Sabtu, 08 Mei 2010

MEMAKNAI HAJI, MEMAKNAI PERJUANGAN WANITA

HAJI MERUPAKAN IBADAH YANG PERJUANGANNYA TERAMAT BERAT. DARI ITU, JANGAN MENGELUH BILA DITEMUI HAMBATAN SELAMA MELAKSANAKAN ATAU SESUDAH BERHAJI.

Alangkah cerianya wanita paruh baya itu. Senyum manisnya terus terkembang bak bunga Raflesia yang tengah mekar. Dia menyambut ceria setiap ucapan selamat yang berduyun-duyun menghampiri dirinya. Ya dia berhasil menunaikan ibadah haji berkat suksesnya bisnis yang dikelola bersama suaminya.

Berbeda dengan sang suami yang cenderung pendiam, wanita itu sangat royal mengumbar cerita. Dengan nuansa dramatik, dia mengisahkan sulitnya mencium Hajar Aswad, kegemilangannya bersimpuh tepat di depan makam Rasulullah, yang membuatnya bisa memanjatkan doa agar bisnisnya terus berjaya. Orang-orang pun kian berdecak kagum.

Ternyata, umur senyumannya sangat singkat. Beberapa bulan kemudian, sang hajjah justru diliputi kemurungan. Musibah berrtubi-tubi menggempur kerajaan bisnisnya; tiga toko kelontong miliknya ludes dilalap api dalam semalam, mobilnya yang belum lunas kredit digondol lari sopirnya, usahanya berdagang keliling di pasar-pasar tradisional kalah bersaing dengan bekas anak buahnya. Malangnya, seluruh kreditor datang menagih hutang. Akibatnya rumah satu-satunya terpaksa disita. Syukurlah ada yang memberinya pinjaman ruko tua berlantai dua. Di sanalah kemurungan semakin pekat. Tak ada lagi pakaian haji serba putih yang biasa dikenakan. Tak ada lagi teman, sahabat, kolega atau sanak famili yang biasanya rajin bertandang minta uang.

Wanita itu tak habis pikir; kenapa setelah menunaikan haji gelombang musibah tak henti menderanya. Bukankah dia telah berdoa bahkan bersimpuh di hadapan makam Rasul? Bukankah sudah puluhan juta dihabiskannya berziarah ke Baitullah hingga mencium Hajar Aswad? Kepahitannya kian lekat tatkala bisik-bisik tetangga amat menggerahkan telinga, "Hajinya ditolak Allah ! Dia naik haji dengan uang haram. Harta kekayaannya tak berkah".

HAJI SESUNGGUHNYA

Inilah bentuk pandangan salah kaprah yang menilai kesuksesan dari ukuran materi. Bahkan secara prematur menyimpulkan kalau bangkurt berarti dilaknat Allah, jika kaya diberkahi Tuhan. Keteledoran terletak pada penilaian haji pasti menghapus segala kesulitan, padahal haji itu perjalanan yang berat. Dengan berhaji, hendaknya kita justru kian tangguh menghadang gelombang kehidupan.

Ibadah haji adalah jihad yang berat. Dahulu, naik haji berjalan kaki atau naik unta melintasi gurun panas. Jamaah asal Indonesia berlayar berbulan-bulan dengan risiko dirampok atau tenggelam. Sekarang cukup menjejakkan kaki ke tangga pesawat, burung besi itu hanya butuh sekitar 9 jam membuat anda menginjakkan kaki di tanah suci.

Dahulu pengetahuan tentang haji dipelajari sendiri saja. Sekarang tersedia paket manasik haji. Dahulu, sangat besar resiko tersesat di Makkah, sekanga tersedia pemandu haji. Dulu kalau sakit atau mati ditanggung sendiri, sekarang ada panitia yang mengurusnya. Meski sudah banyak kemudahan, tapi makin banyak yang mengeluh.

Awalnya perjuangan Siti Hajar menggendong bayinya ke daerah gersang tak bertuan yang kita kenal sebagai Makkah. Ritual haji merupakan napak tilas dari kegiatan perempuan agung itu, seperti Sa'ie atau berlari-lari kecil dari shafa dan marwah. Dulu Hajar berlari dengan kecemasan, mencari seteguk air untuk bayinya kehausan.

Oleh-oleh utama, mata air harapan yang menyelamatkan jamaah haji dari mati kehausan adalah sumur zam-zamn. Sumur ajaib itu merupakan jawaban Allah atas jihad Hajar mencari air buat banyinya. Selain itu Ka'bah tempat berthawaf dibangun oleh suami dan putera Hajar.

Ibadah qurban dilengkapi dengan menyembelih hewan. Ini berakar dari keikhlasan Hajar merelakan putera yang diasuhnya sendirian di tengah ganasnya gurun pasir, yang justru hendak disembelih oleh suaminya. Hajar rela menempuh segala ujian derita dengan satu alasan, "Jika itu memang perintah Allah, maka saya ikhlas". Hajar menunjukkan kualitas iman berupa ketaatan kepada Allah. Dalam kepayahan, Hajar berhasil mengikhlaskan segala kecintaannya di dunia ini demi cinta kepada Allah.

Maka, segala susah payah yang dilalui jamaah haji masa kini merupakan cara kita meneladani kekuatan batin Hajar. Beranjak dari kepribadian luhur Hajar, maka yang perlu diperhatikan adalah ketulusan niat yang berbuah keikhlasan. Itulah bekal agar haji memberi perubahan baik bagi para hujjaj. Sehingga dia tak lagi merasakan pahitnya ujian dunia.

MENIKMATI PERJUANGAN

Kembali pada kisah di awal, haji yang mabrur bukannya orang yang menempuh perjalanan tamasya yang bergelimang kesenangan. Bukan! Buktinya Allah menyebutkan dalam al-Qur'an, surat al-Hajj ayat 27 ; "Berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niccaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh".

Ayat ini sangat indah menggambarkan perjuangan berhaji. Allah menyebut manusia datang berhaji dengan jalan kaki dan manaiki unta yang kurus. Kalimat ini menurut Tafsir Nizham al-Durur fiy Tanasib al-Ayat wal al-Suwat karya al-Biqa'iy, menggambarkan jauh dan sukarnya jalan yang ditempuh jamaah haji. Sangat berat kesulitan yang dihadapi hingga untanya pun menjadi kurus.

Haji memang jalan perjuangan yang melelahkan tubuh, tapi membahagiakan batin. Sayangnya, manusia mengukur segala sesuatu dengan timbangan materi. Bahkan ibadah pun ditakar kesuksesannya berdasarkan harta benda. Orang yang jatuh bangkrut, mendapat kecelakaan atau didera musibah sepulang dari tanah-suci, langsung dicap hajinya gagal.

Ada kesimpulan prematur kalau sudah haji orang itu dijamin terhalang dari segala bahaya dan malapetaka atau cobaan. Telah beredar pemahaman dangkal kalau haji menjadi jaminan berlimpah-ruahnya rezeki. Kemabruran haji itu akan tampak dengan caranya menerima cobaan atau musibah dengan sebaik mungkin. Manfaatkanlah kesedihan atau kemalangan itu sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah.

BERKACA KEPADA ZUBAIDAH

Nama aslinya Amatul Aziz binti Ja'far. Neneknya memanggil dengan sebutan Zubaidah, yang bermakna buih putih. Nasib baik mengantarkannya bertahta sebagai permaisuri Khalifah Harun al-Rasyid, salah seorang penguasa ternama dari dinasti Abbasiyah.

Kebahagiaanya lenyap seriring wafatnya suami. Tiba-tiba saja meletus perebutan kekuasaan di antara anak-anaknya. Zubaidah menyaksikan peristiwa paling memerihkan bagi seorang ibu, dimana putra-putranya saling tikam demi tahta yang fana. Puncaknya putranya AL-MA'MUN naik tahta setelah membunuh saudaranya AL-AMIN.

Zubaidah pun tenggelam dalam duka lara yang tiada terperikan. Demi mengobati hati, ia berungkali melakukan ibadah haji, Perjalanan berat menjadi tamu Allah membuka mata hatinya, karena jamaah haji sangat kesulitan memperoleh air selama perjalanan ke Makkah. Lebih banyak keringat yang dikeluarkan daripada air yang diperoleh. Wanita itu mengalihkan perhatiannya dari duka pribadi menjadi perhatian terhadap derita orang lain. Perjlanan haji membuat Zubaidah memilih menempuh jalan penuh kesukaran. Dia bersumpah mempersembahkan pikiran dan harta bendanya demi proyek pengairan di Makkah.

Saat pulang ke Irak, Zubaidah mengumpulkan para arsitek terkenal. Dia membiayai sendiri para insinyur dan pekerja. Mereka bekerja keras membuat saluran air diantara bebatuan cadas dan panasnya gurun Arab. Sulit menceritakan beratnya proyek itu, mengingat belum ada peralatan canggih yang menopangnya. Tapi semangat Zubaidah membuat proyek sosial itu berhasil dituntaskan. Hasilnya, air bisa dialirkan dari Hunain membasahi bumi Makkah. Mata air Nu'man juga berhasil membasahi tanah Arafah. Para jamaah haji bersyukur menyambut anugerah besar itu. Air dari kanal Zubaidah membuat penderitaan mereka teratasi.

Begitualah cara Zubaidah mengatasi duka, dengan meringankan derita sesama manusia. Dia memaknai Haji sebagai kekuatan untuk berjuang mengalahkan kerapuhan jiwa. Haji bukan dijadikan kambing hitam menyalahkan Tuhan atas segala deritanya.

Selain itu, dalam buku The Great Women disebutkan Zubaidah juga aktif dalam kegiatan ruhani yang spektakuler. Diam memiliki 100 pelayan perempuan yang semuanya hafal al-Qur-an berkat bimbingannya. Jumlah tersebut belum ditambah dengan orang-orang yang hanya belajar membaca al-Qur-an. Sehingga setiap hari terdengar suara-suara orang membaca al-Qur-an dari dalam istananya. Setiap orang membaca 10 juz dalam satu hari.

Kalau haji dipandang sekedar perbuatan, maka para hujjaj akan abai memaknai perjalanan ibadahnya itu. Tapi bila haji diyakini sebagai perjuangan, segala cobaan yang menimpa sebelum, sedang atau setelah melaksanakan haji tak akan menggoyahkan keimanan. Nilai seorang haji bukan pada kemampuannya melakukan perjalanan jauh, melainkan kekuatan batinnya menerima segala risiko perjuangan. Karena dengan berhaji, kita menemukan salah satu sarana menangguhkan jiwa. Wallahua'lam... (yoli hemdi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar