Rabu, 24 Februari 2010

Bila Suami Terpikat Wanita Lain....

Pernikahan adalah perjanjian yang kuat. Seorang laki-laki mengambil wanita menjadi istrinya dengan menggunakan nama Allah. Namun perjalanan selanjutnya tidak selalu mulus. Ada banyak aral melintang yang dapat mengolengkan biduk yang berlayar. Salah satunya adalah munculnya orang ketiga yang tidak saja memancing di air keruh tapi juga mengeruhkan air yang awalnya bening. Bagaimana perasaan seorang wanita kala mengetahui suaminya tertarik wanita lain?

Luna terisak-isak di depan Wita. Ia merasa suaminya sedang jatuh cinta pada wanita lain, entah siapa. Awalnya dari dering telepon yang berujung pada perbincangan bisik-bisik dan lama. Suaminya selalu menghindar bila Luna bertanya soal siapa dan apa. Setiap usai perbincangan di telepon, suaminya kelihatan begitu ceria dan banyak senyum. Luna curiga dan terus mendesak. Suaminya malah pindah tempat bertelepon ke wartel dekat rumah. Ketika Luna semakin mendesak, suaminya marah dan menjadi tidak peduli. Luna semakin bingung dan tak tahu berbuat apa. Kenapa suaminya tertarik pada wanita lain?

Wilayah kosong
Ketika seorang wanita memasuki wilayah pernikahan, ia akan mengalami perubahan-perubahan dalam hidupnya. Ia tidak hanya menjadi istri, tapi juga akan menjadi ibu. Kelahiran anak pertama, apalagi diikuti dengan kedua, ketiga dan selanjutnya, merupakan peristiwa besar bagi dirinya. Ia yang mengandung, melahirkan, menyusui dan merawat anak-anak tersebut. Kedekatannya dengan anak-anak bisa membuat perhatiannya teralihkan dari hubungan suami istri.

Ida Poernomo Sigit, S.Psi, seorang konsultan perkawinan dan keluarga, mengatakan kondisi seperti itu dapat menjadi titik tolak menjelaskan pertanyaan di atas. Menurut dia, anak sangat menyita waktu dan perhatian seorang ibu sehingga ia tidak sempat lagi bertanya mengenai perasaan suaminya, pikirannya, dan tidak sempat memperhatikan kebutuhannya. "Bukan karena enggak mau, tapi enggak sempat aja."

Ketika istri memusatkan perhatiannya pada anak, suami tidak bisa menyalahkan istrinya dan ia pun tidak bisa menyalahkan dirinya sendiri. Kenapa? Masyarakat, termasuk suami, beranggapan bahwa anak adalah yang terpenting.

Padahal kebutuhan suami tetap ada. Dan ketika perhatian itu teralihkan, kata Ida, di situ akan ada wilayah kosong yang tidak tergarap. "Di setiap wilayah kosong pasti ada upaya untuk memenuhi kebutuhan. Nah, kalau ada yang lewat nawarin untuk ngisi yang kosong, ia terima. Padahal yang lewat itu nggak ada apa-apanya dibandingkan istri yang dia pilih dengan sadar. Yang lewat ini mungkin menawarkan seujung kuku, sedangkan istrinya punya setelapak tangan. Tapi, toh, diambil juga. Ya, karena dia punya wilayah yang kosong," tutur psikolog yang sering menjadi pembicara di berbagai seminar keluarga ini.

Jangankan ditawarkan, kata Ida, tidak ada yang menawarkan pun dia melihat sesuatu. "Dia kurang itu, sehingga dia mudah sekali tertarik."

Hal senada diungkapkan Herlini Amran M.A., konselor rubrik Fiqh Wanita di majalah Ummi. Ia mengatakan, kurangnya perhatian, pelayanan dan tanggapan terhadap aspirasi suami dapat membuka peluang bagi suami untuk melirik wanita lain.

Ahmad Heriawan, L.c., seorang ustadz yang sering menjadi konselor masalah perkawinan berpendapat bahwa adanya ketidakpuasan antara suami istri bisa menjadi penyebab. "Bila sudah ada kepuasan, hal-hal semacam itu tentu tidak akan terjadi."

Soal kriteria
Teori satu bicara soal ruang kosong atau peluang yang diciptakan istri. Bagaimana kalau tidak ada ruang kosong karena istri tidak memiliki kekurangan dan telah memenuhi tugasnya dengan baik?

Ida Poernomo Sigit menjawab pertanyaan ini dengan teori dua. Menurut dia, laki-laki itu sedang mempraktekkan karakter manusia. Sebelum menikah seorang laki-laki mempunyai kriteria untuk calon istrinya, misalnya 10. "Sebenarnya istrinya punya 15, tapi dimata suami ia hanya punya tujuh. Pikirnya, ya sudah, tujuh juga enggak apa-apa." Tapi, tambah Ida, adakalanya dalam perjalanan selanjutnya suami menagih kriteria yang dilihatnya kurang. "Makanya kalau ada yang lewat dan punya satu saja akan dia sambar."

Laki-laki paling tidak tahan dengan sanjungan dan rengekan, juga senang menjadi hero, penolong dan mudah kasihan pada orang lain. Sementara wanita sangat pandai mencapai maksudnya lewat sanjungan dan rengekan. Ketika wanita tertarik pada seorang laki-laki, ia akan melancarkan serangan-serangan gencar. "Dan memang ada perempuan yang model begitu," jelas psikolog yang tinggal di bilangan Kelapa Gading ini.

Ustadzah Herlini Amran menyampaikan penjelasan serupa. Menurutnya peluang itu bisa datang dari dalam maupun dari luar rumah tangga. "Diluar ada peluang-peluang yang menggoda suami. Ia melihat perempuan dalam berbagai macam bentuk. Laki-laki itu lebih gampang terpancing. Jadi, kasihan kalau sesampai di rumah ternyata ia tidak dilayani," kata ustadzah yang menyelesaikan S2nya di Pakistan.

Hal senada pun diakui Heriawan. Menurut dia, setiap laki-laki memiliki tabiat terobsesi pada wanita. Meski sudah punya istri dan mencintai istrinya, ia bisa saja tertarik dan jatuh cinta pada wanita lain. "Karena itu Allah membolehkan (poligami-red) dengan syarat ia mampu. Dan cinta kepada istri pertama tidak boleh hilang, bahkan boleh jadi lebih besar."

Mitos masyarakat
Mitos dan kultur yang berkembang di masyarakat juga berpengaruh terhadap kehidupan perkawinan seseorang. Tak jarang, laki-laki dan wanita sebagai sepasang suami istri kalah dalam menghadapi tuntutan sosial.

Misalnya, masyarakat menganggap wajar jika seorang laki-laki yang kaya dan berduit banyak, menikahi 2 atau 3 wanita tanpa peduli bagaimana cara dia memperlakukan istri-istrinya. Anggapan anak laki-laki lebih berharga dari anak perempuan pada masyarakat Tapanuli, misalnya, kadang membuat seorang suami menceraikan istrinya atau menikahi wanita lain hanya demi mendapatkan keturunan laki-laki. "Kalau belum kawin dengan orang sekampung, kita belum bergelar. Itu kalau kita ke tanah Minang. Jadi laki-laki didorong kawin lagi," kata Ida mencontohkan.

Pandangan orang terhadap perkawinan pun semakin tidak sakral. Perselingkuhan digambarkan begitu vulgar lewat sinetron dan film. Ini juga mempengaruhi sikap dan kepribadian laki-laki.

Karenanya Heriawan lalu mengingatkan bahayanya obrolan dan senda gurau tentang wanita kedua dalam hidup seorang laki-laki. "Kalau sekedar membahas sedikit-sedikit, bolehlah. Tapi kalau setiap laki-laki ketemu laki-laki ngobrolnya yang semacam itu, saya khawatir sesuatu yang asalnya syar-i akan cenderung menjadi biasa-biasa saja. Hal yang semula sakral dan suci menjadi sederhana dan menjadi bahan lelucon. Jadi kalau dia lalu melakukan sesuatu (poligami-red) bukan karena kesiapannya, tapi karena obrolan yang mendorong obsesi dan nafsu kelaki-lakiannya."

Krisis laki-Laki
Menurut Ida Poernomo Sigit, laki-laki dalam kehidupannya mengalami beberapa fase krisis: saat pra remaja, saat berangkat dewasa dan saat usia 35-40 tahun, ketika seorang laki-laki berada pada puncak kariernya. Kalau ia berhasil mencapai sesuatu yang membanggakan dan merasa puas, tidak akan terjadi krisis. Bila tidak, ia akan mengalami krisis identitas: saya ini seorang pemenang atau pecundang?

Hal ini lalu akan menimbulkan kegelisahan dalam dirinya, apalagi kemudian angkatan di bawahnya mulai bergerak naik dan mengincar posisinya. "Ini sangat menggelisahkannya. Ditambah keluarga sudah tidak memperhatikan dirinya. Istri capek mengurus anak yang berangkat remaja, penuh persoalan. Istri mulai menurun gairah seksnya, juga lupa merawat cinta kasih. Kedudukan enggak dapet, harta enggak dapet, perempuan enggak dapet. Tuhan mengatakan jagalah diri kita dari harta, tahta, wanita. Dalam kondisi seperti itu, ada perempuan yang menggoda. Itu akan mengobati krisis dia. Dia mudah sekali tersanjung dan iba hati."

Haruskah Tergoda?
Dalam masalah ini kita dapat mendudukkan persoalannya pada tiga hal:
menggoda, digoda atau tergoda. Seorang suami dapat saja terpikat wanita lain dengan menjadikan hal-hal diatas sebagai alasan. Ini merupakan kesimpulan yang diambil Ida Poernomo Sigit dalam perjalanannya berpuluh tahun menghadapi banyak rumah tangga yang oleng karena adanya WIL. Namun pertanyaannya, bolehkah adanya alasan-alasan di atas menjadi legalitas bagi suami untuk mencari wanita lain?

Menurut Heriawan, ketidakpuasan yang terjadi di dalam rumah tangga memang dapat membuat suami tergoda. Tapi, kata dia, kurangnya iman merupakan penyebab utama. Suami yang kurang iman tidak akan sanggup mengatasi ketidakpuasannya dengan cara yang bijak. Malah, tambah Heriawan, ia tidak boleh hanya menuntut istrinya untuk selalu penuh perhatian dan selalu tampil menarik di depannya, melainkan ia pun harus memberikan peluang pada istrinya agar dapat melakukan hal itu (membuat dirinya menarik-red).

"Misalnya anak banyak, untuk mengurus itu saja si istri sudah kehabisan waktu. Mana ada waktu untuk mengurus dirinya. Kalau karena itu cinta suami luntur, tidak wajar itu. Tidak adil. Istri sadar untuk tampil menarik di hadapan suaminya. Suami juga harus memberi dukungan, misalnya keluasan materi. Untuk tampil menarik kan butuh alat kecantikan, butuh senam, jamu, dan lain-lain. Kalau suaminya tidak punya daya dukung tapi menuntut istrinya tampil menarik, itu kan tidak adil. Kalau seperti itu tidak ada alasan baginya bahwa perempuan di luar jadi lebih menarik."

Ida Poernomo Sigit berpendapat sama. Menurutnya, seorang suami adalah imam dalam rumah tangganya. Ia mengambil seorang wanita dari ayahnya lewat ijab qabul yang berarti berjanji meneruskan estafet amanah di hadapan Allah. "Kalau ma'mumnya enggak beres, imamnya dong yang membetulkan, bukan ditinggalkan, sebab ma'mum itu kan tanggungjawab imam."

Seorang suami yang shaleh, menurut Herlini, tidak akan membuang-buang waktu untuk memikirkan wanita lain. Ia akan bekerja sebaik-baiknya untuk menunaikan kewajibannya.

Kalau seorang suami memiliki pemahaman agama yang baik ia pasti bertanggung jawab. Ia akan ingat bahwa dalam bukunya kelak akan ada file istri dan anak-anaknya yang harus dibuka satu-satu. Sedang wanita, sepanjang telah menjalankan tugas-tugasnya sebagai istri, ia tidak akan bertanggung jawab atas kelakuan suaminya. "Kalau secara psikologis sudah memahami hal ini, maka perilakunya akan mengarah kesana. Kalau pemahamannya kocar-kacir, gimana perilakunya?"

Karya : Dwi Septiawati Djafar
Laporan Asmawati, Sarah Handayani dan Vinny.

PANGGILAN CINTA...

Ada seorang sahabat saya yang memanggil isterinya dengan sapaan, “cinta…” Jika ia bicara melalui telepon dengan isterinya, nadanya sangat mesra dan sesekali terdengar kata, “cin…”. Jadi, “cin…” itu penggalan dari kata “cinta”, aiih, terdengarnya bahagia sekali isterinya itu setiap hari selalu disapa mesra dengan kata “cinta”. Siapapun orang yang mendengarnya, tak peduli lagi nama asli perempuan yang berbahagia itu; Ngatini, Juminten, Salbiah, Kasiyem, atau siapapun, nama indahnya adalah “cinta”.

Sahabat lainnya, menyebut pasangannya dengan “cantik”, kalau sudah mendengar langsung ia menyapa isterinya, “cantik abang”, -coba bayangkan, ia menyapa isterinya dengan dua kata itu dengan logat asli melayu- duh duh duh, serasa bergetar langit mau runtuh. Kuat sekali hati lembut si cantik itu setiap saat mendapat sapaan yang menggetarkan, dan hatinya tak juga runtuh. Padahal, seperti saya bilang, langit saja terasa bergetar ketika saya yang mendengarnya.

Sungguh, siapapun perempuan itu, benar-benar cantik, lumayan cantik, agak cantik atau bahkan tidak bisa dibilang cantik sekalipun, akan berbunga-bunga hatinya jika kekasih hatinya, belahan jiwanya menyapanya dengan kata “cantik”. Ia akan merasa menjadi perempuan paling cantik sedunia sepanjang sapaan itu terus meluncur deras dari lidah suaminya. Cinderella, puteri salju, dan semua pemenang kontes puteri kecantikan di manapun di dunia ini seolah tak mampu menandingi kecantikannya.

Ada lagi lelaki yang bertipe penyayang, sapaan kepada isterinya pun “say”, “yank” atau “ayank”. Sama dengan si “cinta” dan si “cantik”, lelaki penyayang ini sampai-sampai menulis nama isterinya di buku telepon selulernya dengan kata “say”, “ayank”, “sayangku”, “my dear”, “babes” dan lain sebagainya. Tak hanya itu, nada dering untuk si “ayank” ini pun dibuat khusus, bisa lagu-lagu kesayangan isterinya, atau lagu yang menjadi lagu kenangan mereka berdua. Wallpaper teleponnya juga disesaki oleh foto sang isteri. Di dalamnya, terdapat puluhan foto-foto tercantik sang isteri hasil bidikannya sendiri.

Lelaki tipikal pelindung, menyapa isterinya dengan panggilan “adik”, dan seraya menyebut dirinya “abang” kepada isterinya. Cinta dan sayang itu, konon melahirkan rasa pengorbanan. Salah satu bentuk pengorbanan sang pecinta adalah senantiasa melindungi orang yang dicintainya. Perempuan manapun yang terus menerus disapa “adik” oleh kekasihnya, akan merasa aman, nyaman dan terlindungi. Tak peduli si “abang” kurus kerempeng, namun ia sangat yakin si kerempeng itu akan berani menggasak preman bertubuh kekar dan berotot yang mencoba mengganggu perempuan terkasihnya.

Yang agak lazim terdengar dari kebanyakan pasangan suami isteri, terlebih yang sudah punya anak adalah membahasakan panggilan kepada pasangan seperti sang anak memanggil ibu atau ayahnya. Memang terdengar agak lucu, seorang suami memanggil isterinya “bunda”, “ummi” atau “Ibu”. Panggilan itu cukup pas bila ia melakukannya di depan anaknya atau untuk mengarahkan kepada anaknya, misalnya, “Nanda dipanggil bunda tuh…”. Tetapi kadang, tidak ada si buah hati pun panggilan “bunda” itu tetap dipakai para suami untuk menyapa isterinya. Begitu pun sebaliknya, si bunda memanggilnya suaminya “Ayah”.

Tenang, apapun itu panggilannya, sepanjang masih indah terdengar tentu tidak masalah. Say, cin, cantik, adik, atau bunda, tetaplah panggilan-panggilan sayang yang membuat perempuan mana pun merasa tersanjung dan hatinya dipenuhi bunga. Karena ada pula di sekitar kita para suami atau isteri yang memanggil pasangannya dengan sapaan yang rasanya tidak sedap didengar, tidak ada nilai estetikanya sama sekali, bahkan tidak menjunjung tinggi kenyataan hati yang senang dipuji.

Coba simak, ada seorang suami yang memanggil isterinya “…sek” lantaran hidung si isteri memang tidak bisa dibilang mancung. Ada isteri yang disapa, “ting” karena rambutnya keriting, dan… ada pula perempuan-perempuan yang dipanggil suaminya, “ndut” atau “mbot”, karena bobot tubuhnya yang melebihi ukuran standar. Bayangkan lagi ada suami atau isteri yang saling memanggil pasangannya dengan nama lahir, atau lebih buruk lagi dengan sebutan “kamu” dan “elu”.

Jujur, saya tidak pernah melakukan survei atau bertanya langsung kepada para isteri yang mendapat julukan “sek, ting, ndut dan mbot” itu. Tetapi toh hati manusia itu sama, bahwa salah satu sifat dasar manusia adalah merasa dirinya istimewa. Panggilan atau sapaan yang indah adalah bagian dari wujud mengistimewakan seseorang, terlebih itu isteri atau suami sendiri.

Walau ada juga para isteri yang tidak keberatan dipanggil “sek, ndut, ting dan mbot”, saya juga tidak pernah terbayangkan kalau –maaf- misalnya isterinya bertangan sebelah, apa mungkin dipanggil “tung”, maksudnya si buntung. Atau suaminya hanya memiliki satu kaki, relakah ia bila isterinya memanggil, “… cang” untuk si pincang. Mari kita bayangkan perasaan Aisyah isteri Rasulullah yang mendapat sapaan “humairah” si pipi kemerah-merahan.

Saya pernah bertanya kepada seorang sahabat yang kerap disapa “handsome” oleh isterinya. Meskipun saya tahu betul bahwa sebetulnya ia tidak betul-betul “handsome”, tetapi panggilan itu berpengaruh besar kepada dirinya. Dia bilang, “siapapun manusia perlu dihargai, dan penghargaan tertinggi yang pernah saya dapatkan seumur hidup adalah cara dia menyapa saya”.

Jadi, apa panggilan sayang untuk pasangan Anda?

http://gawtama.multiply.com/journal/item/457/Panggilan_Sayang

1 komentar: