…………………………………………………………..
Beberapa abad lalu, di masa-masa akhir tabi’in.
Di sebuah jalan, di salah satu pinggiran kota Kufah, berjalanlah seorang  pemuda.
Tiba-tiba dia melihat sebutir apel jatuh dari tangkainya, keluar dari  sebidang kebun yang luas. Pemuda itu pun menjulurkan tangannya memungut  apel yang nampak segar itu.
Dengan tenang, dia memakannya.
Pemuda itu adalah Tsabit. Baru separuh yang digigitnya, kemudian  ditelannya, tersentaklah dia. Apel itu bukan miliknya! Bagaimana mungkin  dia memakan sesuatu yang bukan miliknya?
Akhirnya pemuda itu menahan separuh sisa apel itu dan pergi mencari  penjaga kebun tersebut.
Setelah bertemu, dia berkata: “Wahai hamba Allah, saya sudah  menghabiskan separuh apel ini. Apakah engkau mau memaafkan saya?”
Penjaga itu menjawab: “Bagaimana saya bisa memaafkanmu, sementara  saya bukan pemiliknya. Yang berhak memaafkanmu adalah pemilik kebun apel  ini.”
“Di mana pemiliknya?” tanya Tsabit.
“Rumahnya jauh sekitar lima mil dari sini,” kata si penjaga.
Maka berangkatlah pemuda itu menemui pemilik kebun untuk meminta  kerelaannya karena dia telah memakan apel milik tuan kebun tersebut.
Akhirnya pemuda itu tiba di depan pintu pemilik kebun. Setelah  mengucapkan salam dan dijawab,
Tsabit berkata dalam keadaan gelisah dan ketakutan: “Wahai hamba  Allah, tahukah anda mengapa saya datang ke sini?”
“Tidak,” kata pemilik kebun.
“Saya datang untuk minta kerelaan anda terhadap separuh apel milik  anda yang saya temukan dan saya makan. Inilah yang setengah lagi.”
“Saya tidak akan memaafkanmu, demi Allah. Kecuali kalau engkau  menerima syaratku,” katanya.
Tsabit bertanya: “Apa syaratnya, wahai hamba Allah?”
Kata pemilik kebun itu: “Kamu harus menikahi putriku.”
Si pemuda tercengang seraya berkata: “Apa betul ini termasuk syarat?  Anda memaafkan saya dan saya menikahi putri anda? Ini anugerah yang  besar.”
Pemilik kebun itu melanjutkan: “Kalau kau terima, maka kamu saya  maafkan.”
Akhirnya pemuda itu berkata: “Baiklah, saya terima.”
Si pemilik kebun berkata pula: “Supaya saya tidak dianggap menipumu,  saya katakan bahwa putriku itu buta, tuli, bisu dan lumpuh tidak mampu  berdiri.”
Pemuda itu sekali lagi terperanjat. Namun, apa boleh buat, separuh  apel yang ditelannya, kemana akan dia cari gantinya kalau pemiliknya  meminta ganti rugi atau menuntut di hadapan Hakim Yang Maha Adil?
“Kalau kau mau, datanglah sesudah ‘Isya agar bisa kau temui  isterimu,” kata pemilik kebun tersebut.
Pemuda itu seolah-olah didorong ke tengah kancah pertempuran yang  sengit. Dengan berat dia melangkah memasuki kamar isterinya dan memberi  salam.
Sekali lagi pemuda itu kaget luar biasa. Tiba-tiba dia mendengar suara  merdu yang menjawab salamnya. Seorang wanita berdiri menjabat tangannya.  Pemuda itu masih heran kebingungan, kata mertuanya, putrinya adalah  gadis buta, tuli, bisu dan lumpuh. Tetapi gadis ini? Siapa gerangan dia?
Akhirnya dia bertanya siapa gadis itu dan mengapa ayahnya mengatakan  begitu rupa tentang putrinya.
Isterinya itu balik bertanya:____ “Apa yang dikatakan ayahku?”
Kata pemuda itu: “Ayahmu mengatakan kamu buta.”
“Demi Allah, dia tidak dusta. Sungguh, saya tidak pernah melihat kepada  sesuatu yang dimurkai Allah .”
“Ayahmu mengatakan kamu bisu,” kata pemuda itu.
“Ayahku benar, demi Allah. Saya tidak pernah mengucapkan satu kalimat  yang membuat
Allah Subhanahu wa Ta’ala murka.”
“Dia katakan kamu tuli.”
“Ayah betul. Demi Allah, saya tidak pernah mendengar kecuali semua yang  di dalamnya terdapat ridha Allah .”
“Dia katakan kamu lumpuh.”
“Ya. Karena saya tidak pernah melangkahkan kaki saya ini kecuali ke  tempat yang diridhai Allah .”
Pemuda itu memandangi wajah isterinya, yang bagaikan purnama. Tak  lama dari pernikahan tersebut, lahirlah seorang hamba Allah  yang  shalih, yang memenuhi dunia dengan ilmu dan ketakwaannya. Bayi tersebut  diberi nama Nu’man; Nu’man bin Tsabit Abu Hanifah .
Duhai, sekiranya pemuda muslimin saat ini meniru pemuda Tsabit, ayahanda  Al-Imam Abu Hanifah. Duhai, sekiranya para pemudinya seperti sang ibu,  dalam ‘kebutaannya, kebisuan, ketulian, dan kelumpuhannya’.
Demikianlah cara pandang orang-orang shalih terhadap dunia ini. Adakah  yang mengambil pelajaran?
Sumber: Asyariah [dot] Com

Tidak ada komentar:
Posting Komentar