Kamis, 15 April 2010

Mutiara dibalik "Shalawat"

Dalam Islam, Nabi Muhammad Saw. diakui sebagai manusia paripurna, yang seluruh gerak hidupnya dijaga Allah dari segala kecelaan (ma’shum) dan menjadi suri tauladan bagi umatnya. Karenanya, kaum muslimin dianjurkan untuk mendoakan beliau dalam bentuk "shalawat' sebagai pengakuan akan kemuliaannya dan permohonan curahan rahmat dan petunjuk dari Allah.

“Siapa yang bershalawat kepadaku sekali, niscaya Allah bershalawat (mencurahkan rahmat) atas shalawat itu kepadanya sepuluh kali.”(HR. Muslim melalui Abdullah ibn Umar).

Guna memenuhi perintah bershalawat dan mengirimkan salam kepada Nabi Muhammad Saw, maka dalam rangkaian ritual Tahlil sekian redaksi shalawat ditampilkan untuk dibaca. Ada yang singkat padat dan ada yang rinci menyeluruh.

Yang akan dijelaskan adalah yang rinci dan diharapkan dapat mencakup sebanyak mungkin curahan shalawat, walau hanya sekali terucapkan. Shalawat yang dimaksud adalah:

اللهم صل أفضل الصلاة على أسعد مخلوقاتك نور الهدى سيدنا ومولانا محمد وعلى آل سيدنا محمد عدد معلوماتك ومداد كلماتك كلما ذكرك الذاكرون وغفل عن ذكرك الغافلون

Ya Allah, curahkanlah rahmat yang paling utama untuk mahluk-Mu yang paling berbahagia, yang merupakan cahaya petunjuk , yakni Junjungan kami Muhammad dan juga kepada keluarga junjungan kami, Muhammad, sebanyak bilangan pengetahuan-Mu, serta seluas tinta-tinta yang mampu menulis kalimat-kalimat-Mu. Shalawat kita tercurah setiap diingat oleh yang para pengingat dan setiap lalai dari orang-orang yang lalai mengingat-Mu.”

Shalawat memiliki banyak keistimewaan, antara lain:
Pertama, yang dimohonkan adalah shalawat paling utama. Seperti yang disebut sebelum ini, ada redaksi shalawat paling sederhana, namun belum mencapai batas baik. Ia sekadar permohonan shalawat, tanpa pujian kepada Nabi Muhammad Saw. dan tanpa memohonkan untuk keluarga beliau. Ada juga yang baik, walau belum mencapai yang terbaik. Dan, tentu ada yang mencapai puncak, yang tiada lagi ada yang melebihinya. Yang dimohonkan oleh shalawat Tahlilan ini adalah shalawat yang paling utama, yang tiada lagi ada yang melebihinya itu.

Kedua, dalam shalawat di atas disebutkan dua pujian utama bagi Nabi Muhammad Saw. Pujian pertama merupakan pengakuan bahwa beliau adalah mahluk Allah yang paling berbahagia. Kita lihat bukan sekedar manusia yang paling berbahagia, tetapi juga mahluk-Nya, termasuk para malaikat yang demikian dekat kepada Allah, yang berlaku sepanjang masa sejak Allah menciptakan mahluk hingga akhir masa. Pujian kedua, beliau adalah cahaya petunjuk, yakni beliau bukan sekedar pemberi petunjuk, tetapi juga petunjuk, bahkan cahaya petunjuk itu sendiri. Ini berarti pengakuan bahwa beliau membawa dampak amat positif bagi seluruh mahluk.

Memang, seperti firman Allah “Kami tidak mengutus engkau kecuali membawa rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiyâ’ [21]: 107).

Malaikat Jibril pernah ditanya oleh Nabi Muhammad Saw: “Apakah engkau juga memperoleh rahmat yang kubawa itu?” Malaikat mulia itu menjawab: “Ya, aku memperolehnya antara lain melalui firman-Nya yang kusampaikan kepadamu bahwa “Al-Quran dibawa turun oleh ar-Rûh al-Amîn.” (QS. Asy-Syu’arâ’ [26]: 193). Dengan ayat ini aku meraih pujian-Nya dan anugerah keamanan-Nya.”

Ketiga, bilangan shalawat yang dimohonkan tidak hanya sekali atau dua kali, tapi sebanyak bilangan yang diketahui Allah.

Redaksi shalawat ini menekankan lebih jauh lagi, di mana shalawat yang dimohonkan itu bukan hanya sebanyak yang diketahui Allah, tetapi juga sebanyak tinta yang dapat digunakan melalui kalimat-kalimat-Nya. Tahukah anda berapa banyak tinta itu? Pasti tidak dan hanya Allah yang mengetahuinya. Dia hanya memberikan kepada manusia ilustrasi, sekedar untuk mendekatkan pemahamannya, dengan firman-Nya: “Seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut menjadi tinta ditambah dengan tujuh laut lagi, sesudah (keringnya) itu, niscaya tidak habis dituliskan kalimat-kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Luqmân [31]: 27).

Bukan hanya sampai di sana permohonan shalawat ini. Shalawat dimohonkan tercurah setiap saat, bukan hanya saat mahluk mengingat Allah, tetapi juga pada saat ada makhluk yang lalai mengingat-Nya. Ini berarti tidak ada saat tanpa shalawat sebanyak yang dimohonkan di atas, karena hanya ada dua kemungkinan bagi makhluk dalam hal ingatan kepada-Nya, mengingat atau tidak mengingat. Kalau keduanya telah disebut, maka tidak ada sesaatpun yang lowong dari shalawat.

Tiga kali redaksi shalawat ini diucapkan, dengan sedikit perbedaan; yang pertama menyifati Nabi Saw. dengan Nûr al-Hûda (cahaya petunjuk), yang kedua dengan Syams adh-Dhuhâ (cahaya matahari) pada saat ia naik sepenggalahan, dan yang ketiga adalah Badr ad-Dujâ (cahaya bulan purnama) saat kelamnya malam.

Cahaya petunjuk telah dijelaskan maknanya sebelum ini. Tahukah anda apa makna “cahaya matahari pada saat naik sepenggalahan?” Ketika naik sepenggalahan, cahaya matahari memancar menerangi seluruh penjuru. Pada saat yang sama, ia tidak terlalu terik, sehingga tidak mengakibatkan gangguan sedikitpun, bahkan panasnya memberikan kesegaran, kenyamanan, dan kesehatan. Di sisi lain, kita hendaknya ingat bahwa matahari tidak membedakan antara satu lokasi dengan lokasi yang lain. Kalaupun ada sesuatu yang tidak tersentuh cahayanya, maka hal itu bukan disebabkan oleh matahari, melainkan karena posisi lokasi itu sendiri yang terhalangi sesuatu.

Itulah gambaran tentang adh-dhuhâ (matahari ketika naik sepenggalahan), di mana seperti itulah ilustrasi kehadiran Rasul Saw. yang sinarnya demikian jelas, menyenangkan, dan menyegarkan itu.

Pada sisi lain, shalawat ini juga menyebut Nabi Muhammad Saw. sebagai Badr ad-Dujâ (purnama saat kelamnya malam), yang antara lain mengisyaratkan keindahan penampilan dan akhlak beliau, serta kebutuhan manusia akan kehadirannya. Bukankah pada malam-malam kelam kita sangat membutuhkan sinar? Secercah sinarpun jadilah. Sungguh bersyukur jika purnama menampilkan dirinya, karena ketika itu keindahan hadir bersama bimbingan. Kita membutuhkan kehadiran Nabi Muhammad Saw. pada saat kelamnya hidup. Tanpa kehadiran beliau, bukan hanya keindahan yang lenyap tetapi arahpun tidak diketahui. Demikian sekelumit ilustrasi tentang Badr ad-Dujâ.

Allahumma shalai ala Muhammad wa ala ali Muhammad

Sumber :
Disunting dari buku "Perjalanan Menuju Keabadian" karya M. Quraish Shihab, yang diterbitkan oleh Penerbit Lentera Hati, Oktober 2001.

--------------------------
--------------------------------------------------
Mahabenar Allah, yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana - Semoga bermanfaat

Billahit taufiq wal hidayah
Wassalamualaikum wr.wb
Imam Puji Hartono (Gus Im)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar