..........................ORANG YANG BERJIWA BESAR............................
A. PENGANTAR (dari penyusun ulang)
Saudaraku, tanpa disadari kita tengah hidup dan berjalan pada suatu zaman, di mana fitnah2 datang bagaikan kepingan2 malam, yg datang silih berganti. Boleh jadi, (baik sadar atau tdk) saat ini kita tengah terjebak dlm salah satu dari fitnah2 tsb. Lantas, akankah kita diam saja dan tak beranjak untuk melakukan perubahan?? Maka mari saudaraku, sejenak kita melakukan muhassabah, utk memotivasi jiwa menuju pd perbaikan diri, sehingga kita dapat keluar dan selamat dari jeratan2 fitnah tsb. Lebih dari itu, kita juga berharap dapat menyelamatkan orang2 terdekat (keluarga / karib kerabat) dari gelombang fitnah dan mendukung ummat untuk menggapai kembali kejayaannya (bi Idznillah). Tapi tentunya, baiknya (selamatnya) diri, karib kerabat dan jayanya ummat tdklah datang begitu saja, tanpa adanya Pertolongan dari Alloh Ta'ala. Di sana, dibutuhkan suatu kaum yg memiliki shifat2 (karakteristik) mulia sebagaimana yg dimiliki oleh para Salafussholeh, shg dpt menjadi sebab dari turunnya Rahmat dan Pertolongan Alloh Ta'ala. Namun di zaman ini, masih adakah orang2 yg memiliki shifat2 tsb?? Jika memang masih ada, apakah kita termasuk didalamnya?? Ya Ikhwah, kiranya kejujuran hati kitalah yg mampu menjawab pertanyaan2 di atas..
Saudaraku, berikut ini adalah sebuah tulisan Ustadzuna Abu Mushlih Ari wahyudi, SSi. (Hafidzahulloh), yg berisi ttg shifat2 dari "Orang Yang Berjiwa Besar". Mudah2n dapat menjadi bahan perenungan dan pembanding, dlm rangka perbaikan diri2 qt..
B. PEMBAHASAN
(dari Penulis)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Harta tidak akan berkurang gara-gara sedekah. Tidaklah seorang hamba memberikan maaf -terhadap kesalahan orang lain- melainkan Allah pasti akan menambahkan kemuliaan pada dirinya. Dan tidaklah seorangpun bersikap rendah hati (tawadhu’) karena Allah (ikhlas), melainkan pasti akan diangkat derajatnya oleh Allah.”
(HR. Muslim, lihat Syarh Muslim [8/194])
@ Hadits yang mulia ini memberikan berbagai pelajaran penting bagi kita, di antaranya:
1. Hadits ini menganjurkan kita untuk bersikap ihsan/suka berbuat baik kepada orang lain, entah dengan harta, dengan memaafkan kesalahan mereka, ataupun dengan bersikap tawadhu’ kepada mereka (lihat Bahjat al-Qulub al-Abrar, hal. 110)
2. Anjuran untuk banyak bersedekah. Karena dengan sedekah itu akan membuat hartanya berbarokah dan terhindar dari bahaya. Terlebih lagi dengan bersedekah akan didapatkan balasan pahala yang berlipat ganda (lihat Syarh Muslim [8/194]). Selain itu, sedekah juga menjadi sebab terbukanya pintu-pintu rezeki (lihat Bahjat al-Qulub al-Abrar, hal. 109)
3. Anjuran untuk menjauhi sifat bakhil/kikir.
4. Kebakhilan tidak akan menghasilkan keberuntungan
5. Hadits ini menunjukkan keutamaan bersedekah dengan harta
6. Sedekah adalah ibadah
7. Allah mencintai orang yang suka bersedekah -dengan ikhlas tentunya-
8. Terkadang manusia menyangka bahwa sesuatu bermanfaat baginya, namun apabila dicermati dari sudut pandang syari’at maka hal itu justru tidak bermanfaat. Demikian pula sebaliknya. Oleh sebab itu alangkah tidak bijak orang yang menjadikan hawa nafsu, perasaan, ataupun akal pikirannya yang terbatas sebagai standar baik tidaknya sesuatu. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Manusia itu, sebagaimana telah dijelaskan sifatnya oleh Yang menciptakannya. Pada dasarnya ia suka berlaku zalim dan bersifat bodoh. Oleh sebab itu, tidak sepantasnya dia menjadikan kecenderungan dirinya, rasa suka, tidak suka, ataupun kebenciannya terhadap sesuatu sebagai standar untuk menilai perkara yang berbahaya atau bermanfaat baginya. Akan tetapi sesungguhnya standar yang benar adalah apa yang Allah pilihkan baginya, yang hal itu tercermin dalam perintah dan larangan-Nya…” (Al-Fawa’id, hal. 89)
9. Hadits ini menunjukkan disyari’atkannya menepis keragu-raguan dan menyingkap kesalahpahaman yang bercokol di dalam hati manusia
10. Memberikan targhib/motivasi merupakan salah satu metode pengajaran yang diajarkan Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam
11. Hadits ini juga menunjukkan pentingnya memotivasi orang lain untuk beramal salih
12. Anjuran untuk memberikan maaf kepada orang lain yang bersalah kepada kita -secara pribadi-. Dengan demikian -ketika di dunia- maka kedudukannya akan bertambah mulia dan terhormat. Di akherat pun, kedudukannya akan bertambah mulia dan pahalanya bertambah besar jika orang tersebut memiliki sifat pemaaf (lihat Syarh Muslim [8/194]).
13. Di antara hikmah memaafkan kesalahan orang adalah akan bisa merubah musuh menjadi teman -sehingga hal ini bisa menjadi salah satu cara untuk membuka jalan dakwah-, atau bahkan bisa menyebabkan orang lain mudah memberikan bantuan dan pembelaan di saat dia membutuhkannya (lihat Bahjat al-Qulub al-Abrar, hal. 109)
14. Allah mencintai orang yang pemaaf.
15. Anjuran untuk bersikap tawadhu’/rendah hati. Karena dengan kerendahan hati itulah seorang hamba akan bisa memperoleh ketinggian derajat dan kemuliaan, ketika di dunia maupun di akherat kelak (lihat Syarh Muslim [8/194]).
16. Hakekat orang yang tawadhu’ adalah orang yang tunduk kepada kebenaran, patuh kepada perintah dan larangan Alloh dan Rosul-Nya serta bersikap rendah hati kepada sesama manusia, baik kepada yang masih muda ataupun yang sudah tua. Lawan dari tawadhu’ adalah takabur/sombong (lihat Bahjat al-Qulub al-Abrar, hal. 110)
17. Allah mencintai orang yang tawadhu’
18. Larangan bersikap takabur; yaitu menolak kebenaran dan meremehkan orang lain
19. Tawadhu’ yang terpuji adalah yang dilandasi dengan keikhlasan, bukan yang dibuat-buat; yaitu yang timbul karena ada kepentingan dunia yang bersembunyi di baliknya (lihat Bahjat Al-Qulub Al-Abrar, hal. 110)
20. Yang menjadi penyempurna dan ruh/inti dari ihsan/kebajikan adalah niat yang ikhlas dalam beramal karena Allah (lihat Bahjat Al-Qulub Al-Abrar, hal. 110)
21. Ketawadhu’an merupakan salah satu sebab diangkatnya derajat seseorang di sisi Allah. Di samping ada sebab lainnya seperti; keimanan -dan itu yang paling pokok- serta ilmu yang dimilikinya. Bahkan, ketawadhu’an itu sendiri merupakan buah agung dari iman dan ilmu yang tertanam dalam diri seorang hamba (lihat Bahjat Al-Qulub Al-Abrar, hal. 110)
22. Hadits ini menunjukkan bahwa manusia diperintahkan untuk mencari ketinggian dan kemuliaan derajat di sisi-Nya. Sedangkan orang yang paling mulia di sisi-Nya adalah yang paling bertakwa (lihat QS. al-Hujurat: 13). Dan salah satu kunci ketakwaan adalah kemampuan untuk mengekang hawa nafsu, sehingga orang tidak akan bakhil dengan hartanya, akan mudah memaafkan, dan tidak bersikap arogan ataupun bersikap sombong di hadapan manusia.
23. Hadits ini menunjukkan keutamaan mengekang hawa nafsu dan keharusan untuk menundukkannya kepada syari’at Rabbul ‘alamin
24. Hendaknya menjauhi sebab-sebab yang menyeret kepada sifat-sifat tercela -misalnya; kikir dan sombong- dan berusaha untuk mengikisnya jika seseorang mendapati sifat itu ada di dalam dirinya
25. Kemuliaan derajat yang hakiki adalah di sisi Allah (diukur dengan syari’at), tidak diukur dengan pandangan kebanyakan manusia
26. Bisa jadi orang itu tidak dikenal atau rendah dalam pandangan manusia -secara umum-, akan tetapi di sisi Allah, dia adalah sosok yang sangat mulia dan dicintai-Nya. Tidakkah kita ingat kisah Uwais al-Qarani seorang tabi’in terbaik namun tidak dikenal orang, diremehkan, dan tidak menyukai popularitas?
27. Pujian dan sanjungan orang lain kepada kita bukanlah standar apalagi jaminan. Sebab ketinggian derajat yang hakiki adalah di sisi-Nya. Oleh sebab itu, tatkala dikabarkan kepada Imam Ahmad oleh muridnya mengenai pujian orang-orang kepadanya, beliaupun berkata, “Wahai Abu Bakar -nama panggilan muridnya-, apabila seseorang telah mengenal jati dirinya, maka tidak lagi bermanfaat ucapan (pujian) orang lain terhadapnya.” (lihat Ma’alim fi Thariq Thalabil Ilm, hal. 22). Ini adalah Imam Ahmad, seorang yang telah hafal satu juta hadits dan rela mempertaruhkan nyawanya demi menegakkan Sunnah dan membasmi bid’ah. Demikianlah akhlak salaf, aduhai… di manakah posisi kita bila dibandingkan dengan mereka? Jangan-jangan kita ini tergolong orang yang maghrur/tertipu dengan pujian orang lain kepada kita. Orang lain mungkin menyebut kita sebagai ‘anak ngaji’, orang alim, orang soleh, atau bahkan aktifis dakwah. Namun, sesungguhnya kita sendiri mengetahui tentang jati diri kita yang sebenarnya, segala puji hanya bagi Allah yang telah menutupi aib-aib kita di hadapan manusia… Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami
28. Islam menyeru kepada akhlak yang mulia
29. Islam mengajarkan sikap peduli kepada sesama dan agar tidak bersikap masa bodoh terhadap nasib atau keadaan mereka
30. Sesungguhnya ketaatan itu -meskipun terasa sulit atau berat bagi jiwa- pasti akan membuahkan manfaat besar yang kembali kepada pelakunya sendiri. Sebaliknya, kedurhakaan/maksiat itu -meskipun terasa menyenangkan dan enak- maka pasti akan berdampak jelek bagi dirinya sendiri. Ibnul Qayyim Rohimahulloh berkata, “Perkara yang paling bermanfaat secara mutlak adalah ketaatan manusia kepada Rabbnya, secara lahir maupun batin. Adapun perkara paling berbahaya baginya secara mutlak adalah kemaksiatan kepada-Nya, secara lahir maupun batin.” (Al-Fawa’id, hal. 89). Allah Ta’ala telah berfirman (yang artinya), “Bisa jadi kalian membenci sesuatu padahal itu baik bagi kalian, dan bisa jadi kalian menyenangi sesuatu padahal itu adalah buruk bagi kalian. Allah Maha Mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui -segala sesuatu-.” (QS. Al-Baqarah: 216)
31. Pahala besar bagi orang yang berjiwa besar; yaitu orang yang tidak segan-segan untuk menyisihkan sesuatu yang dicintainya -yaitu harta- guna berinfak di jalan Allah, mau melapangkan dadanya untuk memaafkan kesalahan orang lain kepadanya, serta bersikap tawadhu’ dan tidak meremehkan orang lain.
32. Ketiga macam amal soleh ini -dengan izin Allah- bisa terkumpul dalam diri seseorang. Dia menjadi orang yang dermawan, suka memaafkan, dan juga rendah hati. Perhatikanlah sifat-sifat dan kepribadian Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wa sallam, niscaya ketiga sifat ini akan kita temukan dalam diri beliau. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik, yaitu bagi orang yang berharap kpd Allah dan hari akhir serta banyak mengingat Allah.” (QS. al-Ahzab: 21)
33. Di samping menyeru kepada persatuan umat Islam -di atas kebenaran- maka Islam juga menyerukan perkara-perkara yang menjadi perantara atau sebab terwujudnya hal itu. Di antaranya adalah dengan menganjurkan 3 hal di atas: suka bersedekah -yang wajib ataupun yang sunnah-, suka memaafkan, dan bersikap rendah hati/tawadhu’. Sesungguhnya, kalau kita mau mencermati kondisi kita di zaman ini -yang diwarnai dengan kekacauan serta fitnah yang timbul di medan dakwah-, akan kita dapati bahwa kebanyakan di antara kita -barangkali- amat sangat kurang dalam menerapkan ketiga hal tadi. Akibat tidak suka bersedekah, banyak kepentingan umat -khususnya dakwah- yang tidak terurus dengan baik. Akibat sulit memaafkan, permusuhan yang tadinya hanya bersifat personalpun, akhirnya melebar menjadi permusuhan kelompok. Akibat perasaan lebih tinggi dan gengsi, jalinan ukhuwah yang terkoyakpun seolah tak bisa dijalin kembali. Masing2 pihak ingin menang sendiri dan berat mendengarkan pandangan atau argumentasi saudaranya. Maka yang terjadi adalah sikap saling menyalahkan, dan kalau perlu menjatuhkan kehormatan saudaranya tanpa alasan yang dibenarkan. Jika demikian keadaannya, mk akan sangat sulit dipertemukan. Bisa jadi ini hanya sekedar analisa, namun tidak kecil kemungkinannya itu merupakan realita yang ada, Wallohul Musta’an. Sebagian orang, setelah selesai mendengar kritikan dari saudaranya seketika itu pula ia memberikan ’serangan balik’ kepada sang pengkritik. Padahal, nasehat yang didengarnya belum lagi meresap ke dalam akal sehatnya. Karena merasa dirinya telah ‘dilecehkan’, dia pun berkata kepada sodaranya, “Saya juga punya kritikan kepadamu. Kamu itu begini dan begitu.” Wahai saudaraku,-semoga Alloh merahmatimu- marilah kita bersama-sama berlatih untuk menerima kritik dan nasehat dengan lapang dada (lihat wasiat ke-31 bagi penuntut ilmu, dalam Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilm, hal. 268-269). Ingatlah ucapan seorang Syaikh yang mulia ketika brceramah menegaskan isi nasehat Syaikh Rabi’ bin Hadi -Hafizhahulloh- dalam Daurah Nasional yang belum lama berlalu di Masjid Agung Bantul Yogyakarta, “Tidak ada seorang insanpun melainkan pasti pernah terjatuh dalam kekeliruan… Namun, yang tercela adalah orang yang tetap bersikukuh mempertahankan kesalahannya.”
C. PENUTUP (dari Penulis)
Semoga Allah menjadikan kita sebagai "Orang2 yang Berjiwa Besar, Allahumma Aamiin. Rabbanaghfirlana wa li ikhwaninal ladzina sabaquna bil iman, wa laa taj’al fi qulubina ghillal lilladzina amanu, Rabbana Innaka Ro’ufurrohim.
D. MAROJI' (Referensi):
Sumber : http://abumushlih.com/orang-yang-berjiwa-besar.html/ (dengan sedikit penambahan)
Penulis : Ustadzuna Abu Mushlih Ari wahyudi, SSi.
Penyusun Ulang : Abu Hanifah Al Banjumasiy
A. PENGANTAR (dari penyusun ulang)
Saudaraku, tanpa disadari kita tengah hidup dan berjalan pada suatu zaman, di mana fitnah2 datang bagaikan kepingan2 malam, yg datang silih berganti. Boleh jadi, (baik sadar atau tdk) saat ini kita tengah terjebak dlm salah satu dari fitnah2 tsb. Lantas, akankah kita diam saja dan tak beranjak untuk melakukan perubahan?? Maka mari saudaraku, sejenak kita melakukan muhassabah, utk memotivasi jiwa menuju pd perbaikan diri, sehingga kita dapat keluar dan selamat dari jeratan2 fitnah tsb. Lebih dari itu, kita juga berharap dapat menyelamatkan orang2 terdekat (keluarga / karib kerabat) dari gelombang fitnah dan mendukung ummat untuk menggapai kembali kejayaannya (bi Idznillah). Tapi tentunya, baiknya (selamatnya) diri, karib kerabat dan jayanya ummat tdklah datang begitu saja, tanpa adanya Pertolongan dari Alloh Ta'ala. Di sana, dibutuhkan suatu kaum yg memiliki shifat2 (karakteristik) mulia sebagaimana yg dimiliki oleh para Salafussholeh, shg dpt menjadi sebab dari turunnya Rahmat dan Pertolongan Alloh Ta'ala. Namun di zaman ini, masih adakah orang2 yg memiliki shifat2 tsb?? Jika memang masih ada, apakah kita termasuk didalamnya?? Ya Ikhwah, kiranya kejujuran hati kitalah yg mampu menjawab pertanyaan2 di atas..
Saudaraku, berikut ini adalah sebuah tulisan Ustadzuna Abu Mushlih Ari wahyudi, SSi. (Hafidzahulloh), yg berisi ttg shifat2 dari "Orang Yang Berjiwa Besar". Mudah2n dapat menjadi bahan perenungan dan pembanding, dlm rangka perbaikan diri2 qt..
B. PEMBAHASAN
(dari Penulis)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Harta tidak akan berkurang gara-gara sedekah. Tidaklah seorang hamba memberikan maaf -terhadap kesalahan orang lain- melainkan Allah pasti akan menambahkan kemuliaan pada dirinya. Dan tidaklah seorangpun bersikap rendah hati (tawadhu’) karena Allah (ikhlas), melainkan pasti akan diangkat derajatnya oleh Allah.”
(HR. Muslim, lihat Syarh Muslim [8/194])
@ Hadits yang mulia ini memberikan berbagai pelajaran penting bagi kita, di antaranya:
1. Hadits ini menganjurkan kita untuk bersikap ihsan/suka berbuat baik kepada orang lain, entah dengan harta, dengan memaafkan kesalahan mereka, ataupun dengan bersikap tawadhu’ kepada mereka (lihat Bahjat al-Qulub al-Abrar, hal. 110)
2. Anjuran untuk banyak bersedekah. Karena dengan sedekah itu akan membuat hartanya berbarokah dan terhindar dari bahaya. Terlebih lagi dengan bersedekah akan didapatkan balasan pahala yang berlipat ganda (lihat Syarh Muslim [8/194]). Selain itu, sedekah juga menjadi sebab terbukanya pintu-pintu rezeki (lihat Bahjat al-Qulub al-Abrar, hal. 109)
3. Anjuran untuk menjauhi sifat bakhil/kikir.
4. Kebakhilan tidak akan menghasilkan keberuntungan
5. Hadits ini menunjukkan keutamaan bersedekah dengan harta
6. Sedekah adalah ibadah
7. Allah mencintai orang yang suka bersedekah -dengan ikhlas tentunya-
8. Terkadang manusia menyangka bahwa sesuatu bermanfaat baginya, namun apabila dicermati dari sudut pandang syari’at maka hal itu justru tidak bermanfaat. Demikian pula sebaliknya. Oleh sebab itu alangkah tidak bijak orang yang menjadikan hawa nafsu, perasaan, ataupun akal pikirannya yang terbatas sebagai standar baik tidaknya sesuatu. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Manusia itu, sebagaimana telah dijelaskan sifatnya oleh Yang menciptakannya. Pada dasarnya ia suka berlaku zalim dan bersifat bodoh. Oleh sebab itu, tidak sepantasnya dia menjadikan kecenderungan dirinya, rasa suka, tidak suka, ataupun kebenciannya terhadap sesuatu sebagai standar untuk menilai perkara yang berbahaya atau bermanfaat baginya. Akan tetapi sesungguhnya standar yang benar adalah apa yang Allah pilihkan baginya, yang hal itu tercermin dalam perintah dan larangan-Nya…” (Al-Fawa’id, hal. 89)
9. Hadits ini menunjukkan disyari’atkannya menepis keragu-raguan dan menyingkap kesalahpahaman yang bercokol di dalam hati manusia
10. Memberikan targhib/motivasi merupakan salah satu metode pengajaran yang diajarkan Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam
11. Hadits ini juga menunjukkan pentingnya memotivasi orang lain untuk beramal salih
12. Anjuran untuk memberikan maaf kepada orang lain yang bersalah kepada kita -secara pribadi-. Dengan demikian -ketika di dunia- maka kedudukannya akan bertambah mulia dan terhormat. Di akherat pun, kedudukannya akan bertambah mulia dan pahalanya bertambah besar jika orang tersebut memiliki sifat pemaaf (lihat Syarh Muslim [8/194]).
13. Di antara hikmah memaafkan kesalahan orang adalah akan bisa merubah musuh menjadi teman -sehingga hal ini bisa menjadi salah satu cara untuk membuka jalan dakwah-, atau bahkan bisa menyebabkan orang lain mudah memberikan bantuan dan pembelaan di saat dia membutuhkannya (lihat Bahjat al-Qulub al-Abrar, hal. 109)
14. Allah mencintai orang yang pemaaf.
15. Anjuran untuk bersikap tawadhu’/rendah hati. Karena dengan kerendahan hati itulah seorang hamba akan bisa memperoleh ketinggian derajat dan kemuliaan, ketika di dunia maupun di akherat kelak (lihat Syarh Muslim [8/194]).
16. Hakekat orang yang tawadhu’ adalah orang yang tunduk kepada kebenaran, patuh kepada perintah dan larangan Alloh dan Rosul-Nya serta bersikap rendah hati kepada sesama manusia, baik kepada yang masih muda ataupun yang sudah tua. Lawan dari tawadhu’ adalah takabur/sombong (lihat Bahjat al-Qulub al-Abrar, hal. 110)
17. Allah mencintai orang yang tawadhu’
18. Larangan bersikap takabur; yaitu menolak kebenaran dan meremehkan orang lain
19. Tawadhu’ yang terpuji adalah yang dilandasi dengan keikhlasan, bukan yang dibuat-buat; yaitu yang timbul karena ada kepentingan dunia yang bersembunyi di baliknya (lihat Bahjat Al-Qulub Al-Abrar, hal. 110)
20. Yang menjadi penyempurna dan ruh/inti dari ihsan/kebajikan adalah niat yang ikhlas dalam beramal karena Allah (lihat Bahjat Al-Qulub Al-Abrar, hal. 110)
21. Ketawadhu’an merupakan salah satu sebab diangkatnya derajat seseorang di sisi Allah. Di samping ada sebab lainnya seperti; keimanan -dan itu yang paling pokok- serta ilmu yang dimilikinya. Bahkan, ketawadhu’an itu sendiri merupakan buah agung dari iman dan ilmu yang tertanam dalam diri seorang hamba (lihat Bahjat Al-Qulub Al-Abrar, hal. 110)
22. Hadits ini menunjukkan bahwa manusia diperintahkan untuk mencari ketinggian dan kemuliaan derajat di sisi-Nya. Sedangkan orang yang paling mulia di sisi-Nya adalah yang paling bertakwa (lihat QS. al-Hujurat: 13). Dan salah satu kunci ketakwaan adalah kemampuan untuk mengekang hawa nafsu, sehingga orang tidak akan bakhil dengan hartanya, akan mudah memaafkan, dan tidak bersikap arogan ataupun bersikap sombong di hadapan manusia.
23. Hadits ini menunjukkan keutamaan mengekang hawa nafsu dan keharusan untuk menundukkannya kepada syari’at Rabbul ‘alamin
24. Hendaknya menjauhi sebab-sebab yang menyeret kepada sifat-sifat tercela -misalnya; kikir dan sombong- dan berusaha untuk mengikisnya jika seseorang mendapati sifat itu ada di dalam dirinya
25. Kemuliaan derajat yang hakiki adalah di sisi Allah (diukur dengan syari’at), tidak diukur dengan pandangan kebanyakan manusia
26. Bisa jadi orang itu tidak dikenal atau rendah dalam pandangan manusia -secara umum-, akan tetapi di sisi Allah, dia adalah sosok yang sangat mulia dan dicintai-Nya. Tidakkah kita ingat kisah Uwais al-Qarani seorang tabi’in terbaik namun tidak dikenal orang, diremehkan, dan tidak menyukai popularitas?
27. Pujian dan sanjungan orang lain kepada kita bukanlah standar apalagi jaminan. Sebab ketinggian derajat yang hakiki adalah di sisi-Nya. Oleh sebab itu, tatkala dikabarkan kepada Imam Ahmad oleh muridnya mengenai pujian orang-orang kepadanya, beliaupun berkata, “Wahai Abu Bakar -nama panggilan muridnya-, apabila seseorang telah mengenal jati dirinya, maka tidak lagi bermanfaat ucapan (pujian) orang lain terhadapnya.” (lihat Ma’alim fi Thariq Thalabil Ilm, hal. 22). Ini adalah Imam Ahmad, seorang yang telah hafal satu juta hadits dan rela mempertaruhkan nyawanya demi menegakkan Sunnah dan membasmi bid’ah. Demikianlah akhlak salaf, aduhai… di manakah posisi kita bila dibandingkan dengan mereka? Jangan-jangan kita ini tergolong orang yang maghrur/tertipu dengan pujian orang lain kepada kita. Orang lain mungkin menyebut kita sebagai ‘anak ngaji’, orang alim, orang soleh, atau bahkan aktifis dakwah. Namun, sesungguhnya kita sendiri mengetahui tentang jati diri kita yang sebenarnya, segala puji hanya bagi Allah yang telah menutupi aib-aib kita di hadapan manusia… Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami
28. Islam menyeru kepada akhlak yang mulia
29. Islam mengajarkan sikap peduli kepada sesama dan agar tidak bersikap masa bodoh terhadap nasib atau keadaan mereka
30. Sesungguhnya ketaatan itu -meskipun terasa sulit atau berat bagi jiwa- pasti akan membuahkan manfaat besar yang kembali kepada pelakunya sendiri. Sebaliknya, kedurhakaan/maksiat itu -meskipun terasa menyenangkan dan enak- maka pasti akan berdampak jelek bagi dirinya sendiri. Ibnul Qayyim Rohimahulloh berkata, “Perkara yang paling bermanfaat secara mutlak adalah ketaatan manusia kepada Rabbnya, secara lahir maupun batin. Adapun perkara paling berbahaya baginya secara mutlak adalah kemaksiatan kepada-Nya, secara lahir maupun batin.” (Al-Fawa’id, hal. 89). Allah Ta’ala telah berfirman (yang artinya), “Bisa jadi kalian membenci sesuatu padahal itu baik bagi kalian, dan bisa jadi kalian menyenangi sesuatu padahal itu adalah buruk bagi kalian. Allah Maha Mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui -segala sesuatu-.” (QS. Al-Baqarah: 216)
31. Pahala besar bagi orang yang berjiwa besar; yaitu orang yang tidak segan-segan untuk menyisihkan sesuatu yang dicintainya -yaitu harta- guna berinfak di jalan Allah, mau melapangkan dadanya untuk memaafkan kesalahan orang lain kepadanya, serta bersikap tawadhu’ dan tidak meremehkan orang lain.
32. Ketiga macam amal soleh ini -dengan izin Allah- bisa terkumpul dalam diri seseorang. Dia menjadi orang yang dermawan, suka memaafkan, dan juga rendah hati. Perhatikanlah sifat-sifat dan kepribadian Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wa sallam, niscaya ketiga sifat ini akan kita temukan dalam diri beliau. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik, yaitu bagi orang yang berharap kpd Allah dan hari akhir serta banyak mengingat Allah.” (QS. al-Ahzab: 21)
33. Di samping menyeru kepada persatuan umat Islam -di atas kebenaran- maka Islam juga menyerukan perkara-perkara yang menjadi perantara atau sebab terwujudnya hal itu. Di antaranya adalah dengan menganjurkan 3 hal di atas: suka bersedekah -yang wajib ataupun yang sunnah-, suka memaafkan, dan bersikap rendah hati/tawadhu’. Sesungguhnya, kalau kita mau mencermati kondisi kita di zaman ini -yang diwarnai dengan kekacauan serta fitnah yang timbul di medan dakwah-, akan kita dapati bahwa kebanyakan di antara kita -barangkali- amat sangat kurang dalam menerapkan ketiga hal tadi. Akibat tidak suka bersedekah, banyak kepentingan umat -khususnya dakwah- yang tidak terurus dengan baik. Akibat sulit memaafkan, permusuhan yang tadinya hanya bersifat personalpun, akhirnya melebar menjadi permusuhan kelompok. Akibat perasaan lebih tinggi dan gengsi, jalinan ukhuwah yang terkoyakpun seolah tak bisa dijalin kembali. Masing2 pihak ingin menang sendiri dan berat mendengarkan pandangan atau argumentasi saudaranya. Maka yang terjadi adalah sikap saling menyalahkan, dan kalau perlu menjatuhkan kehormatan saudaranya tanpa alasan yang dibenarkan. Jika demikian keadaannya, mk akan sangat sulit dipertemukan. Bisa jadi ini hanya sekedar analisa, namun tidak kecil kemungkinannya itu merupakan realita yang ada, Wallohul Musta’an. Sebagian orang, setelah selesai mendengar kritikan dari saudaranya seketika itu pula ia memberikan ’serangan balik’ kepada sang pengkritik. Padahal, nasehat yang didengarnya belum lagi meresap ke dalam akal sehatnya. Karena merasa dirinya telah ‘dilecehkan’, dia pun berkata kepada sodaranya, “Saya juga punya kritikan kepadamu. Kamu itu begini dan begitu.” Wahai saudaraku,-semoga Alloh merahmatimu- marilah kita bersama-sama berlatih untuk menerima kritik dan nasehat dengan lapang dada (lihat wasiat ke-31 bagi penuntut ilmu, dalam Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilm, hal. 268-269). Ingatlah ucapan seorang Syaikh yang mulia ketika brceramah menegaskan isi nasehat Syaikh Rabi’ bin Hadi -Hafizhahulloh- dalam Daurah Nasional yang belum lama berlalu di Masjid Agung Bantul Yogyakarta, “Tidak ada seorang insanpun melainkan pasti pernah terjatuh dalam kekeliruan… Namun, yang tercela adalah orang yang tetap bersikukuh mempertahankan kesalahannya.”
C. PENUTUP (dari Penulis)
Semoga Allah menjadikan kita sebagai "Orang2 yang Berjiwa Besar, Allahumma Aamiin. Rabbanaghfirlana wa li ikhwaninal ladzina sabaquna bil iman, wa laa taj’al fi qulubina ghillal lilladzina amanu, Rabbana Innaka Ro’ufurrohim.
D. MAROJI' (Referensi):
Sumber : http://abumushlih.com/oran
Penulis : Ustadzuna Abu Mushlih Ari wahyudi, SSi.
Penyusun Ulang : Abu Hanifah Al Banjumasiy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar