Senin, 01 Februari 2010

Menjadi Sukses: Pentingkah IPK yang tinggi?

IPK atau indeks prestasi kumulatif (GPA or grade
point average) merupakan nilai akhir evaluasi
seorang mahasiswa selama jenjang perguruan
tinggi baik tahap sarjana maupun tahap doktoral.
IPK menjadi tolak ukur kecerdasan akademik
seseorang dalam bidang tertentu di kampus. IPK
yang tinggi pun menjadi sasaran utama
mahasiswa-mahasiswa agar memiliki akses
yang lebih mudah dalam berbagai hal, dari
perihal melamar beasiswa, program pertukaran
pelajar, lamaran kerja di perusahaan bagus,
melanjutkan jenjang lanjut hingga untuk
“memuaskan” diri sendiri, orang tua ataupun
sang pacar.
Namun kita harus mengakui bahwa kita
cenderung (bahkan) hidup dalam dunia
“dualisme”, selalu menemui hitam disamping
putih, ada partikel ada gelombang, ada cinta
dibalik benci, ada baik diantara buruk, dan begitu
juga nilai IPK, ada tinggi ada rendah. Sehingga
ketika seseorang memiliki IPK yang tinggi, maka
pasti ada orang lain yang ber-IPK rendah. Hal ini
semakin jelas tatkala sebagian dosen masih
menggunakan sistem distribusi normal ataupun
Gaussian dalam memberikan nilai-nilai mata
kuliah kepada mahasiswanya (hmm, masih
untung kalo menggunakan distribusi median di
B).
Sehingga dalam hal ini, jika Anda memiliki nilai
yang rendah pada mata kuliah khususnya dan
Indeks prestasi (IP) secara umumnya, maka
Anda tidak perlu berkecil hati. Karena IP bukanlah
segala-segalanya untuk hidup. Begitu juga hidup
bukan segala-segalanya untuk IP. IP memang
penting dalam berbagai aspek, namun IP akan
menjadi jauh berarti jika dipadukan dengan nilai-
nilai kepribadian super. IP lebih menunjukan
kecerdasan inteligensia yang belum cukup berarti
dalam kehidupan sosial tanpa disertai kecerdasan
kepribadian (emosional + spiritual).
Berapakah “harga” IP?
Dewasa ini, paradigma seseorang (terutama di
Indonesia) untuk melanjutkan studi hingga ke
perguruan tinggi adalah agar cepat lulus dan
mencari kerja. Sedangkan aspek fundamental
lain yakni menjadi peneliti (researcher), inventor
ataupun inovator hingga entrepreneur dibidang
profesinya menjadi tujuan yang langkah para
mahasiswa. Seyogianya seorang sarjana
mampu menciptakan lapangan pekerjaan
sebagai bentuk kontribusi bagi perkembangan
ilmu, teknologi dan ekonomi masyarakat dan
bangsa. Namun, tampaknya banyak perguruan
tinggi saat ini memiliki sistem akademik yang
cenderung hanya menjadi institusi “penyalur
kerja“.
Karena paradigma sebagian besar mahasiswa
adalah lulus untuk bekerja, maka timbul
pertanyaan, “seberapa pentingkah IP agar saya
mendapatkan pekerjaan“? Atau lebih detil lagi,
“seberapa penting IP bagi karir pekerjaan saya“?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka kita
akan berbicara tentang realita mencari pekerjaan.
Sempitnya lapangan pekerjaan dan luasnya job
seeker membuat perusahaan-perusahaan
semakin selektif dalam menyaring calon
karyawannya. Seratusan ribu lebih lulusan
sarjana dan diploma tiap tahunnya akan diseleksi
dalam beberapa tahap. Dan tahap pertama
adalah seleksi administrasi yakni IPK. Hampir
semua lowongan kerja saat ini mensyaratkan
pelamar kerja harus memiliki IPK minimal 3.00
(adakalanya 2.75). Jika Anda memiliki nalar dan
kecerdasan yang bagus, namun IPK anda
dibawah 2.75, maka lamaran Anda langsung
dibuang jauh-jauh.
Jika Anda telah lulus seleksi administrasi (IPK),
maka seleski tahap lanjut adalah psikotes,
wawancara, dan adakalanya team building-
problem and solving. Dua aspek akhir,
wawancara dan problem solving yang
komprehensif merupakan ajang menilai
kepribadian ++ kita, dari nalar, logika, sikap, skill
dan berbagai aspek problem solving. Aspek
inilah yang sangat penting kedepannya ketika kita
telah berada di perusahaan.
Hal inipun telah diteliti secara mendalam oleh
National Association of Colleges and Employers
(NACE), Amerika Serikat pada tahun 2002. NACE
melakukan survei terhadap 457 pimpinan
perusahaan mengenai karateristik unggul
seorang calon pekerja. Dari survei tersebut,
diperoleh 20 kepribadian unggul (Winning
Charateristic) lulusan yang paling dicari oleh
perusahaan (diurutkan berdasarkan skor
tertinggi) yakni sebagai berikut :
1. Kemampuan Komunikasi – 4.69
2. Kejujuran/Integritas - 4.59
3. Kemampuan Bekerja Sama – 4.54
4. Kemampuan Interpersonal – 4.5
5. Beretika - 4.46
6. Motivasi/Inisiatif - 4.42
7. Kemampuan Beradaptasi - 4.41
8. Daya Analitik - 4.36
9. Kemampuan Komputer – 4.21
10. Kemampuan Berorganisasi – 4.05
11. Berorientasi pada Detail- 4.0
12. Kepemimpinan - 3.97
13. Kepercayaan Diri – 3.95
14. Ramah - 3.85
15. Sopan - 3.82
16. Bijaksana – 3.75
17. Indeks Prestasi (>=3.0) – 3.68
18. Kreatif – 3.59
19. Humoris – 3.25
20. Kemampuan Berwirausaha – 3.23
Dari 20 karateristik unggul, “harga IP” jauh
dibawah “harga kemampuan komunikasi”,
bekerja dalam tim,etika, kejujuran. Tampaknya
kejujuran lebih mahal daripada IP dalam dunia
pekerjaan. Dalam hal ini, IP hanyalah menjadi
kunci utama memasuki dunia kerja (sebaiknya di
atas 2.75 atau bisa di atas 3.0 ). Namun setelah
pintu telah terbuka, maka kunci IP sudah tidak
dinilai tinggi lagi. Nilai-nilai kepribadian mentallah
yang menjadi tolak ukur kita dalam meniti karir
jangka panjang. Jadi, nilai IP hanya membawa
short term succes (menjembatani dunia kerja),
bukan long term succes (karir jangka panjang).
Perpaduan Inteligensia (IQ) dan
Kepribadian (EQ)
Dari 20 karateristik unggul yang dirilis oleh NACE,
saya membaginya dalam dua bagian yakni
bagian hijau dan bagian merah. Karateristik
warna hijau merupakan karateristik yang lebih
mengandalkan kekuatan kepribadian mental atau
emotional quotient (EQ), sedangkan warna
merah lebih mengandalkan kecerdasan nalar dan
logika (IQ). Dari 20 karateristik tersebut, ternyata
warna hijau alias EQ lebih dominan menentukan
kesuksesan seseorang dibanding kekuatan IQ-
nya dalam hal ini IP. Jadi, EQ kelihatannya
memang jauh lebih penting dibanding IQ.
Namun, ini bukan berarti IQ tidak penting. IQ
dan EQ merupakan dua hal yang tidak dapat
dipisahkan.
Jadi kecerdasan IQ yang direpresentasikan IP
bukanlah tolak ukur utama keberhasilan kita
dalam dunia kerja khususnya maupun dunia
kehidupan kita secara umum. Dalam kecerdasan
IQ, hal yang sangat diperlukan adalah ketajaman
nalar, logika, inovasi dan kreasilah yang akan
digunakan sepanjang hidup kita. Umumnya nilai
kecerdasan nalar, logika, inovasi berbanding
lurus dengan nilai IP (namun gak selalu).
Menjadi Pribadi Sukses
Jika kita membaca hasil penelitan NACE tersebut
dan disertai dengan sejumlah ceritera
keberhasilan orang-orang super, maka selalu ada
kata kunci yang selalu mereka sampaikan yakni
kerja keras, dorongan (motivasi), do’a, integritas
dan disiplin yang semuanya merupakan
kecerdasan mental. Sedangkan kecerdasan IQ
atau bakat bukanlah senjata utama mereka yang
telah sukses. Banyak entrepreneur yang sukses
tanpa menyelesiakan pendidikan formal seperti
Bill Gates, Matthew Mullenweg, Eka Cipta,
Sudono Salim, Tukul dan masih banyak lagi.
Mereka berhasil, karena mereka berusaha dan
bekerja keras dengan pekerjaan mereka,
terutama pekerjaan yang disukainya. Mereka
bekerja tanpa ada desakan atau ancaman,
namun mereka bekerja dengan semangat dan
sukarela. Hal-hal ini menimbulkan emosi-emosi
positif yang akan mentriger kecerdasan
emosional kita. Nilai-nilai positif ini akan muncul
dan dapat mempengaruhi kecerdasan
inteligensia kita. Jika batin dan emosi kita lagi ceria
dan bahagia, maka sangat mungkin sekali timbul
ide, nalar ataupun kreasi yang unik dan dashyat.
Akhir kata, pergunakan waktu untuk membentuk
mental atau emosi positif, baik Anda sebagai
mahasiswa ataupun telah bekerja. Karena emosi
positif (integritas, communication skill, etika,
sopan) merupakan kunci-kunci yang membawa
sukses dan mentriger kecerdasan nalar dan
logika dapat berkembang lebih baik. Dan
meskipun Anda bukan lulusan sarjan ataupun
diploma, Anda pun dapat menjadi pribadi
sukses. Karena sukses bukan semata dari
sertifikat IP yang tinggi dari kampus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar