Rabu, 24 Februari 2010

Rahasia Menjadi Seorang Ibu....

Ibu adalah sebuah sekolah, yang apabila engkau persiapkan (dengan baik), berarti engkau telah mempersiapkan suatu bangsa dengan dasar yang baik.

Ungkapan seorang penyair di atas menggambarkan betapa besarnya peran seorang ibu dalam membentuk sebuah generasi yang kelak akan menentukan kualitas suatu bangsa. Ibu adalah sekolah -bahkan sekolahan pertama- bagi anak-anaknya. Ibu bagaikan wadah pendidikan yang mengajarkan dan mendidik berbagai macam ilmu dalam kehidupan anak-anaknya dengan cinta dan kasih sayang. Sebagai pendidik awal, ibulah yang pertama kali meletakkan fondasi dasar -terutama dalam aspek keimanan- kepada anak dalam proses pendewasaan mental dan pematangan jiwa.

Gambaran pentingnya tugas seorang ibu tercakup dalam pernyataan yang diungkapkan oleh Dr. A. Madjid Katme, Presiden Asosiasi Dokter Muslim di London dalam Konferensi Dunia tentang Wanita di Beijing yang ia tuturkan berikut ini:

"Tugas keibuan adalah pekerjaan yang paling terhormat dan membutuhkan ketrampilan di dunia ini. Dan terlaksananya tugas ini sangat penting bagi pemeliharaan dan perlindungan anak terutama di masa awal-awal pertumbuhannya. Walaupun tugas keibuan sebenarnya adalah tugas yang full time, tak berarti ayah sebagai pencari nafkah tak ikut bertanggung jawab. Tak ada satu jenis pekerjaan pun yang dapat merampas seorang ibu dari tugas keibuannya. Dan tak ada seorang pun yang dapat mengambil alih tugas keibuan tersebut."

Bagi seorang muslimah, betapapun beratnya tugas seorang ibu tetapi keimanan dan harapannya akan iming-iming surga memotivasinya untuk rela dan bersungguh-sungguh menjadi seorang ibu. Apalagi Islam memberikan kedudukan dan penghormatan yang tinggi terhadap seorang ibu. Seorang ibu muslimah dapat menjadi salah satu penentu seseorang untuk meraih surga seperti sabda Rasulullah saw., berikut ini"

"Surga itu di bawah telapak kaki ibu."

Untuk membentuk generasi muslim yang tangguh dan bertaqwa, tidaklah cukup hanya dengan menghadirkan anak-anak yang cerdas saja, melainkan anak-anak yang optimal dari berbagai segi seperti biofisik, psikososial, kultural, dan ruhiyah serta melingkupi skala dunia dan akhirat. Maka untuk mencetak generasi dengan kriteria di atas, dibutuhkan para ibu yang handal, oleh karena itu para muslimah yang kelak akan menjadi calon ibu harus mempersiapkan dirinya untuk menjadi ibu harapan umat. Persiapan ini tidak hanya harus dilakukan setelah menikah, tetapi dapat dimulai saat seorang wanita masih lajang agar ketika ia memasuki perannya sebagai ibu, ia sudah siap melaksanakan tugas keibuannya.

Persiapan Ruhiah

Menyadari besarnya tugas seorang ibu, maka seorang wanita harus banyak-banyak melakukan pendekatan kepada Allah SWT untuk memohon kekuatan ruhiah dan petunjuk dalam mendidik titipan Allah swt tersebut.

Oleh karena itu seorang muslimah harus senantiasa mendirikan ibadah-ibadah selain ibadah wajib. Seorang wanita sholihah ialah muslimah yang mengimani bahwa Allah SWT adalah Robbnya, Muhammad saw adalah Nabinya dan Islam adalah diennya. Ia cinta kepada Allah dan Rasul-Nya serta taat terhadap perintah keduanya dan menjadikan ketaatannya itu sebagai filter yang membentengi dirinya dari kemaksiatan.

Seorang ibu yang sholihah amatlah penting karena ibu adalah orang yang paling dekat dengan anak pada masa-masa balita. Inilah kesempatan untuk menanamkan aqidah keislaman dalam diri anak-anaknya dan mereka didik sang permata hati untuk cinta kepada Allah SWT dan Rasul-Nya serta menjauhkan diri dari kemaksiatan dan akhlaq yang rusak. Selain itu ibu yang sholihah diharapkan mampu menciptakan sebuah rumah tangga sakinah yang sangat diperlukan untuk perkembangan jiwa anak.

Dalam persiapan ruhiyah ini banyak hal yang dapat dilakukan sebagai santapan rohani yang bermanfaat seperti:

Dzikrullah dan Tilawatil Qur'an
Dengan dzikrullah, seseorang akan bertambah cinta dan taqwa kepada Allah dan Allah pun ingat kepadanya sesuai firman Allah SWT:

"Maka ingatlah kalian kepada-Ku, niscaya aku akan ingat kepadamu". (QS. Al-Baqarah: 152)

- Menghafalkan Al-Qur'an
- Memperbanyak Istighfar
- Memperbanyak Doa
- Memperbanyak Shalawat kepada Rasulullah saw.
- Qiyamullail
- Memperbanyak ibadah-ibadah sunnah
- Membiasakan hal-hal yang baik.
Jika seorang ingin anaknya rajin bersedekah, maka biasakanlah untuk sering bersedekah karena anak biasanya membutuhkan contoh dari orang tuanya. Jika kita ingin anak kita tidak berdusta, maka janganlah kita contohkan berkata dusta. Jika kita ingin anak kita menghormati kita sebagai orang tuanya, maka hormatilah kedua orang tua kita. Jika kita ingin anak kita tidak berkata dan berbuat kasar, maka berhati-hatilah dalam berbicara karena anak akan merekam dan meniru apa yang diucapkan orang tua atau lingkungannya.


Persiapan Aqliah

"Buat apa anak perempuan sekolah tinggi-tinggi, toh nanti akan ke dapur-dapur juga.." Ungkapan seperti ini sering kita dengar sebagai pernyataan tidak pentingnya kaum wanita menuntut ilmu. Pada sebagai sebuah sekolah bagi anak-anaknya, ibu yang berpendidikan lebih dibutuhkan.

Seorang ibu yang pintar dapat berfikir kreatif bagaimana cara mengembangkan potensi anak-anaknya. Setidaknya seorang ibu yang mencintai pendidikan akan selalu mementingkan pendidikan yang terbaik untuk anak-anaknya.

Untuk menjadi seorang ibu yang pintar tidak harus selalu mendapatkan pengetahuan dari bangku sekolah atau kuliah. Cara yang paling efektif dalam mengembangkan wawasan seorang wanita ialah dengan banyak membaca. Kini sudah banyak tersedia buku-buku tentang metode pendidikan anak secara islami yang menerangkan apa saja hak-hak anak, mendidik anak sesuai tahap perkembangannya, dan tentang kesalahan cara pendidikan anak dan solusinya. Bahkan kini sudah banyak beredar buku yang membicarakan cara-cara mendidik anak sejak dalam kandungan.

Kita tidak perlu menjadi seorang dokter untuk dapat mengobati atau memberikan pertolongan pertama pada anak kita yang sakit. Kini sudah banyak buku-buku yang menerangkan tentang makanan apa saja yang bermanfaat bagi perkembangan tubuh dan otak anak, obat-obatan tradisional, cara menangani pertolongan pertama pada anak, dan lain-lain. Selain membaca, banyak sarana lain yang dapat dimanfaatkan untuk menambah wawasan dan meningkatkan pengetahuan seperti mengikuti berbagai seminar, ceramah, atau diskusi yang membahas tentang pendidikan anak.

Persiapan Jasmaniah

Kekuatan fisik merupakan hal yang patut diperhatikan oleh seorang calon ibu. Seorang wanita membutuhkan ketahanan fisik untuk menghadapi masa-masa kehamilan dan menyusui. Bagaimana calon ibu dapat mempertahankan kesehatan janin bila ia sudah direpotkan dengan berbagai penyakit karena akibat tidak bisa menjaga kesehatan.

Masa kehamilan adalah masa-masa yang membutuhkan kesehatan fisik wanita secara prima. Allah SWT menggambarkan kelemahan seorang ibu ketika masa kehamilan dalam ayat berikut ini:

"Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu." (QS. Luqman: 14)

Untuk itu seorang muslimah diharuskan menjaga kesehatannya sedini mungkin. Berikut ini ada beberapa kiat sehat ala Rasulullah saw:

Selalu bangun sebelum Shubuh
Selain untuk mendapatkan kesegaran udara, bangun sebelum shubuh juga memberikan hikmah berupa berlimpahnya pahala dari Allah dan untuk memperkuat pikiran dan menyehatkan perasaan.
- Aktif Menjaga Kebersihan
- Tidak Makan Banyak
- Gemar Berjalan Kaki
- Tidak Pemarah
- Optimis dan Tidak Putus Asa
- Tak Pernah Iri Hati
Demikianlah persiapan-persiapan dasar yang harus dilakukan seorang wanita sebagai calon ibu pencetak generasi qur'ani yang akan membangun suatu bangsa. Mudah-mudahan kita semakin siap memikul tugas keibuan yang berat tapi mulia ini sehingga kita menjadi ibu yang didambakan oleh umat. Amin

Sumber Bacaan:
Bukan Sembarang Ibu, Muhammad Hassan, Bina Mitra Press 1997
Peran Ibu dalam Mendidik Generasi Muslim, Khairiyah Husain Taha Shabir, MA., CV. Firdaus, 2001
Pembersih Jiwa, Imam al-Ghazali, Imam Ibnu Rajab al-Hambali, Ibnu Qoyyim al-Jauziyah. Penerjemah: Nabhani Idris. Pustaka, 1996


Waktu Untuk Bermanja

Karya : Ummu Akna

Tulisan ini pernah dimuat di majalah Safina No 4/Th I/Juni 2003/1424 H

Setiap aku pulang kantor, si kecilku, Akna, punya cara tersendiri untuk menarik perhatianku agar, paling tidak, segera menyapanya terlebih dulu sebelum aku melakukan hal-hal lain. Misalnya ia akan menatapku dengan tatapan lucu khas seorang bayi atau ia akan buru-buru berlari menghampiriku sambil mulut mungilnya berkata dengan gaya lucu, ?Buuu?bubu??. Tentu saja aku jadi tak tega untuk melewatkannya sejenak, bahkan untuk lebih dulu menyapa mamaku yang menjaganya setiap aku ke kantor.

Bahkan bayi tujuh belas bulanku itu tampaknya sudah mengerti sekali kalau aku hanya punya ?waktu terbatas? untuknya. Setiap pagi sebelum aku berangkat atau saat aku sedang libur, ia akan dengan maksimal menggunakannya untuk menarik perhatianku dengan kemanjaan dan gaya bayinya yang lucu dan menggemaskan. Tak jarang, bila ia sedang kelewat manja dan nyaris tak mau ditinggal sedikitpun meski hanya untuk sekedar mencuci piring di dapur (maklumlah kami tak punya pembantu), ia akan menangis menjerit-jerit hanya untuk ?urusan sepele? seperti itu. Tentu saja ini cukup menjengkelkan bagiku yang kadang menjadi sedikit marah padanya.

Tapi segera aku beristighfar manakala aku melihat wajahnya yang polos dan sikap pemaafnya. Terkadang ia balas marah padaku, tapi lebih sering ia ?memaafkanku? dengan gayanya yang sangat bayi pula. Biasanya ia akan menatapku lekat dan mengusapkan tangan-tangan mungilnya di wajahku lalu mengeluarkan kekeh lucunya, ?Hehe?hehe?? atau sapaan khasnya, ?Ngg?giiingg?? atau bahkan ia seakan minta maaf dengan lucu, ?Mbuuu?aaapp?appp,? Siapa yang tega untuk terus bete padanya? Maka jadilah aku minta maaf padanya dan memeluknya erat-erat. Bahkan malamnya pun, jika tidur, Akna sering sekali memeluk tangaku erat-erat.

Anak kita memiliki pertalian jiwa dan darah dengan kita. Maka ia adalah bagian dari hidup kita. Ia butuh senantiasa dekat dengan kita, bahkan hingga saat ia dewasa kelak. Ia butuh menyatukan hati dan perasaannya dengan kita. Itulah sebabnya ia meminta sedikit saja waktu dari kita untuk tempatnya bermanja.

Bagi kita yang terbiasa sibuk dan bekerja sepanjang minggu, mungkin sering menggunakan ungkapan ?apologia?, yang penting kualitas dan bukan kuantitas. Atau kita lebih percaya dengan pola asuh ?remote parenting?. Akupun tadinya demikian. Tetapi sikap Akna yang pemaaf justru mengajarkanku sesuatu.

Bahwa kualitas nyaris tak bisa diwujudkan jika kuantitas yang ada pun tidak termanfaatkan secara optimal. Mana ada kualitas jika kita pulang ke rumah dalam keadaan capek dan masih harus mengerjakan sederet tugas rumah tangga lain, seperti memasak untuk makan malam, cuci piring, bebenah, dan hingga tetek bengek lain, yang membuat si kecil menjadi prioritas nomor sekian setelah tugas-tugas tersebut? Bahwa remote parenting nyaris tak berbunyi apapun kecuali jika sebelumnya antara anak dan ibu telah terjalin ikatan yang cukup erat dalam rentang waktu yang bisa mereka lalui berdua. Dan, bahwa si kecil selalu bersangka baik pada setiap jenak kesibukan ibundanya tercinta, bahkan meskipun kesibukan itu membuatnya ?dekat di mata tapi jauh di hati? dengan sang ibunda. Si kecil yang polos itu tak bisa mendendam meski untuk sebuah haknya yang paling asasi yang telah terampas secara tidak sengaja oleh kesibukan ibu memasak, misalnya.

Bukan berarti kita hanya harus melewatkan waktu bersama si kecil sementara yang lain terabaikan, tapi mungkin, cara pemanfaatannya yang harus dialokasikan sedemikian rupa sehingga tidak ada satupun yang terbengkalai. Masalahnya jika ini berkaitan dengan hak anak yang terampas, bukan mustahil suatu saat di masa depan ia akan tumbuh menjadi pribadi yang ?tidak paripurna? kematangannya. Atau bisa jadi ia akan melampiaskan ?dendam masa kecilnya? kepada anaknya kelak secara berlebihan. Anak kita adalah sebuah wajah bersih tentang masa depan sebuah kualitas makro. Maka kitapun sangat punya andil mahapenting untuk turut mengisi kepribadiannya.

Saya jadi ingat tulisan Darmanto Jatman dalam bukunya ?Terima Kasih Indonesia? yang disusun bersama dengan Adriani S Soemantri. Ia berkata dalam salah satu tulisannya di buku tersebut, pendidikan anak kita laksana sebuah mosaik. Kita hanya merekatkan sepotong, nanti lingkungan yang akan membantu merekatkan yang lainnya pula hingga jadi sebuah mosaik yang indah.

Dan saya rasa meletakkan potongan-potongan mosaik ini perlu dilakukan secermat dan sehati-hati mungkin, karena begitu banyak unsur yang terkait di dalamnya. Demikian pula, kitalah yang akan sangat menentukan, potongan mosaik yang mana lagikah yang cocok bagi jiwa anak kita agar sempurna ia menjadi sebuah lukisan mosaik yang elok.

Maka waktu untuk anak kita bermanja adalah juga saat yang tepat untuk merekatkan potongan mosaik itu agar kelak menjadilah ia generasi Robbani yang cerdas, shalih, berdaya guna, sehat, dan matang. Saya rasa, betapa menyesalnya saya atas waktu-waktu yang telah terlalui begitu saja dengan amarah saya untuk si kecil Akna. Maafkan mbubu ya, nak, yang tak mengerti bahwa sebenarnya kamu sedang meminta pada mbubu, ?Mbubu, maukah mbu sedikit saja menolongku untuk merekatkan sepotong saja mosaik dalam hidupku. Agar kelak aku benar-benar bisa membanggakan bagi bubu dan ayah??

Maafkan mbubu, cintaku?.

Sumber : www.eramuslim.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar