Selasa, 25 Mei 2010

JUJUR TAPI SUSAH IKHLAS ?

oleh: KH. BACHTIAR AHMAD

Dalam cacatan saya yg berjudul “Kedudukan JUJUR dan IKHLAS” sebenarnya sudah jelas pemasalahannya sebagaimana analogi yang diberikan oleh guru saya dan ucapan Syaikhul Islam Junaidi Al-Baghdadi rhmlh yang menyatakan:

“Orang yang jujur sudah barang tentu ikhlas pada seluruh perbuatannya. Sebaliknya orang yang ikhlas dalam satu perbuatan, belum tentu jujur dalam perbuatannya yang lain.”

Jadi ketika ada yang mengatakan “Saya bisa jujur, tapi susah untuk ikhlas”, maka sebenarnya dia belum 100% jujur. Dan juga tidak akan sampai pada tingkatan ikhlas yang sebenarnya, sebagaimana ucapan Imam Al-Ghazali rhmlh yang pernah saya muat sebagai status FB dan juga yang melatar belakangi ditulisnya catatan saya yang berjudul “Kedudukan JUJUR dan IKHLAS”. Mengapa demikian ?

(Kata Imam Al-Ghazali: “Engkau tidak akan sampai pada tingkatan ikhlas yang sebenarnya, jika engkau tidak memiliki kejujuran. Sebab kejujuran adalah pokok dari semua perbuatan dan ikhlas adalah salah satu cabangnya; sedangkan hakikat kejujuran yang sebenarnya adalah; Bahwa engkau merasa malu kepada Allah, baik diwaktu sendiri maupun dihadapan orang banyak.”)

Sebenarnya kalau mau memahaminya dengan sungguh-sungguh; maka kejujuran adalah kunci untuk menjadi ikhlas dalam keseluruhan perbuatan yang kita lakukan. Baik yang menyangkut ibadah mahdah (hablum-minallah); maupun ibadah dlm bentuk muamalah (hablum-minannaas)

Al-Ghazali mengatakan: “Hakikat kejujuran yang sebenarnya adalah; Bahwa engkau merasa malu kepada Allah, baik diwaktu sendiri maupun dihadapan orang banyak.”

Persoalannya adalah; bahwa kita masih banyak yang tidak tahu atau tidak mau tahu sama sekali dan mengakui; Bahwa apapun yang ada sama kita, bahkan termasuk diri kita sendiri adalah “kepunyaan” Allah SWT sebagaimana yang tersirat dalam firman-NYA:

“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.” (qs. Al-Baqarah 255/Ayat Kursiy)

Jadi jika kita mau benar-benar memahami dan meyakini, bahwa apa yang ada pada kita (bahkan diri kita) adalah milik Allah; maka sudah seyogianyalah kita siap mengembalikannya kepada “sang pemilik”’ Baik diminta atau tidak diminta; baik dengan dipaksa ataupun dengan sukarela.

Untuk keadaan ini guru saya Syaikh Yusron Al-Bantany memberi contoh pada sebuah riwayat “junjungan alam” Muhammad Rasulullah SAW; Bahwa tatkala beliau sedang berjalan-jalan di pasar, datang seseorang (perempuan) menarik selendang yang beliau pakai; memintanya dengan paksa. Lalu sambil tersenyum Rasulullah SAW memberikan selndang tersebut seraya memberi nasehat kpd si perempuan, agar jika menginginkan sesuatu, hendaklah memintanya dengan baik-baik.
Menurut Syaikh Yusron: Apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW tsb adalah didasari oleh kesadaran yg tinggi, bahwa sebenarnya selendang itu adalah “titipan Allah” kepada beliau yang suatu saat harus beliau kembalikan kepada Allah dengan cara dan sebab-sebab tertentu.

Nah, seandainya hal itu terjadi pada kita; Bagaimanakah sikap kita ? Mungkin saja kita akan mencak-mencak atau menampar si perempuan tersebut, lantaran ia menghendaki sesuatu yang kita miliki; apalagi jika benda tersebut adalah “sesuatu” yang sangat kita sayangi. Padahal boleh jadi “sesuatu” itu kita dapatkan dengan cara yang tidak halal pula.

Oleh sebab itu; agar kita bisa jujur; bisa ikhlas dan sekaligus menjadi orang yang sabar; maka pengetahuan tentang “kepemilikan” dari yang menjadi milik kita saat ini harus benar-benar diyakini sepenuhnya. Jangan hanya sekadar berucap “Inna lillahi wa inna ilahi roji’un” tatkala ditimpa musibah.

Mudah-mudahan dengan upaya yang kita lakukan; Allah akan menolong kita untuk menjadi salah seorang hamba-Nya yang termasuk dalam kelompok “SHIDDIQIN; MUKHLISIN DAN SHOBIRIIN” yang menjadi prasyarat utama untuk sampai ke tingkat “MUTTAQIIN” yang sebenar-benarnya.

Sebab sebagai hamba-NYA yang “dho’if”, saya juga masih terus belajar untuk mendapatkan semua impian tersebut.

W a l l a h u a’ l a m.

Bagansiapiapi, 11 Jumadil Akhir 1431 H / 25 Mei 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar