Kita semua mengenal cinta, tapi seperti apa cinta itu? Seorang pujangga mengatakan: bila ditanyakan kepada sepuluh orang tentang cinta, maka kamu akan mendapatkan sepuluh definisi tentang cinta. Pujangga memiliki definisi tentang cinta, ilmuwan memiliki segudang definisi cinta, ulama tak ketinggalan berusaha merumuskan definisi cinta.
Lantas, apa sih cinta itu? Cinta adalah sebuah perasaan yang ingin membagi bersama atau sebuah perasaan kasih sayang terhadap seseorang. Pendapat lainnya, cinta adalah sebuah aksi/kegiatan aktif yang dilakukan manusia terhadap objek lain, berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, memberikan kasih sayang, membantu, menuruti perkataan, mengikuti, patuh, dan mau melakukan apapun yang diinginkan objek tersebut.
Kalau begitu siapa sih yang memiliki cinta? Tentu, cinta tidak bisa tumbuh pada makhluk yang tidak memiliki perasaan. Bagaimana mungkin dia merasakan cinta, lha wong dia sendiri tidak memiliki rasa. Jadi, cinta adalah monopoli makhluk yang memiliki perasaan, dan tentu ini termasuk sang pemilik cinta itu sendiri yaitu Allah, salah satu dari Asmaul husna adalah al Wadud yang berarti Maha Mencintai. (QS 11:90 dan 85:14)
Bagaimana dengan anak-anak? Adakah cinta dalam diri mereka sebagaimana dirasakan oleh orang-orang dewasa? Menurut Erich Fromm dalam buku larisnya (the art of loving) menyatakan bahwa ke empat gejala: Care, Responsibility, Respect, Knowledge (Kepedulian, Tanggung Jawab, Menghargai, Pengetahuan), muncul semua secara seimbang dalam pribadi yang mencintai. Jadi, dalam diri anak-anak masih belum berperan apa yang disebut dengan cinta, karena anak-anak tidak menghimpun ke-empat unsur itu secara komprehensif.
Demikian juga orang tua, omong kosong jika seseorang mengatakan mencintai anak tetapi tak pernah mengasuh dan tak ada tanggungjawab pada si anak. Sementara tanggungjawab dan pengasuhan tanpa rasa hormat sesungguhnya & tanpa rasa ingin mengenal lebih dalam akan menjerumuskan para orang tua, guru, rohaniwan dll pada sikap otoriter
Nah, berarti cinta hanya tumbuh dalam diri makhluk yang memiliki perasaan, memiliki kepedulian terhadap suatu objek, memiliki rasa tanggung jawab, mampu menghargai apa dan siapa yang dicintainya serta memiliki pengetahuan tentang perasaan yg ia rasakan. Berarti cinta hanya tumbuh bila ada interaksi antara yang dicintai dengan yang mencintai, adanya pertemuan baik secara fisik maupun secara pengetahuan.
Kita tidak bisa dikatakan mencintai seseorang bila kita tidak pernah bertemu atau tidak pernah tahu tentang seseorang tersebut.
Lalu, apakah kita membutuhkan cinta? Kenapa sih kita harus mencintai orang lain?
Ibnu Qayyim menuturkan dalam kitab al-Jawâb al-Kâfî li Man Sa'ala ‘an ad-Dawâ' asy-Syâfî (Jawaban Konkrit Bagi Mereka yang Menanyakan Obat Manjur): “Kasih sayang adalah penyebab hati dan ruh menjadi hidup terpelihara. Hati tidak akan merasa tenteram, nikmat, beruntung, dan merasa hidup bila tanpa cinta. Seandainya hati tanpa cinta, sakitnya lebih terasa daripada mata terasa sakit ketika tidak bisa lagi melihat cahaya, telinga ketika tidak bisa lagi mendengar, hidung ketika tidak bisa lagi mencium, lisan ketika tidak mampu lagi berbicara. Bahkan, hati pun bisa menjadi rusak apabila hampa dari kasih sayang yang sudah merupakan fitrah dalam jiwa manusia. Ia adalah sebuah karunia yang diberikan Sang Pencipta. Oleh karena itu, rusaknya lebih parah daripada kerusakan tubuh manusia yang diisi dengan ruh, dan ini tidak mungkin bisa dikatagorikan menjadi sesuatu yang pasti kecuali orang yang memiliki jiwa yang selalu hidup.”
Bagaimana sih cinta itu? Ibnu Qayyim berkata dalam kitab ad-Dâ' wa ad-Dawâ' (Penyakit dan Obat):
“Mencintai wanita itu terbagi tiga, yaitu: Bagian pertama dan kedua adalah “pendekatan” dan “ketaatan”. Yang termasuk kategori ini dapat dimisalkan seperti mencintai seorang istri. Bentuk cinta semacam ini sangat bermanfaat karena bagaimanapun ia merupakan salah satu syariat yang diperintahkan oleh Allah ta’ala dalam melaksanakan pernikahan. Karena, pernikahan dapat menghindarkan pandangan mata dan hati dari perbuatan semu yang dilarang Islam. Maka dari itulah Allah ta’ala, Rasul-Nya Muhammad saw., dan seluruh manusia menjunjung tinggi martabat pecinta semacam ini.
Sedangkan bagian ketiga adalah “cinta mubah” (cinta yang dibolehkan), seperti cinta seorang laki-laki ketika disebutkan kepadanya sosok seorang wanita jelita, atau ketika seorang laki-laki melihat wanita secara kebetulan lalu hatinya terpaut kepada wanita tersebut, dengan catatan tidak ada unsur maksiat dalam jatuh cinta itu. Cinta semacam ini pelakunya tidak dibebani dosa dan siksa, namun lebih baik menghindar dan menyibukkan diri dengan suatu pekerjaan yang lebih bermanfaat lagi positif serta wajib baginya merahasiakan hal itu. Apabila menjaga dan sabar terhadap suatu hal yang berbau negatif, niscaya Allah ta’ala akan memberikan ganjaran pahala kepadanya dan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik.”
“Cinta yang terpuji adalah cinta yang memberikan manfaat kepada orang yang merasakan cinta itu untuk kebahagiaan dunia dan akhiratnya. Cinta inilah yang menjadi asas kebahagiaan. Sedangkan cinta bencana adalah cinta yang membahayakan pelakunya di dunia maupun akhirat dan membawanya ke pintu kenistaan serta menjadikannya asas penderitaan dalam jiwanya.”
“Cinta membangkitkan jiwa dan menata prilaku. Mengungkapkannya adalah suatu kewajaran dan memendamnya menjadi beban.” Lalu, beliau berkata: “Mereka berucap: ‘Kita tidak memungkiri kerusakan cinta jika terbumbui oleh perbuatan tercela kepada sesama makhluk. Yang kita dambakan adalah cinta suci dari seorang laki-laki idaman yang selalu komitmen kepada agama, kehormatan, dan akhlak. Jangan sempat cinta itu menjadi jurang pemisah antara menusia dengan Khaliq-nya dan menyebabkan antara pecinta dengan yang dicintainya jatuh ke dalam perbuatan nista
Allah berfirman: Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS 3:31)
Mengikuti Rasulullah dalam hal-hal yg bersifat wajib baru mengantarkan seseorang memasuki gerbang cinta sejati kepada Allah, inilah anak tangga pertama dalam menapaki tangga cinta menuju keridhaan Allah, anak tangga yang terakhir adalah sebagaimana dinyatakan dalam hadits riwayat Imam Bukhari:
“Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata: telah bersabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya Allah telah berfirman: Barangsiapa yang memusuhi Waliku maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang kepadanya, dan tidaklah seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya jadilah aku sebagai pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, dan sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, dan sebagai tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Dan jika ia meminta (sesuatu) kepadaKu pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan dariKu pasti Aku akan melindunginya”.
Maha Suci Allah, dari membiarkan cinta seorang hamba bertepuk sebelah tangan ketika ia mencintai NabiNya.
Akhirnya, cinta manusia kepad Allah adalah suatu kualitas yang mengejawantah pada diri seorang yg beriman sehingga menghasilkan ketaatan kepadaNya, penghormatan dan pengagungan, dan dengan demikian dia mementingkanNya dari selainNya. Dia menjadi tidak sabar dan resah untuk tidak memandang dan memenuhi kehendakNya, dia tidak bisa tenang bersama yang lain kecuali bila bersama-Nya, dia tidak menyebut yang lain kecuali mengingat-Nya pula, dan puncak kenikmatan yang dikecupnya adalah ketika menyebut-nyebut (berzikir) sambil memandang keindahan dan kebesaranNya.
Al Qusyairi melantunkan sebuah syair tentang mahabbah: Anda durhaka padaNya lalu cintaNya anda akui? Sungguh ini sesuatu yang aneh, demi usiaku. Jika anda benar mencintaiNya, pastilah anda patuh. Karena yang cinta terhadap yang dicintai patuh selalu.
Wallahu a’lam
Griya Bandung Indah, Bandung 02 Mei 2010 14:24 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar