Kamis, 06 Mei 2010

DISINI HUJAN DERAS SEKALI ( Menembus Batas Hikmah The Series)

DISINI HUJAN DERAS SEKALI ( MENEMBUS BATAS HIKMAH THE SERIES)

Abdillah Abdi Putra

Mendung menggantung di langit. Pekat sekali. Matahari disembunyikan awan hitam yang berarak. Padahal baru sekitar lima belas menit lalu ia bersinar garang.
Petir mulai saling silang. Angin dingin menggoda ranting. Sesekali terdengar derit nya. Tak lama hujan mengguyur, deras, semakin deras dan akhirnya deras sekali. Air itu seolah tumpah ruah dari langit. Hujan memukul habis tanah berdebu kota Medan.

Dalam kejab koridor pertokoan sudah berubah jadi pelabuhan pejalan kaki dan pengendara motor. Termasuk aku.

Aku menegadah sejenak. Kulihat langit mulai panik. Awan-awan kegelapan mencengkram bumi Medan dan belahan bumi Allah lainnya. Air semakin tumpah ruah bersamaan dengan deru angin yang kencang berhembus. Aku memeluk tubuh. Dingin sekali sebab sebagian pakaianku basah terciprat serpihan air hujan.

Semua diam. Menatap sejurus pada hujan. Langkah-langkah tergesa orang –orang yang baru turun dari angkot disambut gegap gempita oleh anak-anak pengojek payung.

“Payung bu!”
‘Payung pak!”

Tawaran ini langsung disambut para pengguna jasa. Semua takut kena hujan. Mereka bergegas meneduh di koridor pertokoan.
Para pengojek payung itu rata-rata anak-anak putus sekolah. Mereka bertarung dengan nasib di bawah hujan yang mengguyur. Meski kuyup, meraka tetap mengais rezeki. Menurutku, meraka siap mencuri start dan peluang demi mempertahankan hidup. Dan lagi- lagi aku menemukan pemandangan ganjil dimataku. Mungkin tidak buat orang lain.

Seorang bocah dengan baju yang begitu kuyup diam memayungi seorang wanita paruh baya. Anehnya, disaat para teman-temanya sibuk menawarkan jasa ia malah diam tak peduli. Bahkan ketika ada seorang ibu yang memerlukan payung dan memanggilnya. Ia tak bergeming. Hanya menggeleng saja. Heran! Bocah itu begitu setia memayungi wanita tua disampingnya. Mungkin wanita itu ibunya, begitulah pikiranku.

Tak lama,setengah jam berlalu. Hujan berhenti. Mataku tak lepas dari anak itu. Aku melangkah pelan. Menyebrangi jalan. Rinai gerimis masih deras. Kubiarkan bulirannya membasah kepalaku. Tak ayal , aku penasaran. Kudekati anak dan wanita yang duduk di persimpangan jalan itu.

“ini ibumu?”tanyaku.
Ia menggeleng. Lalu berlari meninggalkanku dan wanita tua itu. Lalu, kualihkan pandanganku kearah wanita tua disampingku. Astaghfirullah, saat itu aku tahu, wanita paruh baya itu ternyata tak mempunyai kedua kaki. Lalu rasa iba itu mengalir, kurogoh kantung kuberikan beberapa lembar ribuan.

Masih di persimpangan jalan. Aku tercenung sendirian. Ya Allah, betapa aku merasakan sesuatu yang luar biasa hari ini, aku seperti menemukan segepok berlian di jalanan. Meski anak itu tak berkata apa-apa. Tapi dari matanya aku bisa membaca. Betapa ketulusan itu masih ada, betapa semangat pengorbanan itu belum habis tergerogoti keterbatasan. Aku ingin menangis. Tapi kupikir ini bukan kisah untuk ditangisi. Aku semakin bangga , selama ini dengan mata kepalaku sendiri aku melihat kebaikan berserakan, justru ditampilkan oleh orang-orang sederhana. Jika kalian pernah membaca note – note saya yang saya namakan “MENEMBUS BATAS HIKMAH THE SERIES” disana banyak saya temukan orang- orang biasa berjiwa luar biasa; tentang Rahman dalam 'generasi itsar', tentang anak kecil penjual kue, tentang bocah yang sering hilir mudik di depan rumah dalam 'anak kecil penjual sayuran', dan beberap kisah lainnya yang saya coba ikat maknanya dalam tulisan. Mereka semua telah menginspirasi saya. Orang –orang sederhana, berjiwa luar biasa, berhati cahaya dan mampu menembus batas kehidupan yang menghalangi meraka.

Medan, saat hujan mengguyur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar