Minggu, 13 Juni 2010

KISAH ORANG-ORANG BURON DALAM ISLAM [Nabiyyulloh Mûsâ 'Alaihis Salam Keluar Dari Mesir Dalam Keadaan Takut Dan Was-Was (Bag.II)]

Beliau berteduh pada sebuah naungan nyata yang mendinginkan badannya, sekaligus pada naungan yang luas terbentang; yaitu naungan Alloh Yang Mahamulia lagi Mahamemberi anugerah, dengan ruh dan hatinya:
رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ
"Wahai Robbku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku".
Robbku, aku dalam keadaan gerah, aku fakir, aku seorang diri, aku lemah, aku sangat butuh kepada anugerah dan pemberian-Mu.
Dari ungkapan ini, kita bisa mendengar bagaimana bergantungnya hati beliau, bagaimana rasa bersandar beliau kepada perlindungan Dzat Yang memberi keamanan, pelindung yang kokoh, naungan yang sangat teduh. Kita bisa dengarkan bagaimana munâjât yang dekat, bisikan lirih, perasaan yang akrab, hubungan yang dalam:
رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ
"Wahai Robbku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku".
Hampir saja kita larut tenggelam bersama Musa 'alaihis salam dalam satu ekspresi munajat sampai-sampai ungkapan itu segera menunjukkan sebuah pemandangan akan adanya jalan keluar, tersusul dengan ungkapan menggunakan huruf “fâ’” (lalu), seolah langit segera memberi sambutan kepada hati yang tunduk dan terasing. Firman Allah, Al Qashas:25

“Lalu datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan dengan malu, ia berkata:"Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberi balasan terhadapku atas kebaikanmu memberi minum ternak kami".
Duhai, jalan keluar dari Alloh, alangkah dekatnya ia, duhai seruan dia! Itulah solusi berupa panggilan dari seorang tua renta, sebagai bentuk pengkabulan doa dari langit untuk Musa yang fakir. Sebuah panggilan untuk memberi tempat “escape”, untuk sebuah kemuliaan serta balasan atas kebaikan dia. Panggilan yang dibawa oleh salah seorang dari kedua putri yang datang kepadanya sembari berjalan malu-malu, gaya berjalan seorang wanita muda yang suci, bermartabat, menjaga kesucian lagi bersih tatkala ia menemui kaum pria: Dalam keadaan malu.
Tanpa berlebihan, tabarruj (menampakkan perhiasan), tampil wah maupun hal-hal yang dapat mengundang fitnah. Ia datang kepada Musa untuk menyampaikan panggilan dengan kata-kata yang sangat ringkas, paling singkat namun paling jelas, ini dikisahkan Al-Qur’an dengan firman-Nya:

"Sesungguhnya bapakku memanggil kamu untuk memberi balasan kepadamu atas kebaikanmu memberi minum ternak kami".
Dengan rasa malu, namun memberikan keterangan yang jelas, rinci dan gamblang; tidak gagap, membingungkan dan kacau. Ini tentunya juga terilhami oleh fithroh yang bersih, sehat dan lurus. Seorang wanita yang lurus, secara fitroh pasti malu ketika bertemu dan berbincang dengan kaum pria. Namun, karena ia yakin dengan keterpercayaan, kesucian dan keistiqomahan dirinya sendiri, ia tidak goncang. Tidak goncang dengan kegoncangan yang menunjukkan ketamakan, keterpukauan dan emosi yang meluap-luap; ia hanya berbicara secukupnya secara jelas, tak lebih dari itu.
Konteks kisah yang kita baca berhenti sampai pada pemandangan ini, tidak menyisakan tempat selain untuk sebuah panggilan dari seorang wanita muda dan sambutan dari Musa. Kemudian, disusul dengan sebuah pemandangan pertemuan antara Musa dan seorang yang sudah tua, di mana tidak ada nash yang menyebutkan siapa nama orang tua itu sebenarnya. Ada yang mengatakan, dia adalah keponakan Syu’aib, seorang Nabi yang cukup masyhur itu, namanya adalah Yatsrun.

“Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), ia berkata: "Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang dholim itu".
[Al Qashas:25]
Padahal Musa sedang butuh-butuhnya kepada rasa aman, sebagaimana ia juga sedang butuh kepada makanan dan minuman. Namun, hajatnya kepada rasa aman jauh lebih besar ketimbang kebutuhannya kepada bekal jasmani. Di antara hal yang paling mengindikasikan hal itu dari konteks ayat di atas adalah perkataan orang tua yang teduh itu:
لَا تَخَفْ
“Jangan takut.”
Ia menjadikan ini sebagai kata pertama setelah Musa selesai mengisahkan perihal dirinya, hal itu untuk menanamkan rasa tenang dalam hati Musa, agar ia merasa aman. Setelah itu, barulah ia mengatakan dan memberikan argumen mengapa ia mengatakan seperti itu:
نَجَوْتَ مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Kamu telah selamat dari kaum yang dholim itu.”
Mereka tidak punya kuasa atas negeri Madyan, mereka tidak akan dapat menyebarkan gangguan dan marabahaya kepada penduduk negeri tersebut.
Setelah itu, kita mendengar lantunan suara dari pribadi wanita yang lurus dan sehat: Qs. Al Qashash:26

“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata:"Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya".
Ia dan saudara perempuannya merasakan betul payahnya menggembala kambing, yang harus berdesakan dengan kaum pria untuk berebut air dan tekanan batin yang pasti ada pada diri wanita yang menangani pekerjaan kaum pria. Dia merasa tak nyaman dari semua ini, demikian juga saudara perempuannya. Ia ingin menjadi wanita yang diam di dalam rumah, seorang wanita yang menjaga ‘iffah dan yang menutup diri, tidak bercampur dengan para lelaki asing di tempat gembala dan air, menjadi wanita yang suci jiwanya dan bersih hatinya, sehat fithrohnya, tidak merasa nyaman dengan berdesakan dengan kaum pria, juga dengan pengorbanan yang menjadi konsekuensi dari berdesakan.
Inilah dia, seorang pemuda terusir yang dalam waktu bersamaan ia adalah sosok yang kuat lagi terpercaya. Ia melihat sendiri kekuatannya yang membuat para penggembala lain menjadi gentar sehingga membukakan jalan untuknya guna memberikan minum kambing kedua wanita tersebut. Padahal dia orang asing, sedangkan orang asing itu bagaimanapun lemah meski seperkasa apapun dia. Ia juga melihat sikap amanahnya yang membuat dirinya menjaga lisan dan pandangan ketika dirinya menghadap untuk memanggilnya. Maka, ia memberikan saran kepada sang ayah agar mengangkatnya sebagai pekerja menggantikan dirinya dan saudara perempuannya dalam memikul beban pekerjaan, berbaur dengan kaum laki-laki dan kerja keras. Musa itu kuat dalam bekerja, terpercaya dalam urusan harta, sebab orang yang terpercaya dalam menjaga kehormatan, pasti terpercaya dalam urusan lain. Sang putri ini tidak gagap maupun ‘keder’ dalam menyampaikan saran ini. Tidak khawatir akan mendapat persangkaan buruk dan tuduhan. Dia adalah wanita berjiwa suci dan berperasaan bersih. Oleh sebab itu, ia tidak takut apapun, tidak komat-kamit atau berbicara secara tidak jelas, ketika ia menyampaikan sarannya kepada sang ayah.
Untuk membuktikan kekuatan Musa, kita tidak memerlukan berbagai kisah yang diriwayatkan para ahli tafsir, seperti kemampuannya mengangkat batu yang menutup sumur yang mana batu itu ~kata mereka~ tidak bisa diangkat kecuali oleh duapuluh atau empat puluh orang, atau kurang atau lebih dari jumlah itu. Sebenarnya, sumur itu tidak tertutup, yang terjadi sebenarnya adalah para penggembali itu sedang memberi minum kambingnya kemudian Musa menyuruh mereka menyingkir dan iapun memberi minum kambing kedua wanita tersebut, atau kemungkinan lain ia memberi minum kambing mereka berdua berbarengan dengan para penggembala yang lain.
Kita juga untuk membuktika sifat amanah Musa kita tidak memerlukan berbagai kisah yang diriwayatkan para mufassir, seperti perkataan Musa kepada wanita: “Berjalanlah di belakangku dan tunjukkanlah jalan.” Lantaran ia khawatir akan melihat wanita itu. Atau pendapat yang mengatakan bahwa Musa mengatakan hal itu setelah ia terlebih dahulu berjalan di belakang si wanita, kemudian angin menyingkap bajunya sehingga terlihat matakakinya … semua ini adalah sikap memberat-beratkan diri yang tidak perlu serta akan membawa kerancuan yang sebenarnya tidak ada. Sedangkan Nabi Musa 'alaihis salam itu adalah seorang yang menjaga kesucian pandangan dan bersih perasaannya, demikian juga dengan wanita itu. Sedangkan rasa ‘iffah dan amanah itu tidak memerlukan sikap terlalu memaksakan diri seperti ini dikala seorang lelaki berjumpa dengan seorang wanita. Sikap 'iffah akan senantiasa tersirat di dalam perilaku kebiasaan tanpa membebani diri dan dibuat-buat!
Kita lanjutkan, orang tua itu akhirnya menerima saran putrinya itu. Mungkin, ia bisa merasakan adanya rasa saling percaya antara putrinya dan Musa, kecenderungan yang wajar serta sehat, yang cocok untuk pembinaan keluarga. Sedangkan sifat kuat dan amanah itu ketika berkumpul menjadi satu dalam diri seorang lelaki, tak diragukan lagi akan disenangi oleh naluri wanita yang bersih dan belum rusak maupun terkontaminasi atau menyimpang dari fitroh Alloh. Maka sang orang tuapun mengumpulkan antara tujuan dari keduanya masing-masing, dan iapun menawarkan kepada Musa untuk menikahkannya dengan salah satu dari kedua putrinya dengan syarat ia harus membantu dan menggembalakan dombanya selama delapan tahun. Kalau ia masih mau menambah sampai sepuluh tahun, ia mempersilahkan namun tidak mengharuskan hal itu kepadanya. Qs. 28-Alqashas:27

“Berkatalah dia: "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu insya Alloh akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik".
Demikianlah, dengan simpel dan jelas, seseorang menawarkan salah satu putrinya tanpa mengekang, barangkali ~sebagaimana kami sebutkan semula~ Musa merasa bahwa wanita itu terkekang dengan batas tertentu, dan dialah wanita yang terjalin interaksi dan kepercayaan antara hatinya dan hati sang pemuda bernama Musa itu. Ya, orang itu menawarkan putrinya tanpa seperti ada beban atau memelintir kata-kata. Ia menawarkan pernikahan kepadanya tanpa merasa malu. Ia tawarkan proyek pembinaan keluarga dan rumah tangga, sehingga dalam urusan seperti ini ia tidak perlu merasa malu, tidak perlu memberatkan diri, ragu atau memberi isyarat dari kejauhan atau kesan dibuat-buat dan memaksakan diri sebagaimana yang kita saksikan dalam lingkungan yang sudah menyimpang dari fithroh yang lurus, yang tunduk kepada sikap tradisi-tradisi bikinan yang batil lagi tidak berharga, yang mana seorang ayah atau wali menolak maju meminang orang yang baik akhlak dan agamanya serta tanggungjawab untuk putrinya, saudarinya atau kerabat wanitanya; ia mengharuskan calon suami atau walinya atau wakilnya yang maju untuk meminang, atau yang beranggapan bahwa penawaran itu tak layak jika datang dari fihak wanita! Di antara perbedaan yang sangat menonjol dari lingkungan masyarakat seperti ini adalah adanya pemuda dan pemudi yang diizinkan bertemu, saling berbincang, ber ikhthilath, dan satu sama lain saling melihat tanpa ada tujuan yang pasti untuk meminang atau niat menikah. Di saat ditawarkan pinangan, atau diingatkan tentang nikah, maka segera muncul sikap malu yang dibuat-buat dan timbullah alasan-alasan yang ~sekali lagi~ dibuat-buat serta tidak mau singkat kata, terus terang dan menjelaskan apa adanya!

Bersambung ke (Bag. Terakhir)...

--------------------------------
NANTIKAN kelanjutannya..

Ditulis oleh:
Syaikh Abû Jandal Al-Azdî

Tidak ada komentar:

Posting Komentar