udul note diatas terasa begitu bombastis. Tapi inilah kenyataan bahwa kita sudah berada di PENGHUJUNG WAKTU. Kajian-kajian dan fakta-fakta ilmiah yang saya sajikan berikut, dapat dijadikan bahan renungan bagi kita agar kita tetap dalam jalur 'FASTABIQUL KHAIRAT'. Hingga tabungan dan investasi amal kita cukup memadai untuk BEKAL dalam PERJALANAN MENUJU TEMPAT TRANSIT, hingga DIADILI dan mendapatkan VONIS terakhir dimana TEMPAT PERHENTIAN AKHIR kita. Kajian dan fakta ilmiah berikut didapa dari berbagai sumber yang dapat dipercaya kebenarannya (Insya Allah).
Ancaman Bintik Surya
Selain Ulysses, generasi satelit terbaru yang memelototi aktivitas surya dalam relasinya dengan bumi adalah SOHO (Solar and Heliospheric Observatory --Pengamatan Surya dan Heliosfer) yang meluncur pada 2 Desember 1995. Tugas utamanya adalah mengidentifikasi lontaran CME (coronal mass ejections) atau ledakan bintik matahari, letupan surya, angin surya, dan semacamnya, yang menuju ke bumi. Info itu berguna bagi para ilmuwan untuk mengupayakan perlindungan terhadap satelit, pembangkit listrik surya, dan berbagai teknologi yang sensitive terhadap surya. Kini SOHO terus memberikan informasi ke kontrol misi yang dikelola NASA di Goddard Space Flight Center di Maryland, tak jauh dari Washington.
CME adalah gas awan superpanas yang keluar dari surya dan melesat melalui ruang antarplanet. Ia menciptakan gelombang kejut yang meningkatkan kecepatan beragam partikel.
Banyak proton di depannya terkena efek desakan dan menghasilkan badai proton. CME bergerak dengan kecepatan 1.000 sampai 2.000 kilometer per detik. Jika CME mengarah ke bumi, efeknya akan dirasakan satu atau dua hari kemudian. Dua dasawarsa ini memang menjadi momen bagi para ilmuwan untuk mengerubuti matahari, pusat tata surya, yang ribuan tahun dimengerti manusia sebagai sumber stabilitas dan energi bagi kehidupan.
Untuk menyelidiki struktur magnetik --termasuk bintik matahari yang muncul di permukaan surya-- maka meluncurlah TRACE (Transition Region and Corona Explorer). Penjelajah Kawasan dan Korona Transisi ini akan melengkapi RHESSI (Reuven-Ramaty High Energy Solar Spectroscopic Imager --Pencitraan Spektroskopi Surya Kekuatan Tinggi Reuven-Ramaty), yang menyajikan citra sinar-X dan sinar gama letupan surya sejak 2002. Bahkan, sejak 2003, University of Colorado, dengan Laser and Spectrum Physics Laboratory, mengoperasikan satelit SORCE (Solar Radiation and Climate Experiment) untuk menjawab rasa penasaran atas efek matahari terhadap atmosfer bumi. SORCE akan ditemani armada satelit STEREO yang diluncurkan NASA, satelit Yokoh B yang diluncurkan badan antariksa Jepang, dan Solar Dynamics Observatory (SDO) milik NASA. Satelit STEREO berfungsi bak sepasang mata yang menyediakan gambar tiga dimensi CME.
Lalu Yokoh B akan menyediakan gambar-gambar resolusi sangat tinggi pada kejadian di matahari. Sedangkan SDO bertugas mengurai dampak kejadian di matahari terhadap bumi. Belakangan, ada pemikiran yang didasarkan pada temuan ilmiah bahwa planet-planet, termasuk bumi, membantu timbulnya bintik matahari dan sekaligus dipengaruhi olehnya. Konfigurasi dan jajaran planet memberi pengaruh besar kepada matahari.
Tim inti ilmuwan angkasa mengemukakan bahwa planet bumi secara reguler memancarkan pengaruh elektromagnetik dan gravitasi yang signifikan terhadap matahari. Perlu dipahami bahwa surya berkarakter cair dan lembek, sehingga lebih rentan terhadap tarikan magnetik dan gravitasi. Empat planet dalam yang berada di sisi matahari seolah dibatasi asteroid yang memisahkan Mars dan Jupiter. Dari empat planet dalam, yakni Merkurius, Venus, bumi, dan Mars, ternyata bumi memiliki massa terbesar, medan gravitasi terkuat, dan medan magnet terbesar.
Dengan demikian, relasi matahari-bumi berjalan dua arah. Ada sistem umpan balik energik antara matahari dan bumi yang melahirkan berbagai fenomena menarik nan dahsyat. Topan, letusan vulkanis, gempa bumi, dan kejadian iklim/seismik lain pada saat sejumlah besar energi dilepaskan tak lain adalah efek hubungan bumi mempengaruhi dan dipengaruhi bintik matahari.
Ada pergeseran pandangan bahwa tidak hanya matahari yang mempengaruhi bumi, melainkan ada hubungan energi dua arah, meskipun pengaruh matahari jelas lebih besar. Nah, apa yang terjadi jika efek saling mempengaruhi medan magnet itu terjadi pada 11 planet, plus matahari. Matahari, 10 planet tata surya, termasuk planet X terbaru, dan bulan –satelit bumi-- saling menarik. Pengaruh terbesar muncul jika gabungan planet berada dalam posisi segaris 0 derajat atau bisa saja membentuk bujur sangkar 90 derajat. Sejumlah konfigurasi mampu memicu keretakan lapisan luar matahari dan mengaduk-aduk isinya.
Richard Michael Pesichnyk dan ilmuwan angkasa lainnya memegang keyakinan bahwa sudut antarplanet menentukan pengaruh relatif planet-planet. Demikian pula, pusat massa tata surya tidak berada di inti matahari. Pusat massa itu selalu berubah, sebagai dampak pola orbit dan jajaran planet. Menurut Thomas Burgess, fisikawan kuantum benda-benda padat, jajaran planet dapat bergerak ke titik yang hanya berjarak 1 juta mil atau 1,6 juta kilometer dari matahari.
Jika hal itu terjadi, matahari akan mengembung ke arah pusat massa tata surya. Semakin besar daya tarik gravitasi terhadap matahari, semakin besar pula kemungkinan permukaan matahari merekah dan bocor, melepaskan apa yang disebut "radiasi terpenjara", yang puluhan ribu tahun terperangkap dalam selubung luar matahari.
Pada kondisi normal, radiasi itu merambat dari matahari secara stabil dan hampir konstan.Namun, ketika permukaan matahari terkoyak, "radiasi terpenjara" itu akan meletup, menimbulkan ledakan besar. "Radiasi terpenjara dapat lolos dari matahari lewat robekan atau gelembung negatif," kata Burgess, seperti dikutip Lawrence E. Joseph. Gelembung negatif itu berwujud cekungan di permukaan matahari. Kondisi ini membuat radiasi akan mudah menembus massa yang lebih sedikit.
Perisai Magnetik Bumi Terkoyak
Daya serangan radiasi matahari itu akan makin besar ketika medan magnet pelindung bumi ternyata juga terkoyak. Para ahli geofisika telah lama meneliti rekahan sebesar California yang muncul di medan magnet pelindung bumi dari Hermanus Magnetic Observatory, Tanjung Barat Daya, Afrika Selatan. Pieter Kotze, seorang ahli geofisika di Magnetic Observatory, telah mendokumentasikan penipisan medan magnet pelindung bumi.
Kotze mendapatkan data itu melalui komputer canggih yang dapat menganalisis data dari sensor elektromagnetik yang tertanam di bawah tanah. Medan magnet bumi berasal dari perputaran inti besi cair bumi. Memang hukum inersia dan hukum yang mengatur listrik serta magnetisme tidak bisa dianulir. Namun medan magnet pelindung yang membentengi permukaan bumi dari radiasi proton dan elektron yang berlebihan tidak bersifat abadi.
Berlimpahnya radiasi surya ternyata juga akan menghalangi sinar kosmis. Padahal, sinar kosmis berupa partikel dan gelombang luar angkasa yang sangat aktif berperan dalam sebagian besar formasi awan di sekitar bumi. Awan, terutama yang melayang rendah, membantu menghalangi radiasi inframerah panas dari matahari. Proses ini sangat membantu menjaga permukaan bumi tetap dingin.
Terkoyaknya medan magnet bumi atau magnetosfer adalah sebuah ancaman. Pasalnya, medan magnet bumi berfungsi memantulkan radiasi surya dan menyalurkannya ke sabuk yang mengelilingi atmosfer luar planet bumi. Magnetosfer ini berupa medan elektromagnetik raksasa yang menyembur dari kedua kutub, laiknya perilaku bijih besi di sekitar magnet batang dan mengembang jauh di atmosfer.
Menurut Kotze, medan magnet antarplanet (interplanetary magnetic field, yang pada intinya merupakan medan magnet yang memancar dari matahari, juga mempengaruhi ukuran dan bentuk magnetosfer. Ternyata medan magnet antarplanet bisa memperkuat magnetosfer dengan masukan energi surya. Pada waktu lain, medan magnet antarplanet menekan medan magnet bumi, membuat makin padat, membelokkannya, dan bisa mengoyaknya.
Perisai pelindung bumi itu secara elementer bertugas melindungi organisme hidup di permukaan bumi. Magnetosfer bumi menyalurkan radiasi surya ke dua sabuk, yang dikenal sebagai sabuk radiasi Van Allen. Sabuk yang ditemukan James A. Van Allen melalui Explorer I dan Explorer II pada 1958 itu terbentang pada ketinggian 10.000 hingga 65.000 kilometer. Dalam pandangan Lawrence E. Joseph, banyak ilmuwan yang belum menemukan jawaban mengapa medan magnet mulai menipis. Perkiraan terbesar, karena adanya turbulensi di medan magnet antarplanet sampai kekacauan fluktuasi inti cair bumi. Fenomena penipisan itu mengundang spekulasi bertukarnya posisi kedua kutub planet bumi. Riset terhadap sampel inti es dan sedimen dari dasar laut mengindikasikan bahwa kutub magnetik pernah bertukar tempat. Terakhir kali terjadi kira-kira 780.000 tahun lalu.
Pergeseran kutub itu membawa konsekuensi dahsyat pada muka bumi. Geolog William Hutton menyatakan, pergeseran kutub tipe kemerosotan mantel bumi akan memicu pergeseran awal ekuator di atas permukaan bumi. Ketika ekuator bergerak memasuki daerah baru di permukaan bumi, kawasan itu akan mengalami perubahan daya sentrifugal dan ketinggian permukaan laut.
Gejala ini akan menyebabkan pembagian baru daratan dan laut serta akan terjadi gerakan tektonis di kerak bumi. Bencana seismik dan tektonis pun bakal sulit terhindarkan. Meskipun pergeseran itu akan terjadi dalam waktu lama, yang pasti, memudarnya medan magnet bakal melemahkan efek perlindungannya. Permukaan bumi akan jauh lebih rentan terhadap radiasi, yang terus membombardir dari luar angkasa.
Kejadian alam yang mengagetkan para ilmuwan adalah retaknya perisai radiasi surya dan kosmis selama sembilan jam, sepanjang 160.000 kilometer, yang dikenal dengan sebutan anomali Atlantik Selatan. Menurut Kotze, penipisan medan magnet bumi kemungkinan memicu penipisan lapisan ozon. Ini terjadi, ketika radiasi proton matahari menembus perisai magnetic bumi, reaksi kimia di atmosfer terpengaruh. Suhu pun meningkat tajam dan tingkat ozon di stratosfer menurun drastis.
Penipisan ozon itu akan membuat atmosfer menjadi lebih mudah ditembus sinar ultraviolet matahari. Radiasi surya dan kosmis akan memicu berbagai persoalan kesehatan, jaringan listrik, iklim, dan lingkungan hidup.
Memasuki Badai Awan Energi
Pengetahuan manusia mengenai penciptaan terus berkembang. Kini ledakan besar (big bang) diyakini sebagai awal alam semesta. Alam semesta pun mengembang secara merata ke segala penjuru. Tidak ada yang tetap diam di alam semesta ini, baik dari dimensi panjang, lebar, tinggi, maupun waktu. Pada konteks alam semesta yang dinamis dan terus bergerak, menurut Dr. Alexey Dmitriev, ahli geofisika dari Russian Academy of Science, bumi pada saat ini tengah berada dalam zona bahaya galaksi. Dmitriev adalah geofisikawan yang memiliki 200 publikasi akademis, kebanyakan tentang geofisika dan meteorologi, baik tentang bumi maupun planet lainnya.
Pada saat mengorbit pusat galaksi, matahari dengan tata suryanya melewati berbagai area angkasa yang berbeda. Beberapa di antaranya memiliki energi lebih besar dibandingkan dengan yang lain. Dmitriev mengingatkan, kini hujan badai antarbintang sedang dilewati tata surya. Bisa dipahami bahwa meningkatnya aktivitas surya adalah akibat langsung meningkatnya aliran materi dan energi ketika tata surya memasuki awan energi antarbintang.
Dmitriev mengemukakan tiga hal di alam semesta yang selama ini dikesampingkan para ilmuwan ortodoks. Tiga hal itu adalah kondisi dinamis dan tambahan media antarplanet, dampak energi dari konfigurasi planet-planet tata surya, serta adanya impuls dari pusat galaksi.
Tiga hal itu begitu mempengaruhi bumi.
Bumi, selain berotasi sendiri dan mengelilingi matahari, juga bagian dari tata surya yang bergerak di orbit tak dikenal melalui galaksi Bima Sakti, yang juga berkelana di alam semesta. Ketika tata surya mengorbit dan ikut berkelana menumpang galaksi Bima Sakti, diyakini oleh sebagian fisikawan bahwa saat inilah tata surya memasuki awan energi.
Tata surya ibarat pesawat yang menjelajah dan mulai memasuki turbulensi antarbintang. Ini terjadi karena adanya ruang antarbintang yang sifatnya heterogen. Seperti objek yang melewati media lain, heliosfer (tata surya) yang masuk ke ruang antarbintang lain menciptakan gelombang kejut. Kekuatan gelombang akan bertambah besar ketika heliosfer memasuki kawasan angkasa yang lebih padat.
Gerakan ini, menurut Dmitriev, bakal membentuk aliran materi dan energi dari ruang antarplanet ke tata surya. Energi yang disuntikkan ke kawasan antarplanet bisa mengejutkan matahari secara inkonsisten, membebani medan magnet bumi, dan memperparah pemanasan global di bumi.
Fenomena awan energi antar bintang ini juga menjadi kajian Vladimir B. Baranov. Ilmuwan Rusia ini mengembangkan model matematis heliosfer berdasarkan data dari Voyager. Model Baranov itu, dari telaah para ilmuwan Rusia, Eropa, dan Amerika Serikat, mengindikasikan kaitan hingga 96% antara data Voyager, informasi NASA dan ESA, serta evaluasi dasar energi dan ruang yang dikerjakan Dmitriev. Isinya dugaan bahwa heliosfer akan berada dalam gelombang kejut selama 3.000 tahun selanjutnya. Sejumlah observasi pada planet-planet luar sejak 2006 memperlihatkan sejumlah anomali.
Uranus dan Neptunus mengalami pergeseran kutub magnetik. Jupiter memperlihatkan efek gelombang kejut dan melipatgandakan medan magnetnya hingga melebar sampai ke Saturnus. Bahkan, sejak Maret 2006, muncul bintik merah baru di Jupiter, seukuran bumi. Di lokasi bintik merah, yang disebut Oval BA, itu kini terjadi badai elektromagnetik tanpa henti. Efek gelombang kejut itu juga dialami planet-planet dalam. Atmosfer Mars, misalnya, semakin padat. Komposisi kimia dan kualitas optikal atmosfer Venus berubah menjadi makin bercahaya.
Juga matahari, yang berada di pusat heliosfer, karena susunan materinya menjadi lebih rentan terhadap efek energi dibandingkan dengan planet lain. Bumi sendiri --dan planet yang lain-- berada dalam bahaya ganda sebagai dampak langsung gelombang kejut dan pergolakan yang muncul di matahari.
Menurut hipotesis Gaia Lovelock, yang dikemukakan Gaia James Lovelock, pada prinsipnya bumi berupa superorganisme. Ia bukan bongkahan batu dan air yang tak bernyawa. Esensi hipotesis itu adalah sistem umpan balik negatif, di mana biosfer menyesuaikan dan mengatur dirinya sebagai kompensasi atas gangguan eksternal.
Nah, mekanisme adaptif biosfer ketika memasuki badai awan energi itu bisa berupa apa saja. Jika tiba-tiba panas karena memasuki awan energi antarbintang, biosfer akan mencari jalan untuk mendinginkan tubuhnya. Salah satu jalan adalah dengan ledakan supervulkanik, yang bisa membawa bumi pada zaman es. Tantangan biosfer bakal makin besar karena awan energi antarbintang juga akan menyuntikkan kilat dan gelombang panas, cahaya, serta radiasi elektromagnetik ke sistem iklim bumi.
(bersambung...)
Note:
Sumber utama:
G.A. Guritno. Ragam, Gatra Nomor 38 Beredar Kamis, 30 Juli 2009 dan beberapa sumber lainnya.
Semoga Bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar