Kamis, 11 Maret 2010

Berproses Menuju Keluarga Barakah

Sungguh aneh! Bukan hanya sederhana, tapi sangat … sangat sederhana. Rumah itu benar-benar dari sesek (bambu) dan alasnya benar-benar tanah yang hanya dilapisi plastik. Itulah gambaran rumah kawan saya dan saudara-saudaranya yang berada di lingkungan salah satu pesantren di daerah Turi, Lamongan. 

Orang di sekitarnya pada terheran-heran, malah ada yang mengumpat, “Gendeng be’e (gila mungkin).” Bagaimana tidak? Di tengah “perlombaan” penduduk desa untuk mewujudkan mimpi membangun rumah tembok sebagai simbol kemajuan, justru dia membangun rumah gedhek.

Bukan hanya penduduk sekitar yang heran, saya pun dibuat terkejut saat berkesempatan berkunjung ke sana. Ya mengapa, padahal dana juga ada? Tapi keheranan itu mulai sirna ketika kami menerima penjelasan. 

“Bukankah rumah ini hanya sementara. Dan tidak akan kita bawa mati!” 

“Lalu untuk apa kita bermewah-mewah dengan sesuatu yang akan kita tinggalkan. Bukankah justru ini yang gila sungguhan?” 

“Karena itu, prinsip kami ‘rumah akherat’ harus lebih baik dari ‘rumah dunia’. Demikianlah pesan Bapak Guru." 

Bapak Guru adalah panggilan almarhum ayah mereka. Rupanya pesan almarhum sang ayah benar-benar mereka praktikkan dalam kehidupan nyata. Sebab sang ayah tidak hanya pandai berbicara, melainkan dia sendiri yang memberi contoh hidup dengan rumah yang sangat sederhana. Rumah induk almarhum ayah mereka, kurang lebih sama kondisinya.

Satu-satunya bangunan “mewah” di kompleks pesantren itu hanyalah masjid. Tentu, yang dimaksud mewah bukan karena struktur dan ornamen yang megah dan mahal, melainkan hanya sebuah bangunan tembok.

“Masjid adalah simbol spiritual; simbol kehidupan akherat. Oleh karena itu kami membangunnya dengan istimewa,” jelasnya.

Banyak versus Bersih
“Pada hari ketika tidak ada gunanya harta dan keturunan. Kecuali orang yang datang dengan hati yang bersih.” (asy-Syu’ara/26:88-89)

Mungkin di antara kita banyak yang tidak siap memiliki rumah gedhek seperti itu. Tetapi penting untuk diambil filosofi yang dipraktikkan kawan saya itu: bahwa “rumah akherat” lebih penting dari “rumah dunia”. 

Apa maknanya? Bahwa dalam membangun keluarga, tujuan penting kita adalah akherat. Maka segala daya kehidupan dunia ini seharusnya diarahkan untuk kesuksesan kehidupan akherat. Dan seperti diperingatkan Allah dalam firman di atas, harta dan keturunan (pengikut) tidak lagi berguna saat kita menghadap-Nya, karena semuanya akan ditinggal. Yang mengiringi kita hanyalah amal-amal kebajikan yang telah kita torehkan di dunia.

Hal itu menuntut kita berhati-hati dalam membangun keluarga, terutama yang berkaitan dengan harta: bagaimana wujudnya, dari mana sumbernya, dan bagaimana cara mendapatkannya? 
Berkaitan dengan harta ini penting diresapi beberapa hal. Pertama, dalam Islam diajarkan untuk mencari harta sebersih-bersihnya, dan bukan sebanyak-banyaknya. 

Maka kisah rumah gedhek di atas menjadi penting untuk direnungi, bahwa kita bisa hidup (bahagia) meskipun dengan kondisi sangat sederhana. Lebih penting lagi karena kesederhanaan itu adalah jalan hidup keselamatan yang dipilih untuk tidak tergelincir pada cara-cara mencari harta yang syubhat, apalagi haram. Sementara Rasulullah saw mengingatkan, "Setiap jasad yang tumbuh dari harta haram, maka nerakalah yang lebih tepat menjadi tempatnya." (riwayat al-Hakim, al-Baihaqi dan dishahihkan oleh al-Albani).

Bukan hanya rugi di akherat, di dunia pun kesengsaraan sudah menghadang. Terlalu banyak contoh bagaimana orang-orang yang terobsesi memperkaya diri tetapi dengan cara mengabaikan etika dan moral. Maka, bukan kebahagiaan, kesejahteraan, atau kesuksesan yang digapai, melainkan hilangnya martabat diri dan keluarga. Banyaknya orang-orang yang semula terhormat dan akhirnya masuk bui akibat tindak kejahatan korupsi adalah contoh yang tak terbantahkan. 

Tapi harap diingat bahwa korupsi bukan monopoli dilakukan para pejabat (tinggi). Kita semua: pegawai negeri, pegawai swasta, pedagang, salesman, sampai tukang parkir, berpotensi melakukan korupsi dalam beragam variasinya. 

Kedua, jika dengan cara sebersih-bersihnya kita mampu menjadi kaya, maka dalam Islam diajarkan pula bahwa dalam kekayaan itu terdapat hak orang lain. Artinya Islam sangat mendorong umatnya untuk berbagi dalam bentuk zakat, infak, dan sedekah (baca misalnya ancaman Allah bagi yang tidak menafkahkan hartanya di jalan Allah dalam at-Taubah/9:34-35). 

Maka kisah rumah gedhek di atas sangat bermakna karena harta yang sebenarnya bisa dipakai untuk membangun rumah tembok justru dialokasikan untuk membantu sesama, seperti yang juga dicontohkan oleh pesantren tersebut. Inilah makna prinsip “rumah akherat” lebih penting dari “rumah dunia”.

Ketiga, dengan harta yang sebersih-bersihnya dan telah ditunaikan hak-haknya itu, tentu akan diliputi 
barakah Allah. Sebaliknya jika tidak mengindahkan dua hal itu, maka akan mendapat bencana seperti yang diingatkan Rasulullah saw, “Tidaklah mereka berbuat curang dalam hal takaran dan timbangan melainkan mereka akan ditimpa paceklik, biaya hidup mahal, dan perilaku jahat para penguasa. Dan tidaklah mereka enggan untuk membayar zakat harta mereka, melainkan mereka akan dihalangi dari mendapatkan air hujan dari langit, andailah bukan karena binatang ternak, niscaya mereka tidak akan diberi hujan." (riwayat Ibnu Majah, al-Hakim, al-Baihaqi dan dinyatakan sebagai hadits hasan oleh al-Albani)

Sementara harta barakah akan mengantarkan kita pada keluarga barakah. Inilah yang dijanjikan Allah dalam surat al-A’raf/7:96: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka barakah dari langit dan bumi …”

Mencari harta sebersih-bersihnya dan mengeluarkan hak orang lain dari harta kita adalah sebagian implikasi keimanan dan ketakwaan. Maka janji Allah bagi keluarga yang beriman dan bertakwa (sebagai lingkaran terkecil sebuah negara), akan diberikan barakah dari segala penjuru. 

Keluarga yang barakah ini sangat penting perannya dalam membentuk komunitas masyarakat barakah yang lebih luas lingkupnya: desa, negara, dan dunia. Maka jangan remehkan peran keluarga barakah. Semoga keluarga kita mampu berproses menuju ke sana! [*]

Mohammad Nurfatoni
Tulisan ini telah dimuat majalah Nurul Hayat edisi Pebruari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar