Sepekan terakhir ini, jutaan lembar baju seragam dicorat-coret dan terbuang percuma. Sementara di
seluruh pelosok negeri, jutaan anak tak punya baju seragam untuk sekolah. Sampaikan kepada saudara/i kita agar tidak mencorat-coret baju seragamnya. Syukuri kelulusan dengan mengumpulkan baju seragam yang tak
terpakai lagi. Salurkan ke Aksi Cepat Tanggap (ACT), Jl Ir H Juanda No 50 Perkantoran Ciputat Indah Permai Blok B-8, Ciputat (021-7414482). Tolong sebarkan ke semua friends list di YM dan Facebook (Grup, Status, dan Catatan)
>>> Seberapa Tinggi Harga Seragam Sekolah?
Ditulis oleh Bayu Gawtama, Direktur Program ACT Foundation.
“Kenapa nggak sekolah nak?” tanya Pak Baihaki kepada salah seorang muridnya yang sudah beberapa hari tidak masuk sekolah. Si murid pilu menjawab, “Saya tidak punya seragam lagi, yang biasa dipakai sudah sobek”. Pak Bai, begitu panggilan akrab Kepala Sekolah SMP Modis (model islami) ini tertunduk haru, ini bukan satu-satunya murid yang mundur dari sekolahnya lantaran tidak punya seragam sekolah. Ia selalu mengupayakan untuk mendapatkan baju-baju seragam bekas dari mana saja bisa didapat, agar semata anak-anak didiknya bisa terus bersekolah.
“Mereka hanya malu, karena selalu pakai yang itu-itu saja setiap hari. Tetapi memang ada juga yang benar-benar tidak lagi memiliki seragam sekolah,” terang Pak Bai sambil menghela napasnya. Sudah puluhan muridnya yang meninggalkan bangku sekolah, tentu saja dengan berbagai alasan meskipun sekolah Modis yang dikelolanya itu seratus persen gratis. “tidak satu rupiah pun murid disini dimintai bayaran, mereka tinggal datang dan belajar,” ujarnya.
Sekolah Modis terletak di Kampung Pasar Rebo, Desa Babakan, Kecamatan Tenjo, Kabupaten Bogor, jika menggunakan kendaraan pribadi dari Jakarta hanya kurang dari dua jam sudah bisa sampai ke lokasi ini. Sekolah tersebut hanya memilki dua ruang kelas yang belum diplester luar dalam, lantai masih sekadar disemen kasar, dengan fasilitas seadanya. Selain meja belajar yang semuanya bekas, sebagian sudah mulai patah dan rusak, papan tulis sederhana, tanpa lemari ataupun pajangan. Sekolah berjendela tanpa kaca, dibiarkan melompong begitu saja, tak ada juga daun pintu sehingga jalur keluar masuk tanpa harus membuka dan menutup pintu. Tiang penyangga bangunan di teras sekolah masih menggunakan kayu-kayu balok biasa, yang Pak Baihaki pun tidak tahu sampai berapa lama akan bertahan.
Sebenarnya masih ada satu kelas lagi yang kondisinya “lebih baik”, yakni hasil sulapan dari teras mushola menjadi ruang kelas. “tadinya ruang ini dipakai untuk pengajian ibu-ibu, tetapi mereka ikhlas kalau ini dijadikan kelas, mengingat keterbatasan ruang belajar kami,” terang Pak Bai. Alhasil, dengan tiga kelas inilah sekitar 116 siswa belajar dengan cara digilir jam masuknya. “Alhamdulillah, dengan segala keterbatasannya, kegiatan belajar mengajar masih bisa terlaksana”.
Belum tersedia toilet, meskipun sudah ada bangunan kecil 1x2 meter yang direncanakan sebagai toilet, namun kondisinya masih belum layak pakai, sehingga jika para murid hendak ke toilet harus menumpang di rumah orang tua Pak Baihaki yang terletak di sebelah sekolah. Yang menarik, rumah gubuk yang sudah tua itu disulap Pak Baihaki menjadi kantor sekolah. Rumah itu, ya tempat tinggal juga, kantor juga. Hanya ruang tamu yang dipakai sebagai kantor, selebihnya adalah area rumah tangga si pemilik rumah. Itupun mereka harus berbagi toilet dengan ratusan murid SMP Modis.
Di “kantor” sekolah itu, teronggok beberapa komputer tua. Ada lima komputer di atas meja, namun hanya tiga yang bisa digunakan. Sekitar 4-5 komputer lagi dibiarkan menjadi rongsokan di bawah meja dan di pojok ruangan. “dengan komputer seadanya ini, kami sekadar mengenalkan murid-murid bagaimana menggunakan komputer. Mereka bersemangat sekali kalau belajar komputer, tapi dengan hanya tiga unit yang bisa digunakan, mereka harus rela bergiliran,” kata Pak Bai.
Biaya pendidikan digratiskan bagi seluruh peserta didik, bahkan pihak sekolah masih mengupayakan pengadaan buku pelajaran dan alat tulis bagi para siswa. Operasional sekolah, termasuk gaji guru diambil dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah. Jika para peserta didik tidak membayar uang sekolah sepeser pun, berapa gaji guru di sekolah tersebut? “Sekitar tiga juta…” jawab Pak Baihaki, “… untuk delapan belas guru…” tambahnya. Bayangkan, tiga juta rupiah dibagi untuk delapan belas guru.
Apa yang membuat Pak Baihaki, Pak Muhtadin –adik kandung Pak Baihaki- dan belasan guru lainnya tetap bersemangat mengajar di SMP satu-satunya di Desa Babakan ini? “Kami punya cita-cita tinggi, desa kami harus dibangun oleh tangan-tangan terampil putra daerah. Kebanyakan anak-anak disini putus sekolah setelah lulus sekolah dasar, kami ingin mengubah itu. Selain itu, kami melihat semangat belajar yang tinggi dari anak-anak, kami bayangkan suatu saat juara olimpiade fisika atau matematika berasal dari sekolah ini…” mata Pak Baihaki berbinar-binar.
Sempat Pak Baihaki menitip pesan, “Kalau masih ada seragam bekas di Jakarta, bawalah kesini. Akan sangat berharga bagi anak-anak didik kami…”
Sementara di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, saat ini kita menyaksikan pemandangan aksi coret menyoret seragam tanda kelulusan. Harga satu pasang seragam sekolah bagi mereka mungkin sangat kecil, tetapi bagi anak-anak di Desa Babakan, Kecamatan Tenjo, juga di berbagai daerah tertinggal lainnya, amatlah mahal. Puluhan juta anak di Indonesia tidak sanggup melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi, mungkin sebagian dari mereka tidak sekolah hanya karena tidak memiliki seragam yang layak. Sementara di kota besar, anak-anak berkelebihan sengaja menyobek, menyoret dan bahkan membuang seragam mereka dengan berbagai alasan.
Cobalah turun ke daerah-daerah, anak-anak di kampung-kampung bermain, sekolah, menggembala ternak, sampai tidur pun menggunakan pakaian yang sama. Pakaian seragam sekolah yang tidak lagi berwarna putih, dengan kantong sobek, kerah berdaki dan kancing yang tak lengkap. Celananya pun warna merah atau birunya pudar, sebagian besar dihiasi oleh jahitan berulang kali di selangkangan serta resleting yang rusak. Ah, benar-benar mahal harga sepasang seragam sekolah… (Gaw)
***
Tulisan ini terinspirasi dari kunjungan tim ACT – Aksi Cepat Tanggap, ke sekolah Modis, di Tenjo, Kabupaten Bogor. Sebagai bagian dari program CERDAS INDONESIA, ACT
http://www.actforhumanity.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar