A’uudzu billahi minasy syaithanir rajiim
Bismillaahir Rahmanir Rahiim
Berurusan dengan makhluk halus, lelembut, atau dedemit mungkin bukan hal yang sama sekali baru buat saya. He he, ini bukan berarti saya dukun professional, lho. Ya, bisa dibilang sekedar pernah ada sedikit pengalaman dengan golongan mereka seperti jin, genderuwo, atau penunggu rumah. Dan alhamdulillaah, saya masih selamat. Maklum, saya cuma berurusan dengan kelas awam dari golongan mereka.
Namun, ada satu jenis makhlus halus dan lembut yang bahkan hingga saat ini pun saya kewalahan mencoba memahaminya. Bahkan, ketika saya berusaha menulis topik ini, butuh waktu satu hingga dua malam lebih untuk merenungkan dan meriset hakikat dari makhluk Allah yang halus nan lembut ini.
Ya, makhluk halus nan lembut itu bernama wanita. Mohon maaf jika sebagai ilustrasi awal tulisan ini, saya mengenang masa lalu saya dengan makhlus halus beneran (alias jin). Tentu saja makhluk halus yang bernama wanita ini, masih segolongan dengan kita, manusia. Sekalipun demikian, satu hal yang sama yang mungkin dapat saya tarik dari pengalaman saya berinteraksi dengan kedua jenis makhluk halus ini: ketidaktahuan akan karakter dan sifat mereka seringkali membuat gesekan atau konflik antara kita dengan mereka. Khususnya ini saya hadapi sebagai seorang laki-laki ketika mesti berinteraksi dan bergaul dengan makhlus halus jenis kedua, wanita.
Ibu kita, Sayyidah Hawa’ ‘alaihassalam, adalah wanita pertama yang Allah SWT ciptakan. Allah SWT ciptakan wanita pertama dari manusia pertama, ayah kita, Sayyidina Adam ‘alaihissalam. Dalam hakikatnya, Adam bukanlah manusia pertama. Benar, Memang Adam a.s. -lah manusia pertama yang diciptakan dengan fisik yang Allah SWT bentuk dari tanah liat dengan kasih-Nya. Tapi, hakikat manusia yang sejati adalah apa yang berada dalam dirinya, Ruh. Dan ruh pertama yang Allah SWT ciptakan (bahkan ciptaan pertama) adalah ruh Nabi kita, Sayyidina Muhammad sall-Allahu ‘alaihi wasallam, atau disebut pula Nur Muhammad [1]
Dan untuk apakah Allah SWT ciptakan makhluq, yang Ia awali dengan penciptaan Cahaya Muhammad (SAW)? Dalam suatu hadits Qudsi, Ia SWT berfirman, “Kuntu kanzan makhfiyyan, fa-ahbabtu an u’raf, fakhalaqtu al-khalq” “Aku adalah suatu ‘Harta’ tersembunyi, dan Aku ingin untuk dikenali, maka Ku-ciptakan makhluq”. Artinya, Allah SWT menciptakan makhluq karena kecintaan-Nya pada Diri-Nya, dan Ia SWT memanifestasikan kecintaan-Nya pada Diri-Nya tersebut dengan menciptakan makhluq agar mereka belajar mengenali-Nya, mencintai-Nya, mengabdi dan menyembah-Nya dengan cinta, yang pada hakikatnya adalah cinta-Nya pada mereka, dan pada hakikatnya lagi adalah kecintaan-Nya pada Diri-Nya sendiri.
Karena itulah, setiap makhluq, dari level terkecil hingga terbesar dan tersempurna (manusia) tak lain dan tak bukan adalah manifestasi atribut dan nama suci-Nya. Khususnya pada manusia, lebih-lebih Ia berikan cinta tertinggi-Nya dengan mengaruniakan sesuatu dari Diri-Nya sendiri, seperti dapat kita simak dari ayat di QS. 15:29, “Fa-idzaa sawwaituhuu wa nafakhtu fiihi min ruuhii wa qo-’uu lahuu saajidiin”, “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya (bentuk fisiknya), dan telah meniup kan kedalamnya ruh-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud”. Kita tidak bermaksud membahas lebih dalam maksud “ruh-Ku” di sini [2]. Yang jelas, Ia ciptakan manusia dan memberikan kehormatan bagi manusia dengan ’sesuatu’ dari-Nya. Dan Ia lakukan ini dengan cinta dan kasih-Nya, dengan Rahman dan Rahiim-Nya. Adalah wajar, jika kemudian Quran dimulai dengan Bismillaahir Rahmanir Rahiim; kemudian dilanjutkan dengan pujian Allah bagi diri-Nya oleh diri-Nya (Alhamdulillahi Rabbil ‘Aalamiin); dan kemudian dilanjutkan lagi dengan menyebut sifat Pemurah dan Penyayang-Nya (Ar-Rahman Ar-Rahiim). Dan sang Manusia Pertama yang merepresentasi seluruh ciptaan, Ruh Muhammad (SAW), adalah Penerima dari Kasih Sayang Ilahiah itu. Inilah maksud dari ayat QS. 21:107 “Wa maa arsalnaaka illaa rahmatan lil-’aalaamiin” “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. Sayyidina Muhammad (SAW) adalah Marhuum (yang menerima rahmat itu), dan sekaligus menjadi mediator Rahmat bagi seluruh alam, karena Allah SWT menciptakan manusia (bahkan makhluq) lain dari ruh beliau. Seluruh makhluq berenang dalam samudera Cinta Allah lewat Rahmatan lil-’alamin sayyidina Muhammad SAW.
Fiuuuh. Bingung? Istirahat dulu. Tarik nafas sambil senyum! :-)
Mengapa saya harus menceritakan sedikit panjang lebar sejarah penciptaan makhluq oleh Allah SWT ini? Apa kaitannya dengan hakikat wanita?
Karena, seperti juga Allah SWT menciptakan manusia dan memberikan ’sesuatu’ dari Diri-Nya bagi manusia sebagai ‘token’ atau bukti atau tanda cinta-Nya, tanda kehormatan dari-Nya, Ia SWT ciptakan pula Hawa’ dari suatu bagian tubuh Adam ‘alaihissalam, yaitu tulang rusuk Adam. Lebih dari itu, tidak hanya secara fisik, tapi juga secara ruh, Ia ciptakan ruh Hawa’ alaihissalam dari ruh Adam ‘alaihissalam. Artinya, dalam alam ruh, mula-mula ruh Adam dan ruh Hawa’ adalah satu, dan kemudian Ia SWT pisahkan kedua ruh tersebut, dan Ia tiupkan pada dua jasad yang berbeda. Inilah salah satu makna QS 39:6, “Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan daripadanya isterinya”.
Dan kerinduan seorang wanita pada pria pasangan hidupnya, tak lain tak bukan adalah kerinduan suatu bagian yang terpisah, untuk kembali pada asalnya, pada ‘rumah’nya, ruh sang pria. Sebaliknya, kerinduan sang pria pada wanita adalah kerinduan ‘keseluruhan’ pada ’sesuatu’ yang hilang dari dirinya.
Dan kerinduan-kerinduan di atas, pada hakikatnya, mensimbolisasi kerinduan manusia pada Pencipta-Nya, dan kerinduan Pencipta pada manusia ciptaan-Nya. Manusia rindu pada sang Pencipta-Nya, karena ada ’sesuatu’ dalam dirinya (ruh) yang berasal dari-Nya. Sang Pencipta rindu dan cinta pada manusia karena ada ‘bagian’ diri-Nya (atribut yang termanifestasikan dalam ruh) yang Ia ‘implant’-kan pada manusia.
Di sini kita mendapati suatu cinta segitiga antara Allah SWT dengan pria dengan wanita.
Karena itu, kita dapati Nabi sall-Allahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, “Aku dijadikan mencintai tiga hal dari duniamu, wanita, parfum, dan penyejuk mataku di salat”[3]. Kalau kita melihat redaksi aslinya, Nabi (SAW) bersabda, “Hubbiba ilayya”, “Dibuat bagiku untuk mencintai…”; dan bukannya “aku mencintai…”. Artinya kecintaan Nabi SAW adalah sesuatu yang berasal dari kecintaan Allah SWT pada wanita. Dan dalam redaksi Arabnya pun dipakai kata “an-Nisaa’“, “wanita-wanita” (dalam bentuk plural), bukan “imra-ah” “seorang wanita”. Nabi Muhammad Sall-Allahu ‘alaihi wasallam sebagai manusia pertama (alam ruh) merepresentasi keseluruhan ciptaan, sebagai wakil (khalifah) Allah. Kecintaannya pada wanita, merepresentasi kecintaan ‘keseluruhan’ pada ‘bagian’, yang pada hakikatnya merepresentasi kecintaan Allah SWT pada hamba-hamba-Nya.
Seperti kemanusiaan diciptakan untuk Allah SWT, wanita diciptakan Allah SWT bagi pria. Cinta dan kerinduan antara pria dan wanita, pada hakikatnya adalah bagian dan simbol cinta serta kerinduan antara Allah SWT dan manusia. Saat seorang laki-laki mencintai seorang wanita, ia mestilah melihat wanita sebagai manifestasi dari cinta Ilahiah yang suci, dan melihat rahasia alam semesta terbuka dalam wanita, tidak sekedar sebagai pemuas nafsu badani. Karena itu, saat masa ‘penyatuan’, ketika laki-laki maupun wanita kehilangan keseluruhan kesadaran dirinya, Tuhan tidak menghendaki mereka kehilangan kesadaran akan-Nya oleh kesenangan ‘penyatuan’ tersebut dengan melupakan hakikat cinta yang suci. Karena itulah, diwajibkan setelah proses itu, untuk melakukan mandi janabat.
Seandainya saat ‘penyatuan’, sang lelaki dapat melihat ‘tanda’ Tuhannya dalam diri kekasihnya, maka ia telah mendapat suatu karunia mencerap cinta suci Ilahi itu. Atau, setidaknya ia mesti melihat tanda Tuhannya pada dirinya sendiri yang terefleksikan pada diri sang kekasih (karena ruhnya berasal dari dirinya).
*******
Dan karena pria maupun wanita tadinya berasal dari ruh yang satu yang terpisah dan masuk dalam jasad berbeda, mereka merepresentasikan Atribut Allah SWT yang berbeda namun saling melengkapi. Pria merepresentasikan setetes dari Samudera Jalaliyah Allah, Keagungan Allah SWT. Artinya, pada pria biasa tersimpan sifat dan nama-nama seperti Yang Kuat (Al-Qowiyyu), Yang Perkasa (Al-’Aziiz), dan lain-lain. Sedangkan wanita merepresentasikan setetes dari Samudera Jamaliyah Allah, Keindahan Allah SWT. Wanita dikaruniai sarana dan prasaran untuk merepresentasi atribut dan nama Allah seperti ar-Rahiim, Yang Penyayang, Al-Baathin, Yang Tersembunyi, dan lain-lain. Baik fisik maupun jiwa wanita merepresentasikan atribut-atribut dan nama-nama Ilahi ini. Itu pun, wanita hanyalah manifestasi setetes dari samudera Jamaliyah Allah. Andaikata Ia SWT berikan dua tetes samudera Jamaliyah-Nya pada wanita; niscaya tak ada lagi lelaki yang mau keluar dari rumahnya untuk bekerja dan beraktivitas, mereka puas dengan hanya memandang keindahan dan kecantikan sang wanita pendampingnya.
Itu pulalah yang mungkin membuat wanita, mungkin nampak, kurang mengandalkan akal pikirnya, dan lebih mengandalkan emosi qalbunya. Pada hakikatnya, sebenarnya baik pria maupun wanita dikaruniai oleh-Nya perlengkapan akal, dan qalbu yang sama. Hanya mungkin, karena pria memanifestasikan sifat Jalaliyah-Nya, seperti Al-Hasiib (Yang Menghitung), nampak lebih banyak berpikir dan berhitung dengan rasio akalnya. Ini bukan berarti wanita pun tak dapat memiliki kualitas yang sama! Sebaliknya, wanita cenderung pemurah, penyayang dan penyantun, mudah tersentuh oleh penderitaan orang lain, karena ia berada dalam tarbiyah nama Allah ar-Rahiim (Yang Penyayang, yang termanifestasikan antara lain berupa organ keibuan rahim), al-Haliim (Yang Penyantun), dan lain-lain yang serupa. Walau ini tidak berarti pria-pun tak dapat mencapai kualitas kelembutan akhlaq yang serupa.
Dan alih-alih menjadi kekurangan, karakteristik wanita yang dekat dengan Rahman Rahim Allah ini, justru menjadikannya lebih mudah mendekat ke Hadirat Ilahiah, daripada pria. Pada zaman Nabi, misalnya, di antara kalangan yang mula-mula banyak menerima Islam adalah kaum wanita. Pengalaman saya berinteraksi dengan wanita dari berbagai negara (sebagai teman…) menunjukkan kehalusan qalbu mereka yang memudahkan mereka untuk menerima hidayah dan taufiq Allah. Wanita tidak banyak menyangkal dengan logika akalnya yang dibuat-buat. Begitu mereka merasakan ketenangan jiwa dengan qalbunya ketika mendengar sesuatu, dengan mudah mereka menerima dan mengimaninya. Bayangkan (ini pengalaman saya betulan) dengan laki-laki yang cenderung bertanya ini itu dan menyangkal kebenaran yang datang padanya. Alasan lain untuk keutamaan wanita, tentu saja adalah karena rahmat Allah (manifestasi Jamaliyah-Nya) mendahului murka-Nya (manifestasi Jalaliyah-Nya), demikian menurut suatu hadits Qudsi. Dan seluruh makhluq-pun berenang dalam rahmat-Nya, melalui kekasih-Nya, habibullah, sayyidina Muhammad (SAW). Hingga tak heran Rasul-pun dekat dengan kaum wanita, menjunjung hak-hak mereka, mencintai mereka karena Tuhannya pun mencintai kaum wanita, sebagaimana tersurat pada hadits yang disebut sebelum ini.
Seandainya, kaum wanita memahami potensi dirinya, dalam waktu yang jauh lebih singkat daripada kaum pria, ia pun akan dapat mencapai pencerahan dan ma’rifatullah (gnosis). Kaum pria harus menaklukkan egonya (kelemahan utama pria: egois) berupa kesombongan (manifestasi Al-Jabbar) dan pengandalannya pada kekuatan akal dan fisiknya.
*****
Sungguh, tak akan habis jika kita mesti berbicara dan menulis tentang hakikat rahasia wanita dan kehormatannya. Seperti saya katakan pada seorang teman, yang alhamdulillah turut menginspirasi saya menulis tulisan ini, wanita adalah salah satu dari palung-palung terdalam dari samudera rahasia Allah. Dan apa yang kita bahas di sini, hanya bagaikan mencoba untuk menyelam ke dalam samudera itu dengan snorkel sederhana, atau malah cuma sekedar mereguk setetes dari samudera itu.
Dan saya telah mencoba menulis apa yang sebenarnya di luar jangkauan kemampuan saya. Telah kering pena komputer saya. Telah habis inspirasi terbatas saya akan wanita, sosok yang hingga kini pun masih merupakan misteri terbesar buat saya. Mudah-mudahan Allah SWT mengampuni saya, dan membuat kita semua mengerti sebagian dari rahasia ilmu dan hikmah-Nya atas penciptaan wanita. Amin.
Catatan:
[1] berdasar suatu Hadits di Musannaf ‘Abd Razzaq, ketika sahabat Jabir r.a. bertanya pada Nabi tentang apa yang pertama kali diciptakan Allah, dan Nabi SAW menjawab, “Cahaya Nabimu, wahai Jabir”. Lihat pula QS. 5:15, menurut jumhur ahli tafsir cahaya di ayat itu adalah Nabi Muhammad sall-Allahu ‘alaihi wasallam. Untuk keterangan lebih lanjut silakan baca artikel “Konsep Nur Muhammad dalam Al Quran”.
[2] ruh adalah termasuk ‘amri’ (perintah) Tuhan, lihat QS. 17:85. Di sini, jangan diartikan bahwa makhluq (dalam hal ini manusia) memiliki ‘Dzat’ Ilahiah. Tidak. Subhanallah. Allah adalah Tuhan, dan manusia adalah hamba. Esensi Ruh yang ditanamkan Allah pada manusia adalah tajalli (manifestasi) dari Atribut atau Nama Allah, dan bukan Dzat-Nya. Dan karena ’sesuatu’ dari Allah ini pula, Ia memuliakan Anak Adam, QS. 17:70).
[3] Hadits riwayat Imam Ahmad
PRIA TAKLUK OLEH WANITA
oleh Mawlana Jalaluddin ar-Rumi
Dengan cara inilah sang wanita memohon dengan rayuannya yang halus,
Ketika air matanya meleleh membasahi pipinya.
Bagaimana mungkin ketegaran dan kekuatan sang pria masih tersisa
jika tanpa air mata pun, sang wanita telah menarik hatinya?
Hujan itu membawa pula sekilat halilintar
yang menyalakan sepercik api dalam kalbu sang pria miskin itu.
Karena sang pria adalah budak wajah manis sang wanita,
bagaimanakah keadaannya ketika sang wanita merendah untuk memohon dengan penghambaan?
Ketika sang wanita yang nafasnya menggempakan hatimu,
Ketika ia menangis, bagaimanakah lalu perasaanmu?
Ketika ia yang kerlingannya membuat hatimu berdarah
turun merendah untuk memohon, bagaimana menurutmu?
Dia yang menundukkan diri kita dengan kebanggaan dan kekerasannya,
tuntutan apakah yang tertinggal bagi kita saat ia telah mulai memohon
Ketika ia yang tidak biasa berdagang melainkan dengan tumpahan darah,
akhirnya menyerah, ah! Betapa banyak keuntungan ia peroleh!
Tuhan telah menghiasi mereka “indah pada pandangan manusia;”*
Dari dia, yang Tuhan sendiri telah menghiasinya, dapatkah pria berlari?
Karena Dia telah ciptakan laki-laki “untuk tinggal bersama wanita,”
Bagaimana Adam mampu memisahkan dirinya dari Hawa?
Sekalipun seandainya ia adalah Rustum, anak Zal, dan lebih berani dari Hamzah,
ia tetap menyerah pada perintah istrinya.
Dan ia yang dengan khutbahnya telah menakjubkan dunia
adalah ia yang mengucap dua kata, “Yaa Humaira!”**
Sekalipun air dapat menang atas api dengan kekuatannya,
air pun mendidih oleh api saat ia berada dalam kendi.
Saat kendi menjadi pemisah antara keduanya,
Udara (keinginan) pun menjadikan aksi sang air nihil.
Terlihat, dirimu adalah pemimpin dari istrimu, bagai air;
Hakikatnya, dirimulah yang dipimpin olehnya dan memohon padanya.
Itulah keanehan lelaki,
Ia tak mampu menahan keinginan hewani-nya; itulah kelemahannya.
Nabi bersabda bahwa wanita memegang kuasa
atas orang bijak dan atas pria berhati lembut,
Namun orang-orang yang bodoh, lagi-lagi, mengambil keuntungan atas wanita,
Karena orang-orang bodoh adalah kejam dan keras kepala.
Mereka tak miliki kelembutan, kebaikan atau persahabatan,
karena sifat hewani telah mengombang-ambingkan emosi mereka.
Cinta dan kelembutan adalah sifat-sifat kemanusiaan,
Nafsu dan keinginan adalah sifat-sifat hewani.
Wanita adalah secercah cahaya Ilahiah, bukan sekedar seorang permaisuri,
Seakan-akan, Diri dari Sang Pencipta; dan bukan sekedar ciptaan!
Matsnawi I:IX
Catatan
*QS.3:14
**Sayyidina Muhammad (SAW) mengucapkan kedua kata ini bagi istrinya, ‘Aisyah r.a. Panggilan ini bermakna “Wahai yang pipinya kemerah-merahan”
Sumber : http://www.muslimdelft.nl/kolom/nyanyian-hati/makhluk-halus-itu-bernama-wanita-edisi-revisi
Bismillaahir Rahmanir Rahiim
Berurusan dengan makhluk halus, lelembut, atau dedemit mungkin bukan hal yang sama sekali baru buat saya. He he, ini bukan berarti saya dukun professional, lho. Ya, bisa dibilang sekedar pernah ada sedikit pengalaman dengan golongan mereka seperti jin, genderuwo, atau penunggu rumah. Dan alhamdulillaah, saya masih selamat. Maklum, saya cuma berurusan dengan kelas awam dari golongan mereka.
Namun, ada satu jenis makhlus halus dan lembut yang bahkan hingga saat ini pun saya kewalahan mencoba memahaminya. Bahkan, ketika saya berusaha menulis topik ini, butuh waktu satu hingga dua malam lebih untuk merenungkan dan meriset hakikat dari makhluk Allah yang halus nan lembut ini.
Ya, makhluk halus nan lembut itu bernama wanita. Mohon maaf jika sebagai ilustrasi awal tulisan ini, saya mengenang masa lalu saya dengan makhlus halus beneran (alias jin). Tentu saja makhluk halus yang bernama wanita ini, masih segolongan dengan kita, manusia. Sekalipun demikian, satu hal yang sama yang mungkin dapat saya tarik dari pengalaman saya berinteraksi dengan kedua jenis makhluk halus ini: ketidaktahuan akan karakter dan sifat mereka seringkali membuat gesekan atau konflik antara kita dengan mereka. Khususnya ini saya hadapi sebagai seorang laki-laki ketika mesti berinteraksi dan bergaul dengan makhlus halus jenis kedua, wanita.
Ibu kita, Sayyidah Hawa’ ‘alaihassalam, adalah wanita pertama yang Allah SWT ciptakan. Allah SWT ciptakan wanita pertama dari manusia pertama, ayah kita, Sayyidina Adam ‘alaihissalam. Dalam hakikatnya, Adam bukanlah manusia pertama. Benar, Memang Adam a.s. -lah manusia pertama yang diciptakan dengan fisik yang Allah SWT bentuk dari tanah liat dengan kasih-Nya. Tapi, hakikat manusia yang sejati adalah apa yang berada dalam dirinya, Ruh. Dan ruh pertama yang Allah SWT ciptakan (bahkan ciptaan pertama) adalah ruh Nabi kita, Sayyidina Muhammad sall-Allahu ‘alaihi wasallam, atau disebut pula Nur Muhammad [1]
Dan untuk apakah Allah SWT ciptakan makhluq, yang Ia awali dengan penciptaan Cahaya Muhammad (SAW)? Dalam suatu hadits Qudsi, Ia SWT berfirman, “Kuntu kanzan makhfiyyan, fa-ahbabtu an u’raf, fakhalaqtu al-khalq” “Aku adalah suatu ‘Harta’ tersembunyi, dan Aku ingin untuk dikenali, maka Ku-ciptakan makhluq”. Artinya, Allah SWT menciptakan makhluq karena kecintaan-Nya pada Diri-Nya, dan Ia SWT memanifestasikan kecintaan-Nya pada Diri-Nya tersebut dengan menciptakan makhluq agar mereka belajar mengenali-Nya, mencintai-Nya, mengabdi dan menyembah-Nya dengan cinta, yang pada hakikatnya adalah cinta-Nya pada mereka, dan pada hakikatnya lagi adalah kecintaan-Nya pada Diri-Nya sendiri.
Karena itulah, setiap makhluq, dari level terkecil hingga terbesar dan tersempurna (manusia) tak lain dan tak bukan adalah manifestasi atribut dan nama suci-Nya. Khususnya pada manusia, lebih-lebih Ia berikan cinta tertinggi-Nya dengan mengaruniakan sesuatu dari Diri-Nya sendiri, seperti dapat kita simak dari ayat di QS. 15:29, “Fa-idzaa sawwaituhuu wa nafakhtu fiihi min ruuhii wa qo-’uu lahuu saajidiin”, “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya (bentuk fisiknya), dan telah meniup kan kedalamnya ruh-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud”. Kita tidak bermaksud membahas lebih dalam maksud “ruh-Ku” di sini [2]. Yang jelas, Ia ciptakan manusia dan memberikan kehormatan bagi manusia dengan ’sesuatu’ dari-Nya. Dan Ia lakukan ini dengan cinta dan kasih-Nya, dengan Rahman dan Rahiim-Nya. Adalah wajar, jika kemudian Quran dimulai dengan Bismillaahir Rahmanir Rahiim; kemudian dilanjutkan dengan pujian Allah bagi diri-Nya oleh diri-Nya (Alhamdulillahi Rabbil ‘Aalamiin); dan kemudian dilanjutkan lagi dengan menyebut sifat Pemurah dan Penyayang-Nya (Ar-Rahman Ar-Rahiim). Dan sang Manusia Pertama yang merepresentasi seluruh ciptaan, Ruh Muhammad (SAW), adalah Penerima dari Kasih Sayang Ilahiah itu. Inilah maksud dari ayat QS. 21:107 “Wa maa arsalnaaka illaa rahmatan lil-’aalaamiin” “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. Sayyidina Muhammad (SAW) adalah Marhuum (yang menerima rahmat itu), dan sekaligus menjadi mediator Rahmat bagi seluruh alam, karena Allah SWT menciptakan manusia (bahkan makhluq) lain dari ruh beliau. Seluruh makhluq berenang dalam samudera Cinta Allah lewat Rahmatan lil-’alamin sayyidina Muhammad SAW.
Fiuuuh. Bingung? Istirahat dulu. Tarik nafas sambil senyum! :-)
Mengapa saya harus menceritakan sedikit panjang lebar sejarah penciptaan makhluq oleh Allah SWT ini? Apa kaitannya dengan hakikat wanita?
Karena, seperti juga Allah SWT menciptakan manusia dan memberikan ’sesuatu’ dari Diri-Nya bagi manusia sebagai ‘token’ atau bukti atau tanda cinta-Nya, tanda kehormatan dari-Nya, Ia SWT ciptakan pula Hawa’ dari suatu bagian tubuh Adam ‘alaihissalam, yaitu tulang rusuk Adam. Lebih dari itu, tidak hanya secara fisik, tapi juga secara ruh, Ia ciptakan ruh Hawa’ alaihissalam dari ruh Adam ‘alaihissalam. Artinya, dalam alam ruh, mula-mula ruh Adam dan ruh Hawa’ adalah satu, dan kemudian Ia SWT pisahkan kedua ruh tersebut, dan Ia tiupkan pada dua jasad yang berbeda. Inilah salah satu makna QS 39:6, “Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan daripadanya isterinya”.
Dan kerinduan seorang wanita pada pria pasangan hidupnya, tak lain tak bukan adalah kerinduan suatu bagian yang terpisah, untuk kembali pada asalnya, pada ‘rumah’nya, ruh sang pria. Sebaliknya, kerinduan sang pria pada wanita adalah kerinduan ‘keseluruhan’ pada ’sesuatu’ yang hilang dari dirinya.
Dan kerinduan-kerinduan di atas, pada hakikatnya, mensimbolisasi kerinduan manusia pada Pencipta-Nya, dan kerinduan Pencipta pada manusia ciptaan-Nya. Manusia rindu pada sang Pencipta-Nya, karena ada ’sesuatu’ dalam dirinya (ruh) yang berasal dari-Nya. Sang Pencipta rindu dan cinta pada manusia karena ada ‘bagian’ diri-Nya (atribut yang termanifestasikan dalam ruh) yang Ia ‘implant’-kan pada manusia.
Di sini kita mendapati suatu cinta segitiga antara Allah SWT dengan pria dengan wanita.
Karena itu, kita dapati Nabi sall-Allahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, “Aku dijadikan mencintai tiga hal dari duniamu, wanita, parfum, dan penyejuk mataku di salat”[3]. Kalau kita melihat redaksi aslinya, Nabi (SAW) bersabda, “Hubbiba ilayya”, “Dibuat bagiku untuk mencintai…”; dan bukannya “aku mencintai…”. Artinya kecintaan Nabi SAW adalah sesuatu yang berasal dari kecintaan Allah SWT pada wanita. Dan dalam redaksi Arabnya pun dipakai kata “an-Nisaa’“, “wanita-wanita” (dalam bentuk plural), bukan “imra-ah” “seorang wanita”. Nabi Muhammad Sall-Allahu ‘alaihi wasallam sebagai manusia pertama (alam ruh) merepresentasi keseluruhan ciptaan, sebagai wakil (khalifah) Allah. Kecintaannya pada wanita, merepresentasi kecintaan ‘keseluruhan’ pada ‘bagian’, yang pada hakikatnya merepresentasi kecintaan Allah SWT pada hamba-hamba-Nya.
Seperti kemanusiaan diciptakan untuk Allah SWT, wanita diciptakan Allah SWT bagi pria. Cinta dan kerinduan antara pria dan wanita, pada hakikatnya adalah bagian dan simbol cinta serta kerinduan antara Allah SWT dan manusia. Saat seorang laki-laki mencintai seorang wanita, ia mestilah melihat wanita sebagai manifestasi dari cinta Ilahiah yang suci, dan melihat rahasia alam semesta terbuka dalam wanita, tidak sekedar sebagai pemuas nafsu badani. Karena itu, saat masa ‘penyatuan’, ketika laki-laki maupun wanita kehilangan keseluruhan kesadaran dirinya, Tuhan tidak menghendaki mereka kehilangan kesadaran akan-Nya oleh kesenangan ‘penyatuan’ tersebut dengan melupakan hakikat cinta yang suci. Karena itulah, diwajibkan setelah proses itu, untuk melakukan mandi janabat.
Seandainya saat ‘penyatuan’, sang lelaki dapat melihat ‘tanda’ Tuhannya dalam diri kekasihnya, maka ia telah mendapat suatu karunia mencerap cinta suci Ilahi itu. Atau, setidaknya ia mesti melihat tanda Tuhannya pada dirinya sendiri yang terefleksikan pada diri sang kekasih (karena ruhnya berasal dari dirinya).
*******
Dan karena pria maupun wanita tadinya berasal dari ruh yang satu yang terpisah dan masuk dalam jasad berbeda, mereka merepresentasikan Atribut Allah SWT yang berbeda namun saling melengkapi. Pria merepresentasikan setetes dari Samudera Jalaliyah Allah, Keagungan Allah SWT. Artinya, pada pria biasa tersimpan sifat dan nama-nama seperti Yang Kuat (Al-Qowiyyu), Yang Perkasa (Al-’Aziiz), dan lain-lain. Sedangkan wanita merepresentasikan setetes dari Samudera Jamaliyah Allah, Keindahan Allah SWT. Wanita dikaruniai sarana dan prasaran untuk merepresentasi atribut dan nama Allah seperti ar-Rahiim, Yang Penyayang, Al-Baathin, Yang Tersembunyi, dan lain-lain. Baik fisik maupun jiwa wanita merepresentasikan atribut-atribut dan nama-nama Ilahi ini. Itu pun, wanita hanyalah manifestasi setetes dari samudera Jamaliyah Allah. Andaikata Ia SWT berikan dua tetes samudera Jamaliyah-Nya pada wanita; niscaya tak ada lagi lelaki yang mau keluar dari rumahnya untuk bekerja dan beraktivitas, mereka puas dengan hanya memandang keindahan dan kecantikan sang wanita pendampingnya.
Itu pulalah yang mungkin membuat wanita, mungkin nampak, kurang mengandalkan akal pikirnya, dan lebih mengandalkan emosi qalbunya. Pada hakikatnya, sebenarnya baik pria maupun wanita dikaruniai oleh-Nya perlengkapan akal, dan qalbu yang sama. Hanya mungkin, karena pria memanifestasikan sifat Jalaliyah-Nya, seperti Al-Hasiib (Yang Menghitung), nampak lebih banyak berpikir dan berhitung dengan rasio akalnya. Ini bukan berarti wanita pun tak dapat memiliki kualitas yang sama! Sebaliknya, wanita cenderung pemurah, penyayang dan penyantun, mudah tersentuh oleh penderitaan orang lain, karena ia berada dalam tarbiyah nama Allah ar-Rahiim (Yang Penyayang, yang termanifestasikan antara lain berupa organ keibuan rahim), al-Haliim (Yang Penyantun), dan lain-lain yang serupa. Walau ini tidak berarti pria-pun tak dapat mencapai kualitas kelembutan akhlaq yang serupa.
Dan alih-alih menjadi kekurangan, karakteristik wanita yang dekat dengan Rahman Rahim Allah ini, justru menjadikannya lebih mudah mendekat ke Hadirat Ilahiah, daripada pria. Pada zaman Nabi, misalnya, di antara kalangan yang mula-mula banyak menerima Islam adalah kaum wanita. Pengalaman saya berinteraksi dengan wanita dari berbagai negara (sebagai teman…) menunjukkan kehalusan qalbu mereka yang memudahkan mereka untuk menerima hidayah dan taufiq Allah. Wanita tidak banyak menyangkal dengan logika akalnya yang dibuat-buat. Begitu mereka merasakan ketenangan jiwa dengan qalbunya ketika mendengar sesuatu, dengan mudah mereka menerima dan mengimaninya. Bayangkan (ini pengalaman saya betulan) dengan laki-laki yang cenderung bertanya ini itu dan menyangkal kebenaran yang datang padanya. Alasan lain untuk keutamaan wanita, tentu saja adalah karena rahmat Allah (manifestasi Jamaliyah-Nya) mendahului murka-Nya (manifestasi Jalaliyah-Nya), demikian menurut suatu hadits Qudsi. Dan seluruh makhluq-pun berenang dalam rahmat-Nya, melalui kekasih-Nya, habibullah, sayyidina Muhammad (SAW). Hingga tak heran Rasul-pun dekat dengan kaum wanita, menjunjung hak-hak mereka, mencintai mereka karena Tuhannya pun mencintai kaum wanita, sebagaimana tersurat pada hadits yang disebut sebelum ini.
Seandainya, kaum wanita memahami potensi dirinya, dalam waktu yang jauh lebih singkat daripada kaum pria, ia pun akan dapat mencapai pencerahan dan ma’rifatullah (gnosis). Kaum pria harus menaklukkan egonya (kelemahan utama pria: egois) berupa kesombongan (manifestasi Al-Jabbar) dan pengandalannya pada kekuatan akal dan fisiknya.
*****
Sungguh, tak akan habis jika kita mesti berbicara dan menulis tentang hakikat rahasia wanita dan kehormatannya. Seperti saya katakan pada seorang teman, yang alhamdulillah turut menginspirasi saya menulis tulisan ini, wanita adalah salah satu dari palung-palung terdalam dari samudera rahasia Allah. Dan apa yang kita bahas di sini, hanya bagaikan mencoba untuk menyelam ke dalam samudera itu dengan snorkel sederhana, atau malah cuma sekedar mereguk setetes dari samudera itu.
Dan saya telah mencoba menulis apa yang sebenarnya di luar jangkauan kemampuan saya. Telah kering pena komputer saya. Telah habis inspirasi terbatas saya akan wanita, sosok yang hingga kini pun masih merupakan misteri terbesar buat saya. Mudah-mudahan Allah SWT mengampuni saya, dan membuat kita semua mengerti sebagian dari rahasia ilmu dan hikmah-Nya atas penciptaan wanita. Amin.
Catatan:
[1] berdasar suatu Hadits di Musannaf ‘Abd Razzaq, ketika sahabat Jabir r.a. bertanya pada Nabi tentang apa yang pertama kali diciptakan Allah, dan Nabi SAW menjawab, “Cahaya Nabimu, wahai Jabir”. Lihat pula QS. 5:15, menurut jumhur ahli tafsir cahaya di ayat itu adalah Nabi Muhammad sall-Allahu ‘alaihi wasallam. Untuk keterangan lebih lanjut silakan baca artikel “Konsep Nur Muhammad dalam Al Quran”.
[2] ruh adalah termasuk ‘amri’ (perintah) Tuhan, lihat QS. 17:85. Di sini, jangan diartikan bahwa makhluq (dalam hal ini manusia) memiliki ‘Dzat’ Ilahiah. Tidak. Subhanallah. Allah adalah Tuhan, dan manusia adalah hamba. Esensi Ruh yang ditanamkan Allah pada manusia adalah tajalli (manifestasi) dari Atribut atau Nama Allah, dan bukan Dzat-Nya. Dan karena ’sesuatu’ dari Allah ini pula, Ia memuliakan Anak Adam, QS. 17:70).
[3] Hadits riwayat Imam Ahmad
PRIA TAKLUK OLEH WANITA
oleh Mawlana Jalaluddin ar-Rumi
Dengan cara inilah sang wanita memohon dengan rayuannya yang halus,
Ketika air matanya meleleh membasahi pipinya.
Bagaimana mungkin ketegaran dan kekuatan sang pria masih tersisa
jika tanpa air mata pun, sang wanita telah menarik hatinya?
Hujan itu membawa pula sekilat halilintar
yang menyalakan sepercik api dalam kalbu sang pria miskin itu.
Karena sang pria adalah budak wajah manis sang wanita,
bagaimanakah keadaannya ketika sang wanita merendah untuk memohon dengan penghambaan?
Ketika sang wanita yang nafasnya menggempakan hatimu,
Ketika ia menangis, bagaimanakah lalu perasaanmu?
Ketika ia yang kerlingannya membuat hatimu berdarah
turun merendah untuk memohon, bagaimana menurutmu?
Dia yang menundukkan diri kita dengan kebanggaan dan kekerasannya,
tuntutan apakah yang tertinggal bagi kita saat ia telah mulai memohon
Ketika ia yang tidak biasa berdagang melainkan dengan tumpahan darah,
akhirnya menyerah, ah! Betapa banyak keuntungan ia peroleh!
Tuhan telah menghiasi mereka “indah pada pandangan manusia;”*
Dari dia, yang Tuhan sendiri telah menghiasinya, dapatkah pria berlari?
Karena Dia telah ciptakan laki-laki “untuk tinggal bersama wanita,”
Bagaimana Adam mampu memisahkan dirinya dari Hawa?
Sekalipun seandainya ia adalah Rustum, anak Zal, dan lebih berani dari Hamzah,
ia tetap menyerah pada perintah istrinya.
Dan ia yang dengan khutbahnya telah menakjubkan dunia
adalah ia yang mengucap dua kata, “Yaa Humaira!”**
Sekalipun air dapat menang atas api dengan kekuatannya,
air pun mendidih oleh api saat ia berada dalam kendi.
Saat kendi menjadi pemisah antara keduanya,
Udara (keinginan) pun menjadikan aksi sang air nihil.
Terlihat, dirimu adalah pemimpin dari istrimu, bagai air;
Hakikatnya, dirimulah yang dipimpin olehnya dan memohon padanya.
Itulah keanehan lelaki,
Ia tak mampu menahan keinginan hewani-nya; itulah kelemahannya.
Nabi bersabda bahwa wanita memegang kuasa
atas orang bijak dan atas pria berhati lembut,
Namun orang-orang yang bodoh, lagi-lagi, mengambil keuntungan atas wanita,
Karena orang-orang bodoh adalah kejam dan keras kepala.
Mereka tak miliki kelembutan, kebaikan atau persahabatan,
karena sifat hewani telah mengombang-ambingkan emosi mereka.
Cinta dan kelembutan adalah sifat-sifat kemanusiaan,
Nafsu dan keinginan adalah sifat-sifat hewani.
Wanita adalah secercah cahaya Ilahiah, bukan sekedar seorang permaisuri,
Seakan-akan, Diri dari Sang Pencipta; dan bukan sekedar ciptaan!
Matsnawi I:IX
Catatan
*QS.3:14
**Sayyidina Muhammad (SAW) mengucapkan kedua kata ini bagi istrinya, ‘Aisyah r.a. Panggilan ini bermakna “Wahai yang pipinya kemerah-merahan”
Sumber : http://www.muslimdelft.nl/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar