Sabtu, 27 Maret 2010

KADO UNTUK BIDADARI

25 Maret 2008
Dibawah langit kampus hijau. Awan putih diantara pelapis yang biru. Sesekali hembusan angin menghampiri bak menyampaikan pesan. Diantara penatnya langkah kaki yang kian melangkah, sembari carut marutnya kesibukan setiap orang. Kembali kutepiskan. Kini aku berusaha ‘tuk menghadirkan perasaan indah disetiap ruang didalam hati. Biarkan saja air yang mengalir terus mencari tempat terendah dari muaranya. Huf… aku sebenarnya bosan terus-terusan seperti ini.
“Eh Vin, ngapain loe masih bengong disini”, suara Ocy datang menghancurkan imajinasiku.
“Gak ada tuh, ni lagi merenungi nasib. Malang nian garis hidup ku Cy”
“Haahahahaha, gile loe.. pasti ni gara-gara nilai ujian yang baru keluarkan!? Udahlah…. Gak usah dipikirin kenapa?!” balasnya dengan suara enteng. Aku hanya menoleh sedikit sambil memonyongkan mulut beberapa senti. Ocy emang gitu orangnya, selalu tak merasa ada beban dengan perkuliahannya.
Aahh, sebel. Ujian lagi, ngebuat jimat lagi, deg-deg an lagi, clingak clinguk lagi, nyusun strategi lagi, dan… saat nilai keluar, dalam kekejutan yang sudah sangat biasa, melihat nilai “D” menyapa dengan senyuman sehangat sang mentari pagi. Seraya berkata “ Loe Lagi-Loe Lagi.. Bosan Gue (4L-BG)”. Terang aja, kuliah kedokteran ini menuntutku untuk mengeluarkan tenaga yang lebih, semangat yang lebih, keikhlasan yang lebih, waktu belajar yang lebih, juga menyendiri dengan tumpukan buku yang lebih. Hingga semuanya perlahan-lahan memangkas seluruh waktu untuk kesenanganku.
“Vin, loe dah tau belum. Rina jadian ma bang Asep”, potong Ocy.
“What!!! Yang bener aja. Tuh cowo’ kan rajanya playboy kelas kakap dikota Padang. Kok Rina gak ada cerita-cerita dulu ma kita? ”, timpalku kaget dengan mata terbelalak.
“Gak tau Vin. Paling nanti kalau ada masalah, baru dia nyari kita. Hehehehe” , tambah Ocy lagi.
Rina menurutku anaknya baik, sopan, dan juga pintar. Dia juga anak kesayangan kedua orangtuanya. Rina mungkin sudah masuk dalam urutan ke 14 dari beberapa mantan wanita-wanita yang pernah digaet Bang Asep dikampus ini. Aku jadi kasian dengan Rina. Dia terlalu polos untuk dipengaruhi dengan Bang Asep si Playboy ikan kakap itu. Ini bisa dibilang pacaran pertamanya.
“Tiit..tiit…”, handphone ku menyapa.
“Dari K@rmiEn: Siang&mlm slalu Q nnti jwbmu. Adkh kw ingn mbls cntaQ,hney?”, Hii…. Dasar si karmin norak. Masih juga ngeganggu. Ugh….!
“Ke K@rmiEn: gw pobia ma cwo’, aplg elo! Jgn gnggu gw lg. Ok?”, mesti dibilang berapa kali juga tetep aja gak ada matinya kisanak satu itu.
“Dari K@rmiEn: Tga bgt lo y vin. Glak lo. Tdk smw lki-lkiiii…..”
Argh………!!! Kenapa sih, gak ada cowo’ lain aja yang ngedekatin. Kenapa yang nge-fans cuma orang macam dia. Coba seperti Tino, salah satu aktivis mesjid dikampus. Senyumnya yang selalu terpancar, membuat semua orang berdecak kagum karna keteduhannya. Tino, si wajah bersinar. Ya, si wajah bersinar. Sebutan itu lebih pantas.

5 September 2008
“Happy Birthday”
Selamat pagi dunia. Mulai mengawali hari ini dengan jiwa yang baru dan semangat yang baru. Jangan sebut Vivin yang dulu lagi. Aku mau belajar dari kesalahan, dan berhenti menghakimi. Ada suatu harapan yang harus kuukir disini. Mengajarkan kisah tentang perjuangan, pengorbanan dan kesabaran. Setiap desiran hati ini akan ku jadikan penguat dalam pahatan mahakarya. Karena menjadi besar itu, berawal dari ketika kita berfikir besar. Takkan ku biarkan jiwa yang semakin melemah ini. Wah, sejak kapan ya pandai melankolis?
Ya, diumur yang semakin tua ini (ups..), aku harus lebih bersungguh-sungguh lagi dalam belajar. Kasian ayah dan ibu, banting tulang untuk memenuhi biaya kuliahku yang tidak sedikit ini. Mereka rela mengganti malam menjadi siang, tidak tidur dalam kelamnya malam, demi mencukupi semua yang kubutuhkan. Seandainya dapat dibaca dari tiap tetesan peluh keringat mereka, ada namaku didalamnya, “untuk anakku, Vivin”. Oh… ayah, ibu.. maafkan anakmu ini. Aku pasti akan berhasil. Doctor, Wanna be!!!
Oh iya, aku hampir melupakan kado pemberian Lisna. Lisna, cewe’ jilbaber dikampus kami. Aku dengan Lisna satu tutorial semenjak semester tiga. Tutur bahasanya halus dan santun, ditambah Lisna anak yang cantik, semakin membuat ia terlihat lebih anggun dari teman-teman yang lain. Sebenarnya keinginan untuk menutup rambut hitam dengan balutan kerudung sudah sering singgah didalam hati ini. Hanya saja, aku masih takut ketinggalan mode, dibilang culun, atau bahkan dijauhi teman-teman komplotanku.
Langsung cepat-cepat kubuka bungkusan kado berwarna pink pemberian Lisna. Kubaca sebuah kartu yang bertuliskan tulisan tangan, “ Manakala nilai hidup ini hanya untuk diri kita, maka akan tampak bagi kita bahwa kehidupan kecil dan singkat. Yang dimulai sejak kita memahami arti hidup dan berakhir hingga batas umur kita. Tetapi apabila kita hidup juga untuk orang lain maka jadilah hidup ini bermakna panjang dan dalam. Bermula dari adanya kemanusiaan itu sendiri dan berlanjut sampai kita meninggalkan dunia ini. (Sayyid Quthub, Afraah Ar-ruuh) Met Ultah saudariku, Vivin. Dari sahabatmu Lisnawati”.
Mataku bergidik, kupandang erat-erat kado dari Lisna, sebuah buku. Covernya berwarna putih dan dibawahnya berwarna merah jingga. Dengan sebelah kanannya ada seorang wanita berdiri. Kutatap satu-satu tulisan besar diatasnya.
“Agar Bidadari Cemburu Padamu.”
Rasa penasaranku terus menyelimuti. Yang kutau, bidadari tak perlu merasa cemburu pada wanita dibumi ini, justru kitalah yang seharusnya cemburu karena kemuliaan bidadari. Kubuka acak halamannya,
“Dari HR Ath-Thabrani disampaikan. Aku bertanya,” Ya Rasulullah, manakah yang lebih utama, wanita dunia ataukah bidadai yang bermata jeli?”
Beliau menjawab, ”wanita-wanita dunia lebih utama daripada bidadari-bidadari seperti kelebihan apa yang nampak dari apa yang tidak terlihat.”
Aku bertanya,” mengapa wanita-wanita dunia lebih utama dari bidadari?”
Beliau menjawab, “Karena sholat mereka, puasa dan ibadah mereka kepada Allah. Allah meletakkan cahaya diwajah mereka, tubuh mereka adalah kain sutera, kulitnya putih bersih, pakaiannya berwarna hijau, perhiasannya kekuningan, sanggulnya mutiara, dan sisirnya terbuat dari emas……”
Tiba-tiba saja bulu kudukku berdiri, serasa ada yang menjadi cambuk bagi diriku. Terakhir sholat saja, mungkin magrib kemaren. Seketika dalam benakku berkata: Aku ingin berubah.
“Tiit…..ttiit…” ups, handphoneku berbunyi. Dan kuharapkan bukan dari si karmin.
“ Dari Ma2x RiN@: nak vivin, rina sjk td pgi, tdk mau kluar kmar. Nak vivin bisa ksni? Ibu btuh bntuan.”
Ada apa lagi dengan Rina. Mungkin saja ini masih ada sangkut pautnya dengan Bang Asep si ikan kakap dari pasar raya itu. Dasar Bang Asep, selalu saja membuat masalah semua orang.

Kutancap kuat-kuat gas kuda besi pemberian ayah. Hujan semakin lebat. Angin yang seperti badai ini terus saja melawan arah putaran rodaku. Aku harus tiba sebelum terjadi hal-hal yang tidak aku inginkan. Suara handphone yang terus bergetarpun sudah tak ku hiraukan lagi. Mungkin dari mamanya Rina.
Sesampainya dirumah Rina. Dengan badan yang masih basah kuyup, aku memutuskan berhenti sejenak didepan teras rumahnya. Kubaca satu-satu SMS yang masuk sejak diperjalanan tadi. Ternyata benar, dari mamanya Rina. Tanganku semakin bergetar, hatiku berkecamuk penuh kekecewaan dan rasa ketidakpercayaan atas apa yang terjadi. Ternyata benar, Rina terlalu berfikir pendek. Aku berharap kedatanganku belumlah terlambat. Tepat didepan pintu rumahnya, sayup-sayup terdengar suara tangis. Hatiku seakan-akan dipenuhi dengan perasaan kalut, sembari bibir ini ingin melafadzkan kalimat, “Innalillahi wainnailaihi roji’un…..”
Belum jadi ku ucapkan salam. Sosok wanita tua keluar dari kamar, mamanya Rina. Juga diikuti dengan anggota keluarga lainya. Dari bendungan air mata, sudah dapat kutangkap pesan dari berita apa yang sedang terjadi. Mereka tidak mengizinkanku masuk kekamar Rina. Kini mamanya Rina mendekatiku, kemudian memberikan selembar kertas.
“Ini, tulisan terakhir Rina…”, sahut mamanya Rina dengan nada yang sebenarnya agak terpaksa untuk bersuara. Ku ambil perlahan kertas yang sedikit berbau amis dengan beberapa bekas bercak tumpahan darah itu..
“Allah bagitu jauh, ataukah aku yang tidak pantas lagi hadir dihadapannya? Aku takut perasaan ini semakin meyelimut hingga aku benar-benar jauh dari-Nya. Aku meringis kesakitan, sebenarnya kini aku menyimpan luka. Mereka semua membenciku, air matakupun juga tak berpihak padaku. Kering sudah harapan, pudar sudah cita-cita, hilang sudah kebahagiaan. Yang tertinggal hanya penyesalan yang mengubah dunia bagai neraka. Dunia begitu kejam, akhiratpun bahkan akan sangat kejam lagi bagi jiwaku. Kemana aduankan bertepi, disaat semua orang hanya memberi kalimat cercaan? Kemana luapan kan membendung hati, disaat aku merasakan Allah begitu jauh. Allah begitu jauh…….. terlalu jauh. Aku memikul sebuah dosa besar, bahkan lebih besar dari bumi dan langit ciptaanNya. Siapa yang akan peduli untuk pasang telinga tentangku? Mereka pasti hanya menghempaskan pandangan jijik.
Ingin rasanya aku akhiri semuanya. Menutup sederetan kisah luka. Malang, babak baru pasti akan menghampiri lalu memvonis jiwa yang kelam ini. Begitu sial begitu malang. Terlintas dalam benakku untuk melakukan dosa-dosa baru. Toh, aku juga nantinya akan masuk kelautan api tersebut.
Ya….aku sudah korbankan kesucian ini, lahir maupun batin. Hingga akihrnya aku hidup dalam kubangan dosa. Kepuasan sesaat yang berujung kenistaan. Yang menghantarkan kesesatan dengan jalur cepat. Pezina! Seperti sambaran guntur. Panas ditelinga. Menusuk kedalam. Setiap terucap, yang kuingat hanyalah pandangan sinis semua orang. Aku benci mereka!
Jasad yang tak memiliki ruh. Sepereti mayat berjalan. Tidak mengharapkan dunia, tidak pula mengharapkan akhirat. Itulah diriku saat ini! Aku justru menjadi aib keluarga dan beban penderitaan baru bagi kedua orangtua ku. Kalau sudah seperti ini, apalagi yang kucari? Menanti susunan kata-kata menyakitkan hingga menjadi puluhan kamus sampai ajalku datang dengan sendirinya? Dan setelah dihembusan nafas terakhir,menantikan hukuman lalu menunggu lahar panas dari Sang pemilik lautan api? Atau berkhayal mendapatkan ampunan tanpa harus menjalani hukuman dari Sang pemilik samudra maaf?
Aku fikir sudah saatnya. Tiada gunanya aku menunda. Lebih baik ku akhiri semua ini dari sekarang. Mengurangi sedikit kepedihan yang selalu menyayat. Merasakan babak baru dengan suasana berbeda, meski akan merasakan siksaan yang lebih kuat. Aku hanya ingin mereka melupakanku, dan berhenti menghina. Memberikan sedikit kelapangan bagi papa dan mama tercinta. Menutup mata rapat-rapat tanpa akan pernah terbuka lagi. Hingga tiba batas waktu bumi ini. Ma.. Pa… I Love You”
“Astaghfirullah……….”, berulang-ulang kuucapkan, walau kalimat itu sebenarnya jarang terlontarkan dari bibir ini. Air mataku terus mendanau. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku menyesali perbuatan Rina. Kehidupan yang begitu mengerikan. Mengapa Rina harus mengambil keputusan untuk meregang nyawanya ditangan sendiri…?
Aku hanya bisa terduduk lemas. Serasa ada yang menyesak hingga ke tenggorokan. Berbagai kenanganku dengan Rinapun berkelebat. Rina, inikah hadiah ulang tahunmu untukku? Tiba-tiba aku menjadi takut dengan kematianku. Aku takut dengan pertanggungjawaban yang harus kuserahkan dihadapan Allah…
Ya Allah…. Aku takut.

26 Januari 2009
Tak terasa air mata jatuh dengan sendirinya membasahi pipi. Tubuh ini seperti dibasahi kesejukan embun. Lagi-lagi aku katakan, inilah keindahan cinta dari Sang Khalik. Puji syukur terus menyelimuti hati. Baru kali ini kegelisahan tertutup oleh ketenangan. Seakan-akan aku mendapatkan keindahan cinta yang tiada tara. Rindu itu merasuk kerongga-rongga hati. Ya, I’am falling in love. Cinta yang membuahkan kebahagiaan. Cinta yang menghasilkan ketentraman. Semuanya menyelimuti menyesak masuk ke dalam otak dari Ciptaan Sang Maha Agung ini. Bibirku tak henti-hentinya melafadzkan kalimat tahmid, bertasbih memuji keRahmanan dan ke RahimanNya…. Segala Puji Bagi Allah!!!
Kutarik nafas dalam-dalam lalu menghelanya panjang. Anugrah yang sangat indah yang kuanggap adalah saat-saat ketika aku mulai berubah dan memulai semua kehidupan dengan yang baru. Yaitu, saat ini. Sungguh besar nikmat yang diberikanNya. Pikiranku melayang jauh, terbang tinggi……
“Tiiit tiiit….”. Ups, anganku lepas.
“Dari LisN@: Aslm. Ukhti sholehah. Kni ksejukn jelitamu tlah trbalut ktduhn snr krudungmu. Hari ini, ukhti trlht lbh cntik. Ttp rndh hti, krn itu adlh pncrn mta hti. I lov u, coz Allah”
Bibirku tersenyum. Aku jadi malu sendiri dengan pujian Lisna. Insya Allah, semoga keteguhan hati ini akan tetap terus terjaga. Kini ku siap yakinkan diriku dan semua orang bahwa, AKU SEORANG MUSLIMAH. Dan, kan kubiarkan kerudung putih ini menemani pada setiap akivitasku.
Aku memutuskan untuk berhenti dari kepenatan hidupku selama ini. Semenjak kejadian itu, hatiku seperti terus berkecamuk tak karuan. Aku membutuhkan ketenangan untuk menjawab kegelisahan ini. Hingga akhirnya, setiap malamku selalu terbayang Rina, juga tempat peristirahatannya sekarang. Sampai suatu ketika, aku mencoba ‘tuk mengambil lagi kado ulang tahun dari Lisna, sebuah buku yang hanya sempat kubaca selembar itu. Entah mengapa, setiap terucap kalimat kematian dan juga akhirat, air mataku terus menetes tak berhenti. Terbayang lagi semua kisah perjalanan detik jam yang selalu kubuang sia-sia. Aku meyesal.
Aku mencoba mengambil air wudhu dan berdiri tegap –untuk pertama kalinya disepertiga malam ini– diatas sajadah. Aku takut hati ini sudah terlanjur mengeras, hingga cahaya itu sukar menembus masuk kemari.
“Lisna, terimakasih ya, kado yang kemaren itu bagus sekali.”
“ Oh…… itu memang kado untuk bidadari seperti anti”, jawabnya tersenyum sambil memegang pundakku. Aku hanya bisa tersenyum. Dan malam itu, dalam hentakan berirama kami gerakkan seluruh anggota tubuh ini menghadap kiblat dengan pandangan yang tunduk. Ya, malam itu terasa penuh hikmat.
Seperti ada pesan persahabatan dari senyum Lisna, dan barulah kuketahui bahwa inilah yang dinamakan, “Ukhuwah Islamiyah”. Ukhuwah yang tidak hanya sebatas dunia, melainkan karena ada kesamaan akidah dan harapan yang ingin dibangun dalam rumah surga. Akan ku kuatkan azzam ini untuk berubah menjadi seorang muslimah sebenarnya. Hingga bidadari dari jendela langit diatas sanapun akan kubuat ia cemburu. Begin with end of mind.
Kini……
Dibawah langit kampus hijau. Awan putih diantara pelapis yang biru. Sesekali hembusan angin menghampiri bak menyampaikan pesan. Diantara penatnya langkah kaki yang kian melangkah, sembari carut marutnya kesibukan setiap orang. Kuukir sebuah cita-cita baru. Aku ingin RidhoNya dalam setiap langkah-langkah kecil ini. Dan, akan kubuat menjadi semakin komplit seluruh anggota tubuh ini untuk bersama-sama merentas sebuah harapan yang sama. Bersama jutaan sel yang sedang bertasbih melaksanakan ibadah mereka. Niat suci itu mengalir memenuhi dalam setiap tubuh, hingga menyesak dalam setiap relung-relung organ tubuh secara keseluruhan. Tidak akan ku biarkan diriku lalai mengingatNya. Dan tak akan aku biarkan setan-setan itu mengambil andil untuk melakukan peredaran di dalam darah ini. Kini aku semakin faham, bahwa tubuh ini adalah milik Allah, otak ini, hati ini, jantung ini, tangan, kaki dan yang lainnya adalah milik Allah. Bagaimana aku dapat menuntut ilmu, jika sekiranya Allah sedang tidak ridho atas waktu-waktu yang aku habiskan bersama dengan tubuh yang Allah titipkan ini. Karena kini ku miliki cita-cita yang baru: I’am a muslimah doctor.
“Jangan lihat pakai mata kepala ukh, tapi coba lihat dengan mata hati ”, bisik Lisna perlahan sambil ketawa kecil, saat sedang praktikum anatomi. Ah, sahabatku yang satu ini. Aku menjadi semakin menyayanginya.
Ya Allah… terimakasih. Engkau telah hadiahkan padaku sahabat-sahabat yang selalu berdzikir kepadaMu. Sahabat yang selalu mengingatkanku padaMu, disaat aku merasa sangat jauh dari hidayah putih nan suci. Sahabat yang mengajarkanku selalu tentang semua jeritan kepiluan agamaMu. Sahabat yang mengajakku menyerukan kebenaran, ketika dunia sibuk dengan hangar bingar histeris hedonis yang mampu memayakan akhiratMu. Menuntunku masuk dalam barisan dakwahMu. Hingga masa muda ini, dapat kuisikan penuh dengan karya cinta, menapak bersama pada ujung kehidupan. Menjadi generasi Ibnu Sina selanjutnya. Yang hanya akan kuserahkan padaMu diatas panji Al-qur’an dan Assunah.
Aku menyesali keputusanmu Rina. Seandainya engkau mau bersabar sedikit atas semua ini, mungkin tidak akan begini jadinya. Selamat jalan sahabat. Semoga Allah mengampuni atas semua salah dan khilafmu.

“Tiit… tiiit….”
Dari 085763082xxx : Aslm. Ukh, slmt dtang dlm ladang dakwah dkmps qt. keep istiqomah. (Tino)

5 September 2009
Teruntuk Sahabatku,
Dalam detik-detik kepergian


Aisyah Amatullah .A
FK. Univ. Baiturrahmah/07

Tidak ada komentar:

Posting Komentar