oleh Endang TS Amir
Seorang laki-laki datang menghadap Rasulullah SAW, kemudian bertanya, ”Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku suatu amalan yang jika saya amalkan saya akan masuk surga.”
Seorang laki-laki datang lagi dan bertanya, ”Wahai Rasulullah, perintahkanlah suatu amalan untuk saya dan sedikitkanlah.”
Laki-laki ketiga datang dan bertanya, ”Apa yang bisa menyelamatkan saya dari murka Allah?”
Semua pertanyaan ini dijawab oleh Rasulullah, ”JANGAN MARAH!”
***
Marah adalah luapan emosi atau memuncaknya rasa kesal pada diri seseorang ketika ada sesuatu yang tidak sejalan dengan keinginannya atau harapan-harapannya. Tak seorangpun di dunia ini yang lahir tanpa sifat marah. Hanya saja, di kemudian hari potensi marah ini berkembang, bisa ke arah positif atau negative. Nah, potensi marah ini dipengaruhi oleh beberapa factor, seperti lingkungan, pola didik dan pola asuh, pengalaman hidup, budaya, jenis kelamin dll.
Rasulullah SAW, sebagai pribadi yang paripurna, pernah marah. Tetapi, beliau HANYA marah ketika hak-hak Allah dilanggar. Inilah sebenarnya tujuan dari dianugrahkannya sifat marah kepada hamba-hamba Allah, yaitu, agar tegak kalimah Allah di muka bumi. Artinya kita sah-sah saja marah, selama alasannya benar. Anak tidak shalat misalnya, anak berbohong atau mengambil hak orang lain dsb.
Tetapi kita terkadang marah untuk hal-hal yang tidak prinsip. Anak tidak mau mandilah, anak tidak gosok gigilah, anak tidak mau tidurlah, atau anak memecahkan barang, dll. Yang jika dikaji ulang, sebenarnya kemarahan kita berpangkal pada keegoisan kita sebagai orang tua. Kita memaksakan kehendak kita kepada mereka. Kita menuntut mereka melakukan apa yang kita mau.
Saya teringat seorang anak yang kira-kira baru berusia 2 tahun–yang saya temui ketika saya menemani anak saya mengikuti sebuah lomba di Mall–ketika ia meronta-ronta dalam dekapan ibunya. Kebetulan kami duduk bersebelahan. Awalnya ibu itu membentak-bentak anaknya supaya diam. Ketika bentakannya tidak jua dihiraukan si anak, mulailah sang ibu mengguncang-guncang bahu anaknya. Si anak membalas “menjambak rambut” ibunya. Sang ibu bertambah marah, kemudian mendekap anaknya sedemikian rupa, agar tidak bergerak. Sungguh tayangan yang menyedihkan.
Sesungguhnya, kemarahan tidak akan mengubah perilaku siapapun. Bisa jadi anak diam sesaat setelah dimarahi. Bisa jadi seseorang menjadi rajin setelah dimarahi tapi ini berlaku sesaat. Bisa jadi anak menjadi baik setelah dimarahi, tapi tidak menjadi sifat dasar.
Sesungguhnya, kemarahan kita tidak dapat mengubah perilaku siapapun. Untuk berubah, seseorang butuh tauladan, butuh kasih sayang, butuh kesabaran. Jika kita sering marah kepada anak kita, maka kita menularkan sifat marah kepada anak kita. Contohnya kasus diatas. Kemarahan sang Ibu tidak membuat anaknya menjadi lebih tenang, tetapi justru membuat anaknya juga marah kepada sang Ibu.
Untuk berkembang secara baik, entah itu mentalnya, perilakunya atau kecerdasannya, seorang anak memerlukan aura yang positif dari sekelilingnya. Dan itu tidak bisa terjadi jika Ibunya atau orang yang dekat dengannya adalah pribadi yang hobi marah.
Untuk tidak marah, sungguh pekerjaan yang sulit. Tetapi, ketika kita dapat mengendalikan kemarahan kita, sungguh sesuatu yang menyenangkan dan melegakan.
Saya pernah berada dalam kondisi yang demikian marah kepada anak-anak saya. Dalam hati, saya benar-benar ingin mencubit mereka. Tapi saya berusaha sekuat hati menahannya. Saya tarik nafas dalam-dalam, kemudian saya beristighfar dan memohon agar Allah memberi saya kesabaran dalam menghadapi anak-anak saya. Cukup lama, saya dalam pergulatan untuk menahan kemarahan saya. Akhirnya kemarahan saya perlahan-lahan lenyap. Dan saya merasa lebih bahagia.
Selalu ada alasan untuk marah. Berarti juga, selalu ada alasan untuk TIDAK marah. Atau paling tidak, bagaimana marah secara positif.
Inilah pentingnya menarik nafas sejenak, ketika kemarahan memuncak. Agar kita dapat berfikir ulang, perlukah kemarahan ini? Tepatkah? Harapannya, agar kita tidak marah kepada hal-hal yang tidak prinsip. Jujur, kita sering lebih marah ketika anak-anak main berlebihan ketimbang ketika mereka tidak shalat misalnya.
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surge yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan hartanya, baik diwaktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Q.S. Ali Imran : 133-134).
Wallahu’alam
dikutip dari www.eramuslim.com
Seorang laki-laki datang menghadap Rasulullah SAW, kemudian bertanya, ”Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku suatu amalan yang jika saya amalkan saya akan masuk surga.”
Seorang laki-laki datang lagi dan bertanya, ”Wahai Rasulullah, perintahkanlah suatu amalan untuk saya dan sedikitkanlah.”
Laki-laki ketiga datang dan bertanya, ”Apa yang bisa menyelamatkan saya dari murka Allah?”
Semua pertanyaan ini dijawab oleh Rasulullah, ”JANGAN MARAH!”
***
Marah adalah luapan emosi atau memuncaknya rasa kesal pada diri seseorang ketika ada sesuatu yang tidak sejalan dengan keinginannya atau harapan-harapannya. Tak seorangpun di dunia ini yang lahir tanpa sifat marah. Hanya saja, di kemudian hari potensi marah ini berkembang, bisa ke arah positif atau negative. Nah, potensi marah ini dipengaruhi oleh beberapa factor, seperti lingkungan, pola didik dan pola asuh, pengalaman hidup, budaya, jenis kelamin dll.
Rasulullah SAW, sebagai pribadi yang paripurna, pernah marah. Tetapi, beliau HANYA marah ketika hak-hak Allah dilanggar. Inilah sebenarnya tujuan dari dianugrahkannya sifat marah kepada hamba-hamba Allah, yaitu, agar tegak kalimah Allah di muka bumi. Artinya kita sah-sah saja marah, selama alasannya benar. Anak tidak shalat misalnya, anak berbohong atau mengambil hak orang lain dsb.
Tetapi kita terkadang marah untuk hal-hal yang tidak prinsip. Anak tidak mau mandilah, anak tidak gosok gigilah, anak tidak mau tidurlah, atau anak memecahkan barang, dll. Yang jika dikaji ulang, sebenarnya kemarahan kita berpangkal pada keegoisan kita sebagai orang tua. Kita memaksakan kehendak kita kepada mereka. Kita menuntut mereka melakukan apa yang kita mau.
Saya teringat seorang anak yang kira-kira baru berusia 2 tahun–yang saya temui ketika saya menemani anak saya mengikuti sebuah lomba di Mall–ketika ia meronta-ronta dalam dekapan ibunya. Kebetulan kami duduk bersebelahan. Awalnya ibu itu membentak-bentak anaknya supaya diam. Ketika bentakannya tidak jua dihiraukan si anak, mulailah sang ibu mengguncang-guncang bahu anaknya. Si anak membalas “menjambak rambut” ibunya. Sang ibu bertambah marah, kemudian mendekap anaknya sedemikian rupa, agar tidak bergerak. Sungguh tayangan yang menyedihkan.
Sesungguhnya, kemarahan tidak akan mengubah perilaku siapapun. Bisa jadi anak diam sesaat setelah dimarahi. Bisa jadi seseorang menjadi rajin setelah dimarahi tapi ini berlaku sesaat. Bisa jadi anak menjadi baik setelah dimarahi, tapi tidak menjadi sifat dasar.
Sesungguhnya, kemarahan kita tidak dapat mengubah perilaku siapapun. Untuk berubah, seseorang butuh tauladan, butuh kasih sayang, butuh kesabaran. Jika kita sering marah kepada anak kita, maka kita menularkan sifat marah kepada anak kita. Contohnya kasus diatas. Kemarahan sang Ibu tidak membuat anaknya menjadi lebih tenang, tetapi justru membuat anaknya juga marah kepada sang Ibu.
Untuk berkembang secara baik, entah itu mentalnya, perilakunya atau kecerdasannya, seorang anak memerlukan aura yang positif dari sekelilingnya. Dan itu tidak bisa terjadi jika Ibunya atau orang yang dekat dengannya adalah pribadi yang hobi marah.
Untuk tidak marah, sungguh pekerjaan yang sulit. Tetapi, ketika kita dapat mengendalikan kemarahan kita, sungguh sesuatu yang menyenangkan dan melegakan.
Saya pernah berada dalam kondisi yang demikian marah kepada anak-anak saya. Dalam hati, saya benar-benar ingin mencubit mereka. Tapi saya berusaha sekuat hati menahannya. Saya tarik nafas dalam-dalam, kemudian saya beristighfar dan memohon agar Allah memberi saya kesabaran dalam menghadapi anak-anak saya. Cukup lama, saya dalam pergulatan untuk menahan kemarahan saya. Akhirnya kemarahan saya perlahan-lahan lenyap. Dan saya merasa lebih bahagia.
Selalu ada alasan untuk marah. Berarti juga, selalu ada alasan untuk TIDAK marah. Atau paling tidak, bagaimana marah secara positif.
Inilah pentingnya menarik nafas sejenak, ketika kemarahan memuncak. Agar kita dapat berfikir ulang, perlukah kemarahan ini? Tepatkah? Harapannya, agar kita tidak marah kepada hal-hal yang tidak prinsip. Jujur, kita sering lebih marah ketika anak-anak main berlebihan ketimbang ketika mereka tidak shalat misalnya.
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surge yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan hartanya, baik diwaktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Q.S. Ali Imran : 133-134).
Wallahu’alam
dikutip dari www.eramuslim.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar