Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian telah berjual beli dengan sistem riba, berlaku zalim, sibuk dengan dunia serta meninggalkan jihad, maka niscaya Allah akan menimpakan kehinaan kepada kalian. Kehinaan itu tidak akan hilang, hingga kalian kembali kepada ajaran agama kalian.” (HR. Abu Dawud dengan sanad hasan)
Hadits di atas merupakan penegasan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa kehinaan dan keterbelakangan akan menimpa umat ini tatkala jauh dari tuntunan agama, baik dari segi ilmu dan pengamalannya, serta sibuk dengan dunia. Tengoklah keadaan umat saat ini! Bukankah kehinaan itu telah ditimpakan kepada kita? Bahkan kehinaan itu telah menimpa kita semenjak kurun waktu yang lama.
Betapa banyak kaum muslimin yang ‘terjajah’ oleh kaum kafir, dari segi lahiriah dan batiniah. Betapa banyak dari kaum muslimin yang menghinakan dirinya dengan ‘melatahkan diri‘ kepada orang-orang kafir karena menganggap hal itu sebagai kemajuan, dan sebaliknya mereka beranggapan bahwa berpegang teguh kepada Islam adalah suatu keterbelakangan dan kemunduran, bahkan sebagian lagi menyerukan jargon untuk menanggalkan Islam sebagai sebuah solusi untuk menggapai kemajuan karena di dalam benak mereka berpegang teguh kepada tali Islam adalah ‘penyebab’ yang memasung potensi umat ini sehingga tidak mampu melejit ke depan. Namun selayaknya sebagai seorang muslim, cukuplah bagi kita apa yang telah diserukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tercinta dalam hadits di atas, bahwa segala kehinaan tersebut disebabkan karena jauhnya kita dari tuntunan agama.
Kembali Kepada Agama Adalah Kuncinya
Saudaraku, dalam hadits di atas, selain menyebutkan penyebab kehinaan yang akan menimpa umat ini, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menerangkan kewajiban umat Islam untuk kembali kepada agamanya sebagai sebuah solusi yang harus ditempuh umat ini agar dapat membebaskan dirinya dari belenggu kehinaan dan keterbelakangan. Suatu solusi yang pasti dan tidak bisa ditawar-tawar lagi, sebuah solusi yang menjadi asas perbaikan umat sebelum melakukan yang lainnya dan menjadi fondasi bagi proses-proses perbaikan yang lain. Mewujudkan kekuatan fisik adalah perkara yang pasti, namun sebelum semua itu dilakukan, wajib untuk kembali secara benar kepada agama, sebagaimana yang dijalani oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, baik dalam aqidah, ibadah, tingkah laku dan dalam segala perkara yang terkait dengan syariat.
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik” (QS. An Nur [24] : 55).
Allah ta’ala menjelaskan bahwa keimanan dan amal saleh merupakan sebab yang akan menghantarkan umat ini menuju kesuksesan di muka bumi dan salah satu realisasi keimanan dalam ayat tersebut adalah dengan memurnikan penyembahan hanya kepada Allah semata, sekaligus hal tersebut merupakan syarat yang harus diwujudkan untuk membuktikan bahwa umat ini telah kembali kepada agamanya secara benar.
Pentingnya Pemurnian Ajaran Islam
Setelah kita mengetahui bahwasanya kembali kepada agama merupakan kunci kemenangan yang dapat mengikis habis kehinaan dan keterbelakangan yang menimpa umat ini, tentulah diri kita bertanya-tanya, bagaimanakah memulainya?
Jawabnya adalah dengan merenungi kembali hadits yang telah disebutkan di muka. Kita mengetahui, bahwasanya Islam yang benar adalah yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dipraktekkan oleh para sahabatnya. Oleh karenanya segala bentuk ajaran, pemikiran, peribadatan dan tingkah laku yang menyusup masuk ke dalam Islam dan tidak pernah dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula didengungkan dan diamalkan oleh para sahabatnya, maka hal tersebut bukanlah bagian dari Islam walaupun orang ‘melabelinya’ dengan label islami.
Jika kita memalingkan pandangan pada kondisi umat saat ini, maka kita akan melihat asingnya mereka dari ajaran Islam yang benar. Sebagian besar dari mereka meyakini dan mengamalkan Islam sebagaimana yang diajarkan oleh nenek moyang mereka, padahal tidak sedikit ajaran-ajaran tersebut bertentangan dengan syariat Islam. Hal ini pun diperparah dengan adanya usaha penyusupan yang dilakukan oleh orang-orang kafir untuk menebarkan segala bentuk kesesatan di tengah kaum muslimin, baik dalam bentuk pemikiran, keyakinan, maupun tingkah laku. Sehingga tersebarlah berbagai bentuk kesesatan-kesesatan yang secara lahiriah dianggap ‘islami’ padahal hakekatnya hal tersebut sama sekali bukanlah ajaran Islam.
Maka tahulah kita, bahwa sesungguhnya tersebarnya kesesatan aqidah, bid’ah-bid’ah ibadah dan perselisihan di dalam agama, menjadikan kaum muslimin lepas dari agama dan jauh dari dua fondasinya yang asasi (yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah), dan itulah yang menanggalkan kaum muslimin dari keistimewaan-keistimewaan agama dan akhlaqnya sampai kepada apa yang telah kita lihat sekarang.
Oleh karenanya, langkah pertama yang harus ditempuh setiap individu muslim adalah dengan berusaha menghiasi dirinya dengan ajaran Islam yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dipraktekkan oleh para sahabatnya, dan hal ini memerlukan adanya upaya memurnikan Islam dari berbagai penyimpangan di segala bidang yang meliputi aqidah, berhukum, sunnah, fiqih, tafsir, tazkiyatun nafs, pemikiran, sejarah, dakwah, muamalah dan bahasa Arab sehingga umat mengetahui mana islam yang hak (benar) dan mana yang bukan. Hal tersebut merupakan sebuah tuntutan, karena dalam bidang-bidang tersebut telah terjadi penyusupan yang mengakibatkan kerancuan dan penyimpangan, sehingga gerakan pemurnian Islam mutlak diperlukan sebagaimana diisyaratkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau, “Ilmu ini akan dibawa oleh orang-orang yang adil dari setiap generasi. Mereka akan menolak perubahan yang dilakukan oleh orang-orang yang melampaui batas, serta menolak penyimpangan arti yang dilakukan oleh orang-orang yang bodoh dan kedustaan yang dilakukan oleh pelaku kebatilan.” (HR. Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil dan selainnya dengan sanad hasan). Hadits tersebut mengisyaratkan bahwasanya gerakan pemurnian Islam akan senantiasa dibutuhkan di setiap generasi, untuk menjaga kesucian dan kemurnian syariat Islam di segala bidang serta menolak dan menangkis segala bentuk makar yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam.
Pembinaan Umat di Atas Ajaran Islam yang Murni
Tidak kalah pentingnya, umat memerlukan pembinaan di atas ajaran Islam yang murni dan tentunya hal ini sangat terkait dengan gerakan pemurnian Islam di segala bidang. Tatkala usaha pemurnian itu telah dilakukan, maka akan mudah untuk membina, memperbaiki dan mengembalikan umat kepada Islam yang benar.
Sekedar contoh, dalam bidang tauhid misalnya, seseorang tidak akan dapat terbina dengan baik di atas tauhid yang murni sebelum dirinya melepaskan diri dari noda-noda kesyirikan. Oleh sebab itu, Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Maka barang siapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat, yang tidak akan putus. Dan Allah Maha mendengar lagi Mahamengetahui.” (QS. Al Baqarah [2] : 256).
Demikian pula dalam bidang syariat, seseorang tidak akan terbina dengan baik di atas syariat kecuali jika dia melepaskan diri dari berbagai bid’ah. Oleh karena itu pada setiap khutbah Jumat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa memerintahkan agar selalu menjalankan agama yang benar yang telah digariskan oleh al-Qur’an dan Sunnah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta memperingatkan dari berbagai perkara yang mengaburkan dan mengeruhkan kemurniannya (baca: bid’ah). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sejelek-jelek perkara adalah hal-hal baru yang diada-adakan dalam agama (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” (HR. Muslim).
Oleh karenanya yang diperlukan adalah tarbiyah yang menjadikan al-Qur-an dan sunnah sebagai fondasinya, serta berjalan dengan semangat mengembalikan umat kepada Islam yang dipraktekkan oleh generasi terbaik yang diridhai oleh Rabb mereka. Bukan tarbiyah yang dibangun di atas fanatik golongan dan partai, tidak pula di atas hawa nafsu dan taklid buta, yang kesemuanya itu justru akan melemahkan upaya untuk memurnikan Islam dari segala penyimpangan.
Bersabar! Karena Jalan Masih Panjang
Target akhir dari segala upaya di atas adalah melahirkan individu muslim yang menyokong terciptanya masyarakat muslim yang mengagungkan nilai-nilai Islam yang dituntunkan oleh Rasulullah dan dipraktekkan oleh para sahabatnya, bukan masyarakat muslim yang mengaku cinta kepada Islam, namun malah mengagungkan ajaran yang asing, aneh dan tidak berasal dari Islam serta menolak dakwah untuk kembali kepada Islam yang benar.
Namun yang perlu ditekankan dalam menggapai target tersebut adalah perlunya kesadaran sosial dari setiap muslim untuk melaksanakan upaya-upaya tersebut, baik dari kalangan ulama, penuntut ilmu syar’i dan dunia, penguasa, serta praktisi di berbagai bidang hukum dan muamalah. Selain itu kesabaran menjadi sebuah tuntutan dalam menjalankan segala upaya di atas, mengingat kondisi umat saat ini yang masih jauh dari cerminan ideal sebuah masyarakat islami, hal ini pun ditekankan Allah ta’ala dalam sebuah ayat-Nya dalam surat Al ‘Ashr tatkala mengisyaratkan hamba-Nya untuk senantiasa bersabar dalam kebajikan.
Tidak patut bagi seorang muslim yang mendambakan terwujudnya suatu masyarakat yang mengamalkan Islam yang benar, memiliki anggapan bahwasanya segala upaya di atas mustahil dilakukan dan membutuhkan waktu yang teramat panjang. Bahkan anggapan semacam ini selayaknya dibuang jauh-jauh dari benak seorang muslim, karena akan melemahkan tekad dan memupuskan segala upaya yang akan dikerahkan untuk mengentaskan umat dari kegelapan menuju cahaya. Mungkin perlu kiranya kita menyimak perkataan Ibnul Qayyim berikut, untuk melenyapkan anggapan semacam itu, “Barang siapa menganggap jauh sebuah perjalanan, maka ia akan lemah dalam berjalan menempuhnya.” (Al Fawaaid hal. 90 dinukil dari Sittu Duror).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar