Senin, 26 April 2010

**Memahami Ta’aruf Dalam Suatu Proses Khithbah**

Keinginan untuk dapat saling mengenal satu sama lain antara seorang ikhwan dan akhwat karena adanya rasa ketertarikan merupakan salah satu manifestasi (penampakan) dari adanya naluri melestarikan keturunan (gharizatu an-nau') pada diri seseorang yang muncul karena telah terjadinya interaksi diantara mereka baik secara langsung maupun tidak langsung. Keingintahuan seorang ikhwan terhadap seorang akhwat atau sebaliknya, terkadang mampu mendorong seseorang untuk melakukan upaya ’pedekate’. Mulai dari sekedar ingin tahu namanya, nomor HP/ telponnya, bahkan bisa lebih jauh dari sekedar itu. Tentunya bagi seorang muslim, salah satu penampakan gharizatu an-nau ini tetap memerlukan adanya pemahaman dan penyikapan yang terbaik, karena tidak ada jaminan bahwa seorang yang dijuluki sebagai aktifis dakwah sekalipun dapat dengan mudah menempatkan keinginan tersebut secara wajar apalagi ketika gejala ini terus-menerus menjangkiti dirinya. Sehingga jangan heran apabila dalam hari-hari yang dilaluinya semula selalu nampak ceria, berikutnya mendadak malah menjadi muram ketika ia selalu teringat kepada seseorang yang ingin dikenalnya namun orang tersebut tak kunjung jua mendekatinya. Jangan heran pula, jika dalam hari-hari yang semula terasa mendung, mendadak menjadi hari yang cerah-ceria ketika seseorang yang selalu mampir dalam ingatannya itu tiba-tiba berkirim sms, e-mail atau sekedar menitipkan salam baginya melalui seorang sahabat J. Tentu kalau sudah begini bisa lebih repot urusannya jika gejala yang menjangkiti mereka berdua tidak segera mendapatkan therapy yang syar’i, yaitu segera melakukan khithbah. Khithbah dilakukan agar keinginan untuk mengenal (ta’aruf) seseorang satu sama lainnya secara lebih jauh dapat dilakukan dalam batasan-batasan dan untuk mencapai tujuan yang diperbolehkan oleh syara’.

Dalam melakukan proses khithbah (meminang) maka tujuan yang hendak dicapai dalam proses ini adalah agar dimilikinya keyakinan yang kuat bagi kedua belah pihak untuk dapat memutuskan sikap apakah segera melanjutkan pada pernikahan atau bahkan segera menghentikan (membatalkan) khithbah tersebut. Jadi mengkhitbah bukan sekedar ingin saling kenal tanpa memahami tujuan yang seharusnya dicapai atau bahkan malah melakukan hal-hal yang dapat menjerumuskan kepada maksiat. Keputusan yang diambil oleh kedua belah pihak, baik untuk segera menikah ataupun segera membatalkan khithbah, merupakan keputusan yang harus didasarkan pada adanya alasan-alasan syar’i yang telah difahami dengan jelas dan diyakini oleh keduanya. Keputusan untuk segera menikah boleh disepakati oleh keduanya apabila telah merasa cukup saling mengenal dan memahami satu sama lain serta adanya kesiapan yang matang dari berbagai hal yang menunjang pelaksanaan pernikahan. Sedangkan keputusan agar sebaiknya khithbah dibatalkan, dapat disepakati oleh kedua belah pihak apabila satu sama lain saling merasa tidak ada kecocokan atau karena adanya hambatan-hambatan lain yang membuat keduanya bersepakat untuk membatalkan khithbah. Adapun berbagai argumen dan informasi yang menguatkan kedua belah pihak untuk dapat menetapkan suatu keputusan (aqad nikah atau khithbah dibatalkan) dapat diperoleh dengan cara dilakukannya proses saling mengenal dan memahami (ta’aruf) tersebut terlebih dahulu terhadap satu sama lainnya sesuai dengan cara-cara yang ma’ruf pula.

Oleh karena itu pemahaman mengenai ta’aruf juga merupakan hal yang penting untuk diperhatikan dan dilaksanakan terutama bagi mereka yang akan dan sedang dalam menjalani proses khithbah. Sebab dalam praktiknya ada juga kasus dimana sepasang Hamba Allah yang sebelumnya saling memiliki perasaan menyukai, mencintai atau menyayangi satu sama lain kemudian memutuskan untuk menjalani proses khithbah. Namun di tengah-tengah jalannya proses tersebut, salah satu pihak membatalkannya tanpa didasari pada hujjah (argumen) yang syar’i (yang bersifat prinsip/pokok), misalnya karena alasan-alasan berikut:

‘sepertinya saya sudah merasa bosan dengan dia (kalau terjadi seperti ini, mungkin sebelumnya bisa jadi telah melakukan pelanggaran syari’at dalam menjalani khithbah, sehingga berani mengungkapkan kata ‘bosan’)’

’saya melihat dia bukan calon pasangan yang setia, buktinya kemarin saya lihat dia naik becak bersama seorang laki-laki! (padahal ikhwan itu adalah tukang becaknya, karena tidak mungkin akhwat yang mengayuh becaknya sendiri J)’

’saya benci dengan dia, sebab waktu kemarin bertemu di jalan dia tidak menyapa saya sama sekali (padahal mungkin saja dia sedang buru-buru sehingga tidak sadar bahwa yang berpapasan dengannya adalah kita)’, ataupun

’Dia sudah tidak perhatian lagi, masa kalau disms membalasnya satu jam kemudian (padahal mungkin saja pulsanya habis, hpnya tertinggal, sedang sibuk/tertidur, dsb).

Berbagai argumen di atas merupakan hal-hal sederhana, namun bisa menjadi hal-hal yang rumit dan besar ketika dipolitisasi oleh hawa nafsu serta tidak didasari oleh ilmu dan fikiran yang positif (khusnuzhan) dalam menyikapinya. Bahkan karena argumen di atas pula, suatu proses khithbah bisa jadi berantakan alias batal. Padahal tindakan seperti ini merupakan kecerobohan yang dilakukan oleh seorang muslim yang lebih terdorong oleh sentimen emosional ketimbang oleh kejernihan fikiran dan hatinya, sehingga ia tidak dapat mengidentifikasi, memahami dan menyelesaikan permasalahan tersebut dengan seharusnya ketika tidak mampu saling mengenal dan memahami satu sama lain secara syar’i. Di sinilah kedewasaan berfikir dan bersikap dari kedua insan yang akan mengarungi kehidupan berumah tangga mulai dituntut agar dapat berperan nyata.

Pengertian Ta’aruf

Berta’aruf artinya berupaya untuk dapat saling mengenal dan memahami satu sama lain baik untuk keperluan yang umum maupun keperluan yang khusus dengan cara-cara yang ma’ruf (sesuai syari’at). Aktifitas berta’aruf terjadi karena memang Allah Swt menciptakan manusia antara satu sama lainnya dengan saling memiliki perbedaan agar dapat saling mengenal pula. Allah swt berfirman:

’Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang yang mengetahui’ (TQS. Ar-Ruum [30]:24)

’Hai manusia sesungguhnya kami telah menciptakan kalian dari seorang pria dan seorang wanita, lalu menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal’ (TQS. Al-Hujurat [49]:13)

Berdasarkan ayat di atas, maka aktifitas saling mengenal antara seorang manusia dengan yang lainnya merupakan aktifitas yang lumrah dilakukan karena fitrah manusia memang diciptakan saling berbeda-beda. Sebagai seorang muslim, arahan kita dalam menjalani kehidupan umum adalah kita diperintahkan oleh Allah Swt untuk dapat saling mengenal, bahkan dianjurkan pula saling mengikatkan silaturrahim dan berbuat kebaikan terhadap satu sama lain yang semuanya dilakukan dalam rangka ketaatan kepada Allah Swt. Dari nu’man bin basyir bahwa rasulullah saw bersabda:

’Perumpamaan orang-orang mu’min dalam hal berkasih sayang dan saling cinta-mencintai dan mengasihi diantara mereka adalah seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh merasa sakit, maka seluruh anggota tubuh yang lain merasakan sakit dengan tidak bisa tidur dan merasakan demam (Mutafaq ’Alaih)’

Imam muslim meriwayatkan dari ’iyadh bin himar, ia berkata, aku mendengar Rasulullah Saw bersabda:

’Penghuni syurga itu ada tiga golongan. Pertama, penguasa yang adil, suka bersedekah, dan sesuai (dengan syari’at). Kedua, orang yang penyayang, hatinya mudah terenyuh untuk membantu kerabat, serta berserah diri (kepada Allah). Ketiga, orang yang menjaga kesucian diri dan menjadikan orang lain suci atas perlindungannya’

Jarir bin abdullah berkata bahwa rasulullah saw bersabda:

Allah tidak akan memberikan rahmat kepada orang yang tidak menyayangi manusia (HR. Muslim)

Sedangkan untuk keperluan yang khusus (khithbah), maka ta’aruf dilakukan untuk tujuan saling mengenal dan memahami berbagai karakter, kebiasaan, kondisi fisik, kesiapan materi/non-materi, dan sebagainya yang semuanya dilakukan dalam rangka proses mempersiapkan sebuah rumah tangga. Sehingga berta’aruf dalam konteks ini bukan hanya sekedar mengenal nama dan wajah seseorang saja, tetapi boleh mengenal hal-hal lebih dari itu, asalkan tetap mengikuti ketentuan syari’at. Dari Jabir Bin ’Abdillah, Rasulullah Saw bersabda:

’Apabila seseorang diantara kamu meminang seorang perempuan, jika ia dapat melihat lebih dahulu apa yang menjadi daya tarik untuk menikahinya, hendaklah ia melakukannya (HR. Abu Daud)’

Dari mughirah bin syu’bah, ia pernah meminang seorang perempuan, lalu Rasulullah Saw bersabda kepadanya:

’Sudahkah engkau melihatnya? Jawabnya ’belum’. Beliau bersabda:’lihatlah dia terlebih dahulu agar nantinya kamu berdua dapat hidup bersama lebih langgeng (dalam keserasian berumah tangga). (HR. An-nasa’i, Ibnu Majah, dan Tirmidzi. Hadits hasan)’

Dari Abu Umaid As-Sa’idi, bahwa Rasulullah Saw bersabda:

’Bila seseorang diantara kamu meminang seorang perempuan, tidak berdosa ia melihatnya, asalkan melihatnya hanya untuk kepentingan meminang, sekalipun perempuan itu sendiri tidak tahu. (HR.Ahmad).’

Melihat seorang akhwat yang dikhithbah tentu bukan sekedar melihat fisiknya (kecantikannya) tetapi juga melihat berbagai hal (non-fisik) yang diperlukan untuk menguatkan keputusan memilih akhwat tersebut seperti karakter, kebiasaan, perangai, ketakwaannya dalam beribadah, dan beberapa hal lainnya sehingga seorang ikhwan dapat menyimpulkan bahwa ia merupakan akhwat yang memang didambakan karena kesolehannya. Hal yang sama juga berlaku bagi seorang akhwat dalam menilai dan mempertimbangkan seorang ikhwan yang sedang mengkhithbahnya, sehingga dapat disimpulkan ia adalah seorang ikhwan yang cocok dengan keinginan saya, karena saya menemukan kesolehannya.

Dengan demikian, berta’aruf dapat difahami sebagai aktifitas yang boleh dilakukan oleh seorang muslim baik untuk keperluan umum maupun keperluan khusus. Namun, apabila ta’aruf dilakukan untuk keperluan khusus (khithbah), maka khithbahnya sendiri harus dilakukan terlebih dahulu baru kemudian diperbolehkan untuk mengetahui secara lebih jauh sisi kehidupan seseorang yang dikehendaki menjadi calon pasangan hidupnya tersebut.

Ketentuan-Ketentuan Dalam Ta’aruf

Ketentuan Umum Syari’at

Dalam melakukan ta’aruf, baik untuk keperluan umum maupun keperluan khusus (khithbah) ini tetap wajib memperhatikan batasan-batasan syariat, terutama jika interaksi tersebut terjadi antara laki-laki terhadap perempuan serta sebaliknya. Beberapa ketentuan syari’at tersebut menurut an-nabhaniy (2001:26) antara lain:

Pertama, menundukan pandangan. Allah Swt berfirman:

Katakanlah kepada laki-laki mukmin hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya. Sikap demikian lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya allah maha tahu atas apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita mukmin, hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya (TQS An-Nur [24]:30-31)

Kedua, mengenakan pakaian yang menutup aurat (bagi wanita mengenakan khimar dan jilbab) serta tidak bertabarruj (berhias). Firman Allah Swt:

Janganlah mereka menampakan perhiasannya selain yang biasa tampak padanya. Hendaklah mereka menutupkan kerudung (khimar) ke bagian dada mereka (TQS. An-Nur [24]:31)

Wahai nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan wanita-wanita mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka (TQS. Al-Ahzab [33]:59)

Ketiga, jangan berkhalwat (berdua-duaan) kecuali disertai mahramnya ataupun berikhtilath (campur-baur). Aktifitas yang terkategori berkhalwat adalah berkumpulnya seorang laki-laki dan seorang perempuan baik di tempat yang khusus/ umum tanpa disertai mahram ataupun tanpa adanya keperluan yang syar’i. Sedangkan beikhtilath adalah berkumpulnya laki-laki dan perempuan baik di tempat yang khusus/ umum baik disertai mahram/ tidak, namun tanpa adanya keperluan yang syar’i. Rasulullah Saw bersabda

Tidak diperbolehkan seorang pria dan wanita berkhalwat, kecuali jika wanita itu disertai mahramnya

Ibnu Abbas menuturkan bahwa Rasulullah Saw bersabda:

Janganlah sekali-kali seorang pria berkhalwat dengan seorang wanita kecuali jika wanita itu disertai dengan seorang mahramnya. Tidak boleh pula seorang wanita melakukan perjalanan kecuali disertai mahramnya.

Dalam hal ini perlu difahami lebih dalam mengenai pengertian tempat (kehidupan) khusus dan tempat (kehidupan) umum.

Keempat, hubungan kerjasama antara laki-laki dan perempuan hendaknya bersifat umum/muamalat seperti dalam urusan transaksi jual-beli, pendidikan dan kesehatan, bukan untuk aktifitas yang khusus seperti saling mengunjungi atau jalan-jalan bersama antara pria dan wanita yang bukan mahram. Adapun dalam rangka khithbah maka boleh saling mengunjungi tempat tinggal masing-masing, dan boleh berkomunikasi langsung, namun tetap ditemani mahramnya.

Hal-Hal Apa Saja Yang Boleh Diketahui

Kepentingan untuk mengenal seseorang yang dikehendaki agar menjadi pasangan hidup tentu berbeda dengan kepentingan untuk mengenal seseorang sebagai teman biasa atau untuk keperluan biasa, seperti mengenal teman sekelas, teman satu kost-an/ lingkungan tempat tinggal, ataupun mengenal seseorang terkait dengan kepentingan muamalah sehari-hari (transaksi jual-beli, kesehatan, pendidikan). Dalam mengenal seseorang untuk kepentingan yang biasa/umum maka seorang muslim diperbolehkan untuk mengetahui seseorang yang lain sebatas pada keperluan interaksi tersebut, misalnya sekedar mengetahui nama, nomor telpon, alamat rumah, dan lainnya asalkan sebatas pada keperluan umum (yang syar’i) tersebut saja, apapun jenisnya. Atau boleh juga mengetahui hal-hal yang lebih rinci asalkan kedua belah pihak telah saling meridhai dan bukan dimaksudkan untuk perbuatan maksiat, misalnya meminta data identitas seseorang tetapi untuk melakukan penipuan, pencurian, fitnah, dll. Maka hal ini tidak diperbolehkan.

Adapun dalam rangka khithbah, maka ta’aruf yang dilakukan adalah untuk mengenal sisi kehidupan yang lebih luas antara satu sama lainnya. Hal-hal yang boleh diketahui pun bukan hanya nama ataupun wajahnya saja, tetapi juga sisi kepribadiannya (cara berfikir dan berperilaku), keluarganya, lingkungannya, aktifitasnya, bahkan untuk hal-hal yang mubah sekalipun, seperti: warna kesenangan, makanan kesenangan, hobi, dsb. Baik secara langsung maupun melalui mahram atau orang lain yang dipercayakan. Semuanya itu dilakukan dalam rangka untuk saling menguatkan perasaan menyukai, mencintai dan menyayangi sehingga semakin kuat pula keinginan diantara mereka untuk segera beranjak kepada aqad pernikahan.

Yang perlu difahami juga adalah perlu adanya kesadaran tentang keikhklasan dan keridhaan hati untuk menerima karunia yang allah tunjukan, sehingga senantiasa bersyukur atas apa – apa yang allah berikan baginya. Permasalahan menetapkan kriteria yang unggul (high level) bagi calon pasangan hidup yang diharapkannya merupakan hal yang mubah, namun memahami realitas terhadap fitrah manusia yang jauh dari kesempurnaan dalam banyak hal, juga merupakan keharusan. Apabila semata-mata kriteria fisik, materi, pendidikan, dan lainnya ternyata dijadikan kriteria utama, maka tentu hal ini tentu tidak tepat. Karena bagi seorang muslim baik laki-laki maupun perempuan senantiasa harus menjadikan kriteria keimanan dan ketakwaan kepada allah swt sebagai kriteria utama. Oleh karenanya di sinilah kematangan ilmu dan sikap seorang muslim ditantang untuk berperan, yaitu bagaimana ia dapat mengambil sikap terbaik untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di hadapannya agar dikaitkan pula dengan pemahaman yang ia miliki. Dalam hal ini Rasulullah telah menuntun kita bahwa Beliau Saw bersabda:

”Barang siapa yang menikahi wanita karena semata kemuliaannya, niscaya allah tidak akan menambahkan sesuatu kepadanya selain kehinaan. Barang siapa yang menikahi wanita hanya karena hartanya semata, niscaya allah tidak akan menambahkan sesuatu kepadanya selain kefakiran. Barang siapa yang menikahi wanita karena keturunannya semata, niscaya allah tidak akan menambahkan sesuatu kepadanya selain kerendahan. Barang siapa yang menikahi wanita karena hendak menundukan pandangannya atau untuk menjaga kehormatannya (kemaluannya) atau karena hendak menyambung tali persaudaraan, niscaya allah akan memberkatinya di hadapan istrinya dan memberkati istrinya di hadapan suaminya” (HR. Abu Daud dan An-Nasa’i)

Demikian pula kepada kaum wanita, Rasulullah pun telah memberikan pesan yang sama, agar jangan terpukau oleh hal-hal yang bersifat fisik dan materi dalam menetapkan pilihan pasangan hidup. Namun kriteria agama lah yang harus menjadi pertimbangan. Beliau saw mengingatkan:

Ika datang kepada kalian seorang laki-laki yang kalian ridhai agamanya dan akhlaknya, maka nikahkanlah, jika kalian tidak melakukannya maka akan datang kerusakan di muka bumi dan fitnah yang luas (HR. Tirmidzi dan Ahmad)

Dengan demikian, apabila dalam berta’aruf ternyata menemukan kekurangan-kekurangan dari calon pasangannya maka itu merupakan hal yang wajar, karena tentu kita pun memiliki kekurangan-kekurangan pula bagi dirinya, (selain tentunya bagi satu sama lain, kita pun dapat saling memberikan kelebihan yang kita miliki). Pandanglah kekurangan-kekurangan itu sebagai celah dan peluang ibadah yang dapat kita optimalkan melalui upaya dapat saling melengkapi dan memperbaiki nantinya. Namun apabila hal yang menjadi kekurangan tersebut bersifat prinsip/ mendasar seperti gemar bermaksiat, murtad, berkhlak buruk, berpenyakit berbahaya, dan lainnya yang dianggap sulit diperbaiki serta akan menghambat terwujudnya kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan warrahmah maka keputusan untuk membatalkan khithbah tentu merupakan hak (sekaligus bisa menjadi kewajiban) bagi masing-masing.

Akhlak Dalam Berta’aruf

Selain secara keseluruhan harus memperhatikan ketentuan umum syari’at sebagaimana disebutkan di atas, maka dalam melakukan ta’aruf dalam rangka khithbah juga harus menampakan kemuliaan akhlak satu sama lain. Misalnya:

1. Tidak mengungkapkan perkataan/ungkapan yang kurang baik, yang mengarah pada syahwat, tidak sopan, tidak santun, menghina, merendahkan dsb;

2. Saling mendo’akan; saling mengingatkan untuk bertakwa dan berbuat kebaikan; saling menyapa dengan panggilan yang disukai; jujur dan terbuka dalam menjelaskan keingintahuan salah satu calon pasangan (baik yang menjelaskan itu calonnya langsung, maupun mahramnya) bahkan saling memberi hadiah.

3. Merahasiakan kepada orang lain (yang tidak berkepentingan) terhadap berbagai informasi yang didapat tentang calon yang dikhithbahnya. Hal ini semata-mata untuk menjaga kehormatan dan kemuliaan satu sama lain.

4. Tidak menyebarluaskan kepada orang lain perihal proses khithbah dan ta’aruf yang sedang dijalaninya, kecuali untuk kepentingan yang syar’i. Karena, dalam proses khithbah dan ta’aruf masih memungkinkan adanya pembatalan. Sehingga bagi kedua belah pihak akan terasa menambah beban psikologis ketika informasi khithbah ini telah sampai kemana-mana, sedangkan khithbahnya sendiri ternyata dibatalkan.

5. Saling mengingatkan dan memperbaiki diri jika dalam berta’aruf dikhawatirkan melakukan perbuatan yang keliru atau kurang baik.

6. Menjalin komunikasi dan silaturrahim yang baik terhadap satu sama lain (termasuk terhadap keluarganya),

7. Mampu menempatkan permsalahan yang dihadapi ketika berta’aruf secara wajar. Artinya perlu adanya kedewasaan berfikir dan bersikap yang didasarkan pada hukum syara’, sehingga ketika ada masalah yang kecil jangan dibesar-besarkan apalagi atas dasar emosional, sebaliknya masalah yang besar jangan dianggap sepele, karena tertutupi oleh hawa nafsu (cinta buta).

8. Memperhatikan berbagai hal lainnya yang menurut syara’ merupakan kebaikan-kebaikan yang dianjurkan ataupun keburukan-keburukan yang harus ditinggalkan sepanjang dalam rangka untuk menguatkan pilihan terhadap satu sama lainnya.

Media/ Sarana Dalam Berta’aruf

Menggunakan suatu media/ sarana yang menjadi wasilah (perantara) dalam melakukan ta’aruf hukumnya terkait dengan hukum perbuatan, yaitu adanya kaidah Syara’ yang menyatakan :

Al ashlu fil af’al attaqayidu bi hukmi syar’i

Hukum asal dari suatu perbuatan terikat oleh hukum syara’ (apakah termasuk Wajib, Mandub, Mubah, Makruh, Haram ?)

Sedangkan media/ sarana yang digunakan dalam berta’aruf itu terkait dengan hukum suatu benda, sebagaimana kaidah syara’ menyatakan:

Al ashlu fil asya’ al ibaha laa ……….

Hukum asal dari suatu benda adalah mubah, sepanjang tidak ada dalil yang mengharamkannya (apakah Halal, Mubah Makruh, dan Haram?)

Oleh karena itu, aktifitas ta’aruf sebagai bagian dari proses khithbah yang jika sebelumnya dilakukan dengan bertemu langsung (yang disertai mahramnya), bisa juga dilakukan dengan menggunakan media komunikasi yang memungkinkan. Media tersebut hukumnya mubah seperti melalui: surat, e-mail, chatting, sms, mms, suara via telpon, dsb. Yang merupakan output dari penggunaan media kertas, hp, faximile, komputer/internet, pesawat telpon, dll. Hanya saja ketika menggunakan media tersebut untuk berta’aruf jangan sampai melakukan hal-hal yang cenderung sebagai pelanggaran syari’at seperti mengirimkan ungkapan, gambar, kata-kata,, ucapan yang dapat menimbulkan syahwat, penghinaan, merendahkan, atau mengajak pada kemaksiatan. Yang terpenting adalah kalau ta’arufnya menggunakan jasa warnet atau wartel jangan sampai lupa bayar pulsanya juga…. J

Khatimah

Demikian sekilas pandangan tentang melakukan proses ta’aruf sebagai bagian dari aktifitas yang dilakukan manusia baik untuk keperluan umum maupun keperluan khusus. Untuk keperluan khusus (khitbah), aktifitas ta’aruf jangan disamakan dengan aktifitas pacaran ataupun aktifitas setengah pernikahan, karena antara keduanya telah nampak perbedaan yang jelas, yaitu ta’aruf sebagai aktifitas yang dianjurkan (sunnah/mandub) sedangkan pacaran/ sejenisnya merupakan aktifitas yang diharamkan oleh allah swt karena menjadi pintu gerbang menuju perzinahan. Sebagaimana firmannya dalam al-qur’an:
Dan janganlah kalian mendekati zina, sesungguhnya zina itu suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk (TQS. Al-Israa:32)

Sementara itu Jabir menuturkan riwayat sebagai berikut:

Rasulullah saw bersabda ’jika salah seorang diantara kalian ingin melamar seorang wanita, sementara ia mampu untuk melihat apa yang mendorongnya untuk menikahinya, hendaklah ia melakukannya’. Jabir kemudian berkata, ’aku lantas melamar seorang wanita yang sebelumnya secara sembunyi-sembunyi aku lihat hingga aku memandang apa yang mendorong aku menikahinya’

’Siapa saja yang beriman kepada Allah Swt dan hari akhir, janganlah sekali-kali ia berkhalwat dengan seorang wanita yang tidak disertai mahramnya, karena yang ketiga diantara keduanya adalah syetan’.

Allah Swt telah menegaskan:

Apa yang diberikan rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada allah (TQS. Al-Hasyr :7)

Dan janganlah kamu mencampuradukan antara yang haq dan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu padahal kamu mengetahui nya. (TQS. Al-Baqarah [2]:42)

Wallahu a’lam bi shawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar