Minggu, 06 Juni 2010

SEBUAH RENUNGAN

Aku mesti bertanya kepada diri sendiri tentang tujuan dan ma’na hidupku. Lama kupikirkan tapi ini tak pernah jelas bagiku. Kalaupun aku berpikir tentang tujuan hidup, tidaklah aku memikirkannya sebagai sesuatu yang sempurna. Dan akupun amat malu karenanya.

Aku tidak menyukai kesenangan merenung, meskipun dimasa remajaku aku amat senang melakukannya. Banyak yang telah aku jawab dalam perenunganku, misalnya tentang Allah, tentang persahabatan, tentang kebenaran, dan yang paling aku takutkan dalam perenungan aku itu bahwa suatu saat aku kehilangan kebenaran. Sesuatu yang selama ini selalu aku pertahankan dan perjuangkan. Dan untuk mendapatkannya sudah banyak yang aku korbankan; teman-teman, persahabatan, guruku, cita-citaku atau mungkin masa depanku.

Dan yang lain dalam pikiranku adalah tentang usaha bagaimana supaya bisa hidup terus, usaha yang keras dan lahiriah sifatnya yang memenuhi pikiran prajurit ketika berada di medan pertempuran.

Setelah itu yang ada dalam pikiranku ialah bagaimana menamatkan sekolah, mendapatkan pekerjaan sehingga aku memperoleh sesuatu untuk memelihara agar diriku tetap hidup, dan tetap hidup berarti makan tiga kali sehari, atap yang tak bocor diatas kepala, sepasang sepatu, pakaian yang bersih, istri yang cantik dan anak-anak yang manis.

Namun semuanya telah berubah kini. Dan sebagian tujuan-tujuan yang menyita perhatianku dimasa lalu itu bukan lagi menjadi tujuanku kini. Kalau begitu adakah aku terlalu jauh melangkah?

Kupikirkan bahwa keinginanku yang mula-mula sekali itu semua adalah bersifat ekonomis, kebutuhan-kebutuhan yang paling pokok. Kini aku meningkatkan tujuan-tujuanku sedikit lebih tinggi, dan inipun wajar. Sesungguhnya tak seorangpun yang butuh makan enam kali sehari, atau dua lusin sepatu, atau istri yang lebih dari empat. Dan kasarnya seseorang hanya bisa makan sebanyak itu dan memakai sepatu sebanyak itu. Yang joroknya, seseorang -kalau bukan manusia yang luar biasa atau orang yang keranjingan- hanya bisa melakukan hubungan seks sekali sehari, atau paling banyak dua kali sehari.

Maka apa yang kuinginkan dalam hidup ini? Aku ingin dinilai benar terhadap apa yang aku perbuat, dan dalam hatiku aku ingin perbuatan itu benar. Aku ingin mengatakan perbuatan itu aku lakukan karena memang harus kulakukan. Mungkin juga ternyata aku mungkin salah, tetapi itu tak jadi soal, paling tidak menurut diriku sendiri aku harus benar.

Dan merupakan kenyataan yang biasa bagi seorang manusia apabila menginginkan bagi dirinya kejujuran yang didambakan pada setiap orang. Dan inilah mungkin yang harus diketahui tentunya oleh dia (calon istriku), yang akan mengenalku seperti yang mungkin tak akan pernah dikenal orang. Karena kepadanyalah aku akan menyuarakan pikiran-pikiranku dan menumpahkan perasaanku.

Dan daripadanya aku tak mengharapkan apa-apa kecuali pengertian dan lebih dari segalanya yaitu penghargaan. Allah tahu betapa sering aku mengharap demikian, untuk membuat dia mengetahui bahwa aku adalah suatu pribadi dan bukan benda.

Aku ingin dia mengetahui betapa pentingnya gagasan-gagasan, tujuan-tujuan yang telah kutetapkan bagi diriku sendiri dimasa lalu, semua itu tetap berlaku meskipun tak lagi berada dalam jangkauanku.

Akupun sering bertanya kepada diriku sendiri, apakah kehormatan itu kiranya, tapi semua jadi kabur dan tak berbentuk, aku menangkap hawa dan berharap berpegang kepada sesuatu yang nyata, tapi mungkin apakah tak akan ada apa-apa disana?

Dan hari demi hari seakan mendorongku lebih jauh juga dari apa yang kuinginkan, bukanlah tubuh calon istriku, hartanya, dan bukan pula pandangan keluarganya kepadaku- tetapi pembenaran terhadap apa yang telah aku lakukan di negeri yang papa ini.

Aku berharap bahwa pada suatu hari aku akan dapat melakukan sesuatu yang heroik untuknya, perbuatan yang akan memuliakan diriku, tidak saja bagi diriku sendiri, tetapi terutama bagi calon istriku yang telah menerima aku sebagaimana keadaanku.

Tetapi jika aku dapat merasa pasti, meskipun dalam satu hal saja, bahwa calon istriku memilihku karena ia cinta dan menaruh penghargaan kepadaku, jika demikian tahulah aku bahwa paling tidak ia adalah makhluk yang paling layak untuk kuhargai dan kucintai. Jika tidak, maka kesendirian lebih kusenangi daripada menempuh kebersamaan yang serba tak pasti.

Batam, 08 juni 1998

Digubah dari terjemahan buku:
THE PRETENDERS
Oleh
F. Sionil Jose

Tidak ada komentar:

Posting Komentar