Usai shalat Dhuha istrinya meminta izin memberi sedekah ala kadarnya  kepada pengemis yang mengiba di gerbang istana. Sang suami segera  menebar sejumlah argumen. Pembiasaan memberi sedekah kepada pemalas  adalah bukan pilihan cerdas, tetapi justru akan mendorong mereka semakin  terpuruk ke jurang kemiskinan. Tidak sepantasnya mereka bermalas-malas  untuk meraih sesuatu. Dan adalah tidak adil, saya berlimpah harta  sebagai hasil kristalisasi peluh keringat, pada sisi lain ia berharap  rejeki sembari berpangku tangan. Dan seterusnya. Retorika itu terformula  dalam untaian kalimat yang rapi, indah dan sangat rasional. Tetapi  sesungguhnya orang itu tengah membungkus rapi ideologi materialistisnya,  yakni menggusur habis peran Ar-Razzaq yang Pemilik Otoritas Tertinggi  ”pandum” rejeki kepada siapapun yang dipilih-Nya dan seberapapun  banyaknya (wa yarzuqhu min haitsu laa yahtasib), serta digantikan oleh  supremasi keringat dan kerja keras semata.
*******
Roda kehidupan terus bergulir. Suami-istri itu masing-masing menjemput  takdirnya. Pendulum dinamika kehidupan demikian cepat bergerak. Keluarga  itu bangkrut dan jatuh miskin. Friksi tajam dalam menatap rona  kehidupan antar keduanya berujung pada pilihan mereka harus menapaki  jalan hidup masing-masing. Cerai.
********
Pergulatan kehidupan penuh warna membawa kembali wanita itu kepada  bahtera rumah tangga. Allah SWT gantikan suaminya yang ”matrek” dahulu  dengan lelaki yang shalih dan berlimpah harta. Drama kehidupan kembali  berulang. Ketika ia meminta ijin kepada suami barunya untuk memberi  sedekah kepada peminta-minta, sang suami segera menggapai dengan senyum  dan lantunan kata adihulung penuh syukur. ”Berikan ia yang terbaik dan  yang kamu suka”. Segera setelah memberikan sedekah, sang istri kembali  kepada suami tercinta dengan tersedu. ”Masih kurang kah pemberian kita?”  Sang suami menghibur. Istri semakin tersengal-sengal napasnya. Bibirnya  bergetar, tetapi tetap terkatup. Akhirnya, sambil terbata ia bertutur,  ”Pengemis yang di luar sana adalah mantan suamiku”. Sang suami segera  memeluk erat sambil berbisik, ”Subahanallah, aku juga mantan pengemis  yang terlunta-lunta dan dihardik mantan suamimu”. Hati istri semakin  berguncang. Suami dengan penuh kesabaran meredakan gejolak jiwa. Iapun  melanjutkan penuturannya, ”Hardikan itu membuatku bangkit dan sadar.  Mengemis akan membuatku terperosok dalam lubang kehinaan di hadapan  Allah SWT dan makhluk-Nya. Sejak itu aku memulai kehidupan baru yang  lebih keras dan berkeringat untuk memunguti titipan dari-Nya. Jikapun  aku harus meminta, maka Ar-Razzaq saja yang patut diandalkan ”

 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar