhluk lain. Dengan kedua kelebihan itu, manusia bisa mengeksplorasi bahwa ternyata ada yang lebih penting dari sekedar bernafas, tumbuh, dan berkembang. Manusia sebagai makhluk yang dianugerahi akal dan hati dituntut untuk mampu mengenali hakikat hidup yang sebenarnya.

HAKIKAT HIDUP

Hakikat dapat diartikan sebagai intisari atau dasar. Sementara hidup diartikan sebagai masih terus ada, bergerak, bekerja sebagaimana seharusnya. Jika mengacu pada pengertian tersebut, kita dapat menyebut intisari dari hidup setidaknya tiga arti. Manusia itu hidup jika ia “ada” (eksis), jika ia bergerak (moving), dan jika ia bekerja dengan benar (memiliki makna dan tujuan).

M. Riawan Amin, praktisi manajemen dan mantan Direktur Utama Bank MuAmalat dalam “Celestial Management” menulis, hakikat hidup sebenarnya terdiri dari 3, yaitu :

1. Life is a place of Worship (Hidup adalah ibadah),
2. Life is a place of Wealth (hidup adalah kemakmuran), dan
3. Life is a place of Warfare (Hidup adalah pertempuran).

Life is a place of Worship,

Hidup adalah pengabdian sesuai dengan ayat yang berbunyi,”Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi kepada-Ku.” (QS Adz Dzariyat [51] : 56). Karena hidup adalah pengabdian kepada Tuhan, apa pun yang kita lakukan harus ditujukan kepada-Nya. Bekerja dan beribadah adalah dua hal yang berbeda. Ketika bekerja mencari nafkah, tujuan utamanya adalah mendapatkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya, dan bahkan mungkin tak lagi mempedulikan apakah halal atau haram pekerjaan itu.

Kalau kita jadikan kerja sebagai ibadah, tujuan utamanya bukan hanya sekedar mendapat keuntungan materi semata, tetapi lebih dari itu, yakni mendapat ridho Allah Swt. Dalam bekerja keuntungan memang harus diperoleh, tetapi ketika ibadah yang dijadikan landasan, maka bekerja akan dibingkai dengan cara, etika, dan moral seperti yang diajarkan Tuhan dalam Al-Qur’an :

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu dari (kebahagiaan akirat) dan jangan melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi, berbuat baiklah (kepada oranglain), sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu, dan jangan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS Al-Qasash [28] : 77)

Selanjutnya, ketika dalam bekerja ternyata keUntungan materi tidak didapatkan, ia tidak lantas putus asa dan menghalalkan sebagal cara, tetapi ia tetap berusaha terus bekerja karena baginya yakin betul bahwa pekerjaan yang dilakukannya juga memiliki nilai ibadah. Dengan begitu, ia bisa meraih keuntungan lain yang jauh lebih besar, yakni ridho-Nya. Hidup sebagai ibadah, meminjam bahasa Bpk. Riawan Amin, berarti menyeimbangkan antara hidup di dunia dan akhirat.

Life is a place of Wealth,

Hidup adalah kemakmuran. Kemakmuran itulah yang didamba setiap insan. Dalam perspektif manajemen, orang yang dianggap makmur adalah ketika ia memiliki pendapatan jauh lebih besar dari pengeluaran, mampu memenuhi kebutuhan sehari-harinya (consumption), bisa menjamin masa depannya (saving), dan juga bisa berinvestasi (disposable).

Karena kemakmuran merupakan dambaan setiap orang , maka wajar kalau semua orang terus memburunya, bahkan ada yang cenderung menghalalkan segala cara. Orang yang seperti ini biasanya meyakini bahwa kebahagiaan akan tercapai kalau secara materi sudah tergolong makmur, tapi tidak bahagia. Sebaliknya, ia malah sengsara. Karenanya hidup makmur menurut Bpk. Riawan Amin, adalah ketika kita mampu menyeimbangkan antara kepentingan sehari-hari, masa depan, dan investasi yang kemudian ia bagi (share) kepada orang-orang yang dianggapnya kekurangan.

Life is a place of warfare,

Hidup adalah perjuangan dan pertempuran. Hidup ini tak ada bedanya dengan medan perang, hanya memberikan dua pilihan, kalah atau menang. Dalam kehidupan sehari-hari, kita selalu berhadapan dengan perjuangan, bertempur dengan diri sendiri. Sadari bahwa dari sekian banyak musuh yang harus dikalahkan, yang terberat adalah musuh yang terdapat di dalam diri kita sendiri.

Untuk mengalahkan musuh yang ada di luar, terlebih dahulu kita harus mampu mengalahkan musuh yang ada di dalam diri. Kemenangan akan kita dapatkan jika kita mempunyai keberanian, pantang menyerah, disiplin, tidak takut mati, dan tidak takut hidup, yang disebut dengan istilah, militan.

Teman dan sahabat, saya setuju dengan pendapat di atas bahwa hidup adalah perjuangan. Kata ini demikian sering kita dengar dan kita baca walau pun tidak pernah tahu siapa yang mengucapkan atau menulis kata itu untuk pertama kali. Yang jelas, kita semua pernah mendengar, membaca, atau mengucapkannya baik sengaja ataupun tidak.

Beragam perjuangan telah kita jalani, seperti perjuangan mewujudkan cita-cita, perjuangan mengatasi kesulitan dan kegagalan, perjuangan untuk menggapai kemenangan dalam kompetisi. Dalam menjalani semua perjuangan tersebut, kita pasti menggunakan banyak instrumen dan sarana penunjang, dan yang paling penting adalah keberanian.

Keberanian adalah kekuatan. Catatan sejarah telah membuktikan begitu banyak prestasi spektakuler yang tercipta di dunia ini karena adanya faktor keberanian, baik di bidang olahraga, leadership, ilmu pengetahuan maupun bisnis. Kalau begitu, apapun bidang yang kita tekuni, kalau ingin sukses dan menang , kita harus punya keberanian. Keberanian untuk mencoba, keberanian untuk memperjuangkan cita-cita. Tanpa keberanian, Wright bersaudara takkan mungkin bisa menciptakan pesawat, sehingga sampai sekarang pun kita mungkin takkan pernah bepergian dengan alat transportasi udara tersebut.

Keberanian merupakan aset yang berharga bagi kita, karena keberanian bisa membuat sesuatu yang mustahil menjadi mungkin. Keberanian bisa mengubah sikap negatif menjadi positif, loyo menjadi semangat, pasif menjadi aktif, pesimis menjadi optimis, miskin menjadi kaya, gagal menjadi sukses. Kalau sudah menyadari besarnya kekuatan keberanian, berarti kita harus memanfaatkannya semaksimal mungkin dengan :

BERANI BERCITA-CITA TINGGI
BERANI BANGKIT DARI KEGAGALAN
BERANI BELAJAR DARI KELEMAHAN DAN KEGAGALAN
BERANI MEMBAYAR HARGA KEBERHASILAN

Jakarta, 8 Februari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar