*********************************************************
"Dua nikmat yang sering dilupakan manusia; nikmat sehat dan waktu luang." (HR. Bukhari, Tirmidzi, Ibnu Majah, ad-Darimi, Ahmad, al-Hakim, Baihaqi, Ibnu Abi Syaibah, Thabrani).
Assalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh. Alhamdulillah wash shalatu was salamu 'ala Rasulillah. Amma ba'du;
Akhi.., ukhti…, kaifa halukum? Semoga hidayah, inayah dan maghfiroh Allah senantiasa membersamai langkah kita. Mari sejenak bersyukur terhadap apa pun yang Allah berikan kepada kita, seremeh temeh apa pun nikmat-Nya, menurut kedangkalah akal kita. Karena bisa jadi, nikmat yang melekat pada diri kita tanpa kita syukuri akan dicabut oleh Allah tanpa pernah kembali lagi.
Pada saat itulah kita akan sadar diri. Ternyata, terlampau banyak nikmat yang Allah berikan kepada kita, tanpa kenal henti, setiap hari…., bahkan setiap mili detik yang kita lalui. "Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya." (QS. Ibrahim : 34).
Nikmat mata yang masih bisa kita gunakan untuk melihat dan merenungi ayat-ayat kauniyah Allah. Allah berfirman, "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (Ali Imron : 190-192).
Nikmat kaki yang masih bisa kita langkahkan sekehendak hati. Nikmat telinga yang masih bisa kita gunakan untuk mendengar ayat-ayat Allah. Nikmat hati. Nikmat mulut yang bisa gunakan untuk berbicara dan berdzikir sekehendak hati kita. Nikmat tangan yang bisa kita gerakkan untuk memenuhi hajat kita. "…Dan juga terhadap dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?"
Ya…, mari sejenak meluangkan waktu untuk merenungi salah satu anggota tubuh kita, yaitu tangan. Sebelumnya, coba kita lihat lekat-lekat, amati dalam-dalam tangan kita sendiri. Coba sejenak kita lihat jari-jemari kita. Mampukah kita bisa merasakan bagaimana bila kita hidup tanpa tangan. Pernahkah kita memperhatikan tangan yang selalu bergerak dan menemani aktivitas harian kita ?
Tangan…,
Tangan…,
Ia memiliki banyak jemari yang bisa dipergunakan untuk bergerak ke segala arah; menarik, mencuci, memberi, berjabat tangan, menjahit, membangun, menulis dan lain yang lainnya. Yang jelas, pergerakan tangan kita begitu luwes, tidak kaku.
Allah menjadikan telapak tangan kita lebar yang terdiri dari jari-jemari, di mana ia berbeda panjang dan pendeknya. Jari-jari itu diatur oleh Allah dengan begitu sempurna, berurutan. Seandainya jari-jari itu jadi satu dan bertumpuk-tumpuk, tentu hasilnya tidak sempurna. Lalu, Allah menciptakan kuku-kuku yang dilekatkan pada ujung-ujung jari agar kita semakin kuat dan bisa memanfaatkannya untuk mengambil beberapa benda kecil yang tidak bisa diraih oleh jari-jemari. Subhanallah, segala puji bagi Allah selaku Dzat yang merupakan sebaik-baik Pencipta.
Dan jika sampai detik ini, kita masih bisa menulis dengan tangan, BERSYUKURLAH. JEAN-DOMINIQUE BAUBY, pemimpin redaksi majalah Elle, majalah kebanggaan Prancis yang digandrungi wanita seluruh dunia, harus menulis dengan kedipan kelopak mata kirinya. Ia meninggal tiga hari setelah menyelesaikan bukunya. LUAR BIASA ! Ya Allah, ampuni bila kami kurang mensyukuri….,
Betapa mengagumkan tekad dan semangat hidup maupun kemauan JEAN untuk tetap menulis dan membagikan kisah hidupnya yang begitu luar biasa. Ia meninggal tiga hari setelah bukunya diterbitkan. Setelah tahu apa yang dialami si Jean dalam menempuh hidup ini, pasti Anda akan berpikir, “Berapa pun beratnya problem dan beban hidup kita, hampir tidak ada artinya dibandingkan dengan si Jean!”
Tahun 1995, ia terkena stroke yang menyebabkan seluruh tubuhnya lumpuh. Ia mengalami apa yang disebut locked-in syndrome, kelumpuhan total yang disebutnya “Seperti pikiran di dalam botol.” Memang ia masih dapat berpikir jernih tetapi sama sekali tidak bisa berbicara maupun bergerak. Satu-satunya otot yang masih dapat diperintahnya adalah kelopak mata kirinya. Jadi itulah cara dia berkomunikasi dengan para perawat, dokter rumah sakit, keluarga dan temannya.
Begini cara Jean menulis buku. Mereka (keluarga, perawat, teman-temannya) menunjukkan huruf demi huruf dan si Jean akan berkedip apabila huruf yang ditunjukkan adalah yang dipilihnya. “Subhanallah. Bukan main,” kata Anda.
Ya, itu juga reaksi semua yang membaca kisahnya. Buat kita, kegiatan menulis mungkin sepele dan menjadi hal yang biasa. Namun, kalau kita disuruh “menulis” dengan cara si Jean, barang kali kita harus menangis dulu berhari-hari dan bukan buku yang jadi, tapi mungkin meminta ampun untuk tidak disuruh melakukan apa yang dilakukan Jean dalam pembuatan bukunya.
Tahun 1996 ia meninggal dalam usia 45 tahun setelah menyelesaikan memoarnya yang ditulisnya secara sangat istimewa. Judulnya, “Le Scaphandre” et le Papillon (The Diving Bell and the Butterfly).
Jean adalah contoh orang yang tidak menyerah pada nasib yang digariskan untuknya. Dia tetap hidup dalam kelumpuhan dan tetap berpikir jernih untuk bisa menjadi seseorang yang berguna, walaupun untuk menelan ludah pun, dia tidak mampu, karena seluruh otot dan saraf di tubuhnya lumpuh. Tetapi yang patut kita teladani adalah bagaimana dia menyikapi situasi hidup yang dialaminya dengan baik dan tetap menjadi seorang manusia (bahasa Sansekerta yang berarti pikiran yang terkendali), bahkan bersedia berperan langsung dalam film yang mengisahkan dirinya.
Jean, tetap hidup dengan bahagia dan optimistis, dengan kondisinya yang seperti sosok mayat bernapas. Sedangkan kita yang hidup tanpa punya problem seberat Jean, sering menjadi manusia yang selalu mengeluh..! Coba ingat-ingat apa yang kita lakukan. Ketika mendapat cuaca hujan, biasanya menggerutu. Sebaliknya, mendapat cuaca panas juga menggerutu. Punya anak banyak mengeluh, tidak punya anak juga mengeluh. Carl Jung, pernah menulis demikian: “Bagian yang paling menakutkan dan sekaligus menyulitkan adalah menerima diri sendiri secara utuh, dan hal yang paling sulit dibuka adalah pikiran yang tertutup!”
Semoga kita semakin mensyukuri semua karunia dan nikmat-Nya yang tak terhingga. “Maka terhadap nikmat Rabbmu yang manakah yang kamu dustakan ?”
*********************************************************
Salam ukhuwah dari akhukum fillah, Ibnu Abdul Bari el-Afifi.
"Dua nikmat yang sering dilupakan manusia; nikmat sehat dan waktu luang." (HR. Bukhari, Tirmidzi, Ibnu Majah, ad-Darimi, Ahmad, al-Hakim, Baihaqi, Ibnu Abi Syaibah, Thabrani).
Assalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh. Alhamdulillah wash shalatu was salamu 'ala Rasulillah. Amma ba'du;
Akhi.., ukhti…, kaifa halukum? Semoga hidayah, inayah dan maghfiroh Allah senantiasa membersamai langkah kita. Mari sejenak bersyukur terhadap apa pun yang Allah berikan kepada kita, seremeh temeh apa pun nikmat-Nya, menurut kedangkalah akal kita. Karena bisa jadi, nikmat yang melekat pada diri kita tanpa kita syukuri akan dicabut oleh Allah tanpa pernah kembali lagi.
Pada saat itulah kita akan sadar diri. Ternyata, terlampau banyak nikmat yang Allah berikan kepada kita, tanpa kenal henti, setiap hari…., bahkan setiap mili detik yang kita lalui. "Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya." (QS. Ibrahim : 34).
Nikmat mata yang masih bisa kita gunakan untuk melihat dan merenungi ayat-ayat kauniyah Allah. Allah berfirman, "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (Ali Imron : 190-192).
Nikmat kaki yang masih bisa kita langkahkan sekehendak hati. Nikmat telinga yang masih bisa kita gunakan untuk mendengar ayat-ayat Allah. Nikmat hati. Nikmat mulut yang bisa gunakan untuk berbicara dan berdzikir sekehendak hati kita. Nikmat tangan yang bisa kita gerakkan untuk memenuhi hajat kita. "…Dan juga terhadap dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?"
Ya…, mari sejenak meluangkan waktu untuk merenungi salah satu anggota tubuh kita, yaitu tangan. Sebelumnya, coba kita lihat lekat-lekat, amati dalam-dalam tangan kita sendiri. Coba sejenak kita lihat jari-jemari kita. Mampukah kita bisa merasakan bagaimana bila kita hidup tanpa tangan. Pernahkah kita memperhatikan tangan yang selalu bergerak dan menemani aktivitas harian kita ?
Tangan…,
Tangan…,
Ia memiliki banyak jemari yang bisa dipergunakan untuk bergerak ke segala arah; menarik, mencuci, memberi, berjabat tangan, menjahit, membangun, menulis dan lain yang lainnya. Yang jelas, pergerakan tangan kita begitu luwes, tidak kaku.
Allah menjadikan telapak tangan kita lebar yang terdiri dari jari-jemari, di mana ia berbeda panjang dan pendeknya. Jari-jari itu diatur oleh Allah dengan begitu sempurna, berurutan. Seandainya jari-jari itu jadi satu dan bertumpuk-tumpuk, tentu hasilnya tidak sempurna. Lalu, Allah menciptakan kuku-kuku yang dilekatkan pada ujung-ujung jari agar kita semakin kuat dan bisa memanfaatkannya untuk mengambil beberapa benda kecil yang tidak bisa diraih oleh jari-jemari. Subhanallah, segala puji bagi Allah selaku Dzat yang merupakan sebaik-baik Pencipta.
Dan jika sampai detik ini, kita masih bisa menulis dengan tangan, BERSYUKURLAH. JEAN-DOMINIQUE BAUBY, pemimpin redaksi majalah Elle, majalah kebanggaan Prancis yang digandrungi wanita seluruh dunia, harus menulis dengan kedipan kelopak mata kirinya. Ia meninggal tiga hari setelah menyelesaikan bukunya. LUAR BIASA ! Ya Allah, ampuni bila kami kurang mensyukuri….,
Betapa mengagumkan tekad dan semangat hidup maupun kemauan JEAN untuk tetap menulis dan membagikan kisah hidupnya yang begitu luar biasa. Ia meninggal tiga hari setelah bukunya diterbitkan. Setelah tahu apa yang dialami si Jean dalam menempuh hidup ini, pasti Anda akan berpikir, “Berapa pun beratnya problem dan beban hidup kita, hampir tidak ada artinya dibandingkan dengan si Jean!”
Tahun 1995, ia terkena stroke yang menyebabkan seluruh tubuhnya lumpuh. Ia mengalami apa yang disebut locked-in syndrome, kelumpuhan total yang disebutnya “Seperti pikiran di dalam botol.” Memang ia masih dapat berpikir jernih tetapi sama sekali tidak bisa berbicara maupun bergerak. Satu-satunya otot yang masih dapat diperintahnya adalah kelopak mata kirinya. Jadi itulah cara dia berkomunikasi dengan para perawat, dokter rumah sakit, keluarga dan temannya.
Begini cara Jean menulis buku. Mereka (keluarga, perawat, teman-temannya) menunjukkan huruf demi huruf dan si Jean akan berkedip apabila huruf yang ditunjukkan adalah yang dipilihnya. “Subhanallah. Bukan main,” kata Anda.
Ya, itu juga reaksi semua yang membaca kisahnya. Buat kita, kegiatan menulis mungkin sepele dan menjadi hal yang biasa. Namun, kalau kita disuruh “menulis” dengan cara si Jean, barang kali kita harus menangis dulu berhari-hari dan bukan buku yang jadi, tapi mungkin meminta ampun untuk tidak disuruh melakukan apa yang dilakukan Jean dalam pembuatan bukunya.
Tahun 1996 ia meninggal dalam usia 45 tahun setelah menyelesaikan memoarnya yang ditulisnya secara sangat istimewa. Judulnya, “Le Scaphandre” et le Papillon (The Diving Bell and the Butterfly).
Jean adalah contoh orang yang tidak menyerah pada nasib yang digariskan untuknya. Dia tetap hidup dalam kelumpuhan dan tetap berpikir jernih untuk bisa menjadi seseorang yang berguna, walaupun untuk menelan ludah pun, dia tidak mampu, karena seluruh otot dan saraf di tubuhnya lumpuh. Tetapi yang patut kita teladani adalah bagaimana dia menyikapi situasi hidup yang dialaminya dengan baik dan tetap menjadi seorang manusia (bahasa Sansekerta yang berarti pikiran yang terkendali), bahkan bersedia berperan langsung dalam film yang mengisahkan dirinya.
Jean, tetap hidup dengan bahagia dan optimistis, dengan kondisinya yang seperti sosok mayat bernapas. Sedangkan kita yang hidup tanpa punya problem seberat Jean, sering menjadi manusia yang selalu mengeluh..! Coba ingat-ingat apa yang kita lakukan. Ketika mendapat cuaca hujan, biasanya menggerutu. Sebaliknya, mendapat cuaca panas juga menggerutu. Punya anak banyak mengeluh, tidak punya anak juga mengeluh. Carl Jung, pernah menulis demikian: “Bagian yang paling menakutkan dan sekaligus menyulitkan adalah menerima diri sendiri secara utuh, dan hal yang paling sulit dibuka adalah pikiran yang tertutup!”
Semoga kita semakin mensyukuri semua karunia dan nikmat-Nya yang tak terhingga. “Maka terhadap nikmat Rabbmu yang manakah yang kamu dustakan ?”
**************************
Salam ukhuwah dari akhukum fillah, Ibnu Abdul Bari el-Afifi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar