Senin, 01 Maret 2010

MODEL KEPEMIMPINAN RASULULLAH SAW

NABI dalam kesadaran umat Islam merupakan teladan dalam segenap hal (uswah hasanah). Dalam kata-kata Iqbal, “Cinta kepada Nabi mengalir bak darah di dalam urat-urat umatnya” atau dalam lukisan Rumi, “Inilah sahabatku, inilah dokterku, inilah guruku, inilah obatku” (hadza habibi, hadza thabibi, hadza adibi, hadza dawa’i).

Sejarah mengajarkan bahwa model kepemimpinan Nabi betul-betul telah mampu mengubah raut sejarah dari yang semula primitif (jahiliah) menjadi beradab dalam waktu yang relatif singkat selama 23 tahun. Yahdi minaz zulumati ilan nur. Keberhasilan mengagumkan yang tempo hari membuat seorang orientalis Hart dalam bukunya yang mengangkat seratus tokoh yang telah mengubah dunia dia tidak ragu lagi menempatkan Muhammad dalam urutan pertama.

Model kepemimpinan yang dikembangkan Nabi intinya tidak lain dilandaskan pada moralitas yang kokoh. Nabi sebagai seorang pemimpin umat dan masyarakat benar-benar mencitrakan dirinya sebagai sosok yang memiliki akhlak mulia yang layak diteladani dalam segenap hal. Malah moralitas ini pula yang menjadi tema dan daya tarik “kampanye” dari risalah yang disosialisasikan sepanjang karir kenabiannya sehingga mampu menyedot masyarakat untuk menjadi pengikut setianya tanpa diiming-iming materi, menjadi jemaahnya dengan kerelaan berkorban yang luar biasa. “Aku diutus tidak lain untuk menyempurnakan akhlak,” jelas Nabi.

Moralitas atau akhlak kepemimpinan seperti apa yang dikembangkan Nabi ini? Minimal kita dapat mencatat ENAM HAL penting akhlak yang melekat dalam kepemimpinan Nabi :

Pertama, beliau adalah sosok yang mampu meresapkan rasa keadilan yang merata kepada semua pihak tanpa kecuali.

Keadilan di tangan Nabi tidak pernah dikorbankan atas nama apa pun seperti terpantul dari ajaran-Nya, “Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuat kamu tidak berlaku adil” (Q.S. 5:8). Nabi sadar betul bahwa keadilan merupakan jendela guna mewujudkan masyarakat yang sejahtera. Dalam bahasa Alquran, keadilan merupakan alat untuk merengkuh takwa (Q.S. 5:8) dan takwa merupakan prasyarat terbukanya rezeki dari langit (Q.S. 7:96).

Tercantum dalam sebuah riwayat, suatu hari di Madinah terjadi skandal ekonomi yang melibatkan seorang wanita dari elite lingkaran kekuasaan (al-mar’ah al-syarifah), kemudian para sahabat berkumpul dan hasilnya diutuslah salah seorang dari mereka untuk menemui Nabi dan meminta keringanan hukuman bagi perempuan ini.

Apa jawaban Nabi? Dengan tegas Nabi mengatakan, “Camkan, sesungguhnya yang telah menghancurkan bangsa Yahudi dulu adalah karena hukum telah bersikap pandang bulu. Ingat! Seandainya Fatimah anak saya sendiri yang korupsi, maka saya sendiri yang akan memotong tangannya!” Pemimpin yang adil kelak, kata Nabi, adalah “salah seorang dari tujuh kelompok yang akan dilindungi di alam mahsyar.”

Kedua, Nabi benar-benar memimpin dengan sentuhan rasa cinta, empati dan simpatik yang tiada tara yang dipersembahkan kepada seluruh umatnya.

Begitu cintanya Nabi kepada rakyatnya sampai-sampai kata-kata yang keluar dari mulutnya ketika hendak mengembuskan nafasnya pun adalah simpul dari kecintaannya, “ummati… ummati… ummati” (bagaimana nasib umatku kelak…). Bahkan lebih dari itu kecintaan juga beliau alokasikan untuk binatang dan alam sebagaimana tergambar dari kebijakannya yang membuat kawasan hima (cagar alam) di Madinah dan tanah haram di seputar Mekah di mana di tanah ini siapa pun tidak diperkenankan membunuh binatang bahkan mencabut sehelai rumput. Sebuah gambaran akan kesadaran ekologis yang sangat mengagumkan.

Ketiga, Nabi adalah pemimpin yang selalu berkata benar (shidiq).

Beliau sangat paham bahwa kata-kata itu bukan hanya akan membawa pengaruh bagi lingkungan tapi juga dapat membawa akibat kelak di akhirat. Beliau senantiasa berpedoman kepada prinsip, “Apabila tidak bisa berkata benar dan jujur maka lebih baik diam”.

Keempat, beliau adalah pemimpin yang selalu menjunjung tinggi amanah.

Beliau tidak pernah berjanji kecuali janji itu ditepati. Al-amin atau orang yang terpercaya jauh-jauh hari merupakan atribut yang melekat dalam dirinya. Sikap amanah yang diakui bukan hanya oleh sahabat-sahabatnya sendiri bahkan oleh mereka yang berbeda keyakinan sekali pun. Karena amanahnya setiap keputusan yang diambil selalu memuaskan semua pihak.

Kelima, Nabi adalah pemimpin yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata (fathanah).

Kata-kata yang keluar dari mulutnya dan kebajikan yang diambilnya menjadi bukti ihwal kecerdasan Nabi. Ketika Nabi berbicara walaupun sebentar, misalnya, maka kata-katanya itu benar-benar menyimpan makna yang mendalam. Berbeda dengan kebiasaan kita, kata-katanya panjang tapi miskin makna.

Keenam, Nabi selalu bersikap transparan (tabligh).

Dia sampaikan setiap kebenaran dan diluruskannya segala hal yang dianggap keliru. Di tangannya tidak ada kebenaran yang disembunyikan. Lebih dari itu, dalam menyampaikan kebenarannya pun, Nabi melakukannya dengan cara-cara yang bijaksana (al-hikmah) tutur kata yang santun (al-mauidzhah al-hasanah) diiringi alasan dan logika yang kokoh (al-mujadalah).

Itulah beberapa model nilai-nilai kepemimpinan yang dikembangkan Nabi saw. sebagai modal dasar dalam melakukan perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Nilai-nilai seperti itulah sebenarnya yang seharusnya menjadi pertimbangan utama ketika kita memilih pemimpin. Sebab bagaimana pun juga setiap kepemimpinan dan termasuk orang yang mengangkatnya sebagai pemimpin semua akan dimintai pertanggungjawabannya (kullukum ra’in wa kukullukum mas’ulun ‘an raiyyatih). Sekali kita mengkhianati amanah kepemimpinan, maka sebenarnya kita telah melakukan pengkhianatan kepada Rasul bahkan kepada Allah (Q.S. 8: 27-28).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar