Selasa, 02 Maret 2010

"Habis, Kita Digaji Beliau Sih…"

darimana rizki kita berasal.
Barangkali, karena itulah kita jarang mengistimewakan Allah.

“Pak Helmy, ke ruang saya ya…”, perintah bos besar, datar. Tanpa ada nada suruh cepatcepat,
dan tidak ada juga perintah untuk bersegera. Perintahnya bener-bener datar.
Bos besar ngangkat telpon, dan menekan shortcut number yang tersambung ke ruangan Pak
Helmy, dan lalu bicara begitu: “Pak Helmy, ke ruang saya ya…”.
Itupun dilakukan si bos besar ini tanpa menunggu jawaban dari Pak Helmy, apakah bisa atau
tidak. Dan bos besar pun tidak tahu juga barangkali siapa yang ngangkat telpon di ruangan
Pak Helmy tersebut. Apakah benar Pak Helmy, atau bukan?
Dalam kehidupan sehari-hari, kalau kita jadi Pak Helmy, maka kita wajibkan diri kita untuk
menyegerakan diri ke ruangan bos besar. Kita lalu merapihkan diri, dan bahkan seperti sudah
menebak apa kemauan bos besar, kita ke ruangannya membawa data-data yang barangkali
diperlukan, supaya bos besar senang.

Kalau kita jadi Pak Helmy, umpama ternyata sekretaris ruangan Pak Helmy yang
mengangkat telpon itu, lalu kemudian si sekretaris ruangan itu lupa menyampaikan bahwa
bos besar memanggil, maka marahlah Pak Helmy, dan bersegeralah dia meminta maaf
kepada bos besar seraya menyampaikan bahwa dia salah.

Kalau kita ditegor orang, “Duuuh, segitunya kalo dipanggil bos…”. Maka kita akan
menjawab, “Ya wajarlah. Sebab dia kan bos nya saya. Dia yang menggaji saya. Saya bekerja
di perusahaan ini sebab kebaikan dia”.
Luar biasa. Begitu hebatnya “tauhid” kita kepada bos besar tersebut.

Lalu, bagaimana dengan panggilan Allah? Bagaimana keadaan hati kita? Bagaimana keadaan
diri kita? Bagaimana penampilan kita? Bagaimana sikap kita? Silahkan jawab sendiri.
Masing-masing. Dengan jawaban yang paling jujur dari sikap dan perilaku kita selama ini.

Semoga Allah menyayangi kita semua.



(kdw 115 kuliah dasar tauhid.www.wisatahati.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar