Minggu, 06 Juni 2010

Larangan Menahan Baju dan Rambut

Larangan Menahan Baju dan Rambut
[Print View] [kirim ke Teman]

Setelah sebelumnya disinggung sejumlah hal yang berkaitan dengan pakaian dalam shalat, edisi kali ini akan mengupas beberapa larangan saat menunaikan ibadah shalat, di antaranya menahan baju dan rambut.

Larangan Menahan Baju dan Rambut
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhumamengabarkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sabda beliau:
أُمِرْنَا أَنْ نَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظَمٍ وَلاَ نَكُفَّ ثَوْبًا وَلاَ شَعْرًا
“Kita diperintah untuk sujud di atas tujuh tulang dan kita tidak boleh menahan pakaian dan rambut (ketika sedang mengerjakan shalat).” (HR. Al-Bukhari no. 810, 815, 816 dan Muslim no. 1095)
Dalam lafadz yang lain disebutkan:
وَلاَ نَكْفِتَ الثِّيَابَ وَالشَّعْرَ
“Dan kami tidak boleh menggabungkan/menggulung pakaian dan (mengumpulkan) rambut.” (HR. Al-Bukhari no. 812 dan Muslim no. 1098)
Makna لاَ نَكْفِتَ الثِّيَابَ وَالشَّعْرَdisebutkan dalam An-Nihayah adalah menggabungkan dan mengumpulkannya agar tidak tersebar. Yang diinginkan di sini adalah mengumpulkan pakaian dengan kedua tangan ketika ruku’ dan sujud1.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu mengatakan, “Secara zhahir larangan ini berlaku di waktu seseorang hendak shalat2. Demikian pendapat yang dicondongi oleh Ad-Dawudi. Dalam bab yang akan datang, Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu memberi judul hadits ini dengan, “Bab La Yakuffu Tsaubahu fis Shalah”, artinya “Tidak boleh seseorang menahan pakaiannya di dalam shalat.” Judul yang diberikan Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu ini memperkuat pendapat tersebut (larangan hanya khusus bila dikerjakan sembari melakukan shalat, pent.). Namun ulama lain, ‘Iyadh rahimahullahu menolak pendapat tersebut dengan menyatakan bahwa pendapat seperti itu menyelisihi apa yang dipegangi oleh jumhur ulama, karena mereka membenci hal itu dilakukan oleh orang yang shalat, baik ia melakukannya dalam shalat atau sebelum masuk dalam pekerjaan shalatnya3.
Namun mereka sepakat, kalaupun seseorang melakukannya tidaklah merusak shalatnya. Akan tetapi, Ibnul Mundzir rahimahullahu menghikayatkan dari Al-Hasan rahimahullahu, bahwa siapa yang melakukannya wajib mengulangi shalatnya. Di antara hikmah larangan tersebut adalah bila seseorang mengangkat pakaian dan rambutnya karena tidak ingin bersentuhan dengan tanah, ia menyerupai orang yang sombong.” (Fathul Bari, 2/383)
Hikmah yang lain, kata ulama, adalah karena semestinya rambut ikut sujud ketika orang yang shalat itu sujud, sehingga harus dibiarkan terurai, jangan ditahan jatuhnya ke tanah. Karena itulah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memisalkan orang yang menahan rambutnya seperti orang yang shalat dalam keadaan kedua tangannya terikat ke belakang pundaknya. (Al-Minhaj, 4/432)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Dalam satu riwayat dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma disebutkan: ‘Ia pernah melihat Abdullah ibnul Harits shalat dalam keadaan rambutnya dijalin dari belakang kepalanya4, maka Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum abangkit dan mulai melepaskan jalinan tersebut. Ketika Abdullah selesai dari shalatnya, ia menghadap ke Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma seraya berkata, ‘Apa yang Anda lakukan dengan rambutku?’ Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, ‘Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا مَثَلُ هَذَا مَثَلُ الَّذِي يُصَلِّي وَهُوَ مَكْتُوْفٌ
“Hanyalah permisalan orang yang dipilin/diikat rambutnya itu seperti orang yang shalat dalam keadaan terikat kedua tangannya di belakang pundaknya5.”
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu juga mengatakan, “Ulama sepakat tentang dilarangnya seseorang shalat dalam keadaan pakaiannya disingsingkan/diangkat, lengan bajunya disingsingkan atau semisalnya, rambutnya dipilin, atau rambutnya dimasukkan di bawah sorban6, atau selainnya. Semua ini terlarang dengan kesepakatan ulama, dan hukumnya karahah tanzih (makruh, tidak sampai haram). Bila seseorang shalat dalam keadaan demikian, maka sungguh ia telah berbuat jelek dalam shalatnya, namun shalatnya tetap sah.
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari rahimahullahu berargumen tentang hal ini dengan kesepakatan ulama.
Ibnul Mundzir rahimahullahu menghikayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu tentang keharusan mengulang shalat bila seseorang melakukan perbuatan yang dilarang tersebut.
Kemudian jumhur berpendapat larangan tersebut berlaku mutlak bagi orang yang shalat, baik ia sengaja melakukannya karena hendak mengerjakan shalat7 ataupun keadaannya memang demikian sebelum ia mengerjakan shalat.” (Al-Minhaj, 4/430, 431, 432)
Ibnul Atsir rahimahullahu berkata dalam An-Nihayah, “Makna hadits ini8 adalah bila seseorang membiarkan rambutnya terurai, niscaya rambut itu akan jatuh ke bumi/tanah ketika ia sujud, maka ia akan diberi pahala sujud dengan rambutnya tersebut. Namun bila rambut itu dipilin, jadilah maknanya rambut itu dibiarkan tidak ikut sujud dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerupakannya dengan orang yang sujud dalam keadaan terikat kedua lengannya karena kedua lengan tersebut tidak menyentuh tanah di saat sujud.”
Alasan dilarangnya perbuatan tersebut juga ditunjukkan dalam hadits Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu, maula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Rafi’ pernah melewati Al-Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma yang sedang shalat dalam keadaan jalinan rambutnya ditekuk ke tengkuknya, maka Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu melepaskannya (mengurainya). Al-Hasan radhiyallahu ‘anhu pun menoleh kepadanya dengan marah. Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu berkata, “Menghadaplah ke shalatmu dan jangan marah karena aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ذَلِكَ كِفْلُ الشَّيْطَانِ
“Pilinan rambut itu adalah tempat duduknya setan.” (HR. Abu Dawud no. 646 dan At-Tirmidzi no. 384, dihasankan Al-Imam Al-Muhaddits Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud dan Shahih At-Tirmidzi)
Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu berkata, “Perkara ini diamalkan di sisi ahlul ilmi, yaitu mereka membenci seorang lelaki shalat dalam keadaan rambut kepalanya dipilin.” (Sunan At-Tirmidzi, bab Ma Ja`a fi Karahiyati Kaffisy Sya’ra fish Shalah)
Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu mengatakan sebagaimana dinukil Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ashlu Shifati Shalatin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kami meriwayatkan kemakruhan hal tersebut dari Umar, Ali, Hudzaifah, dan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhum.” (2/746)
Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullahu berkata, “Tidak halal seorang yang shalat menggabungkan pakaiannya atau mengumpulkan rambutnya dengan tujuan karena hendak shalat9 berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Al-Muhalla 2/318)
Al-Imam Al-Muhaddits Al-Albani rahimahullahu berkata, “Tampaknya hukum ini khusus bagi laki-laki, tidak berlaku bagi wanita10, sebagaimana dinukilkan oleh Asy-Syaukani rahimahullahu dari Al-’Iraqi rahimahullahu.” (Ashlu Shifati Shalatin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, 2/743)
Al-’Iraqi rahimahullahu berkata, “Hukum ini khusus bagi laki-laki, tidak bagi wanita. Karena rambut mereka (para wanita) adalah aurat, wajib ditutup di dalam shalat. Bila ia melepaskan ikatan rambutnya bisa jadi rambutnya tergerai dan sulit untuk menutupinya hingga membatalkan shalatnya. Dan juga, akan menyulitkannya bila harus melepaskan rambutnya tatkala hendak shalat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah memberikan keringanan kepada kaum wanita untuk tidak melepaskan ikatan rambut mereka ketika mandi wajib, padahal (hal ini) sangat perlu untuk membasahi seluruh rambut mereka di saat mandi tersebut.” (Nailul Authar 2/440)
Dalam hal ini kita jumpai dan saksikan, banyak kaum muslimin yang jatuh dalam perbuatan yang dilarang ini. Mereka biasa menggulung (melinting) lengan bajunya saat hendak berwudhu dan ketika hendak shalat lengan baju tersebut tidak diturunkan kembali, namun dibiarkan tetap tergulung. Semua itu mereka lakukan karena ketidaktahuan mereka tentang hukum agamanya. Wallahul musta’an.

Larangan isytimal ash-shamma`
Isytimal ash-shamma` adalah cara berpakaian/menutup tubuh dengan menyelimuti/menyelubungi seluruh tubuh termasuk tangan dengan satu kain, tanpa ada satu sisi dari kain tersebut yang terangkat sehingga tidak ada celah/lubang untuk mengeluarkan tangan (berarti tangan terbungkus di bawah/di dalam pakaian). (Al-Minhaj 14/302, Fathul Bari 1/618)
Larangan isytimal ash-shamma` ini disebutkan dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudriradhiyallahu ‘anhu berikut ini:
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ اشْتِمَالِ الصَّمَّاءِ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari isytimal ash-shamma`.” (HR. Al-Bukhari no. 367)
Isytimal ash-shamma` ini dilarang karena menahan seseorang untuk melaksanakan perkara yang disyariatkan di dalam shalat secara sempurna. Bila ditakdirkan ada sesuatu yang menyergapnya ketika itu, ia tidak mungkin dapat bersegera menolaknya karena kedua tangannya terbungkus di dalam kain/pakaiannya11. Berpakaian dengan model isytimal ash-shamma` ini jelas menyelisihi firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَابَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
“Wahai anak Adam kenakanlah zinah12 kalian setiap kali menuju masjid.” (Al-A’raf: 31)
karena memakai zinah dengan model demikian mengandung kekurangan/ketidaksempurna
an. (Asy-Syarhul Mumti’, 1/460)

Larangan isbal
Isbal adalah memanjangkan kain/celana hingga melampaui atau menutupi mata kaki. Seorang lelaki tidak boleh shalat dalam keadaan menyeret pakaiannya atau memanjangkan pakaian bawahnya karena sombong. Batasan panjang pakaian laki-laki memang hanya sampai di atas kedua mata kakinya, tidak boleh sama sekali turun dari batasan tersebut, baik pakaiannya itu berupa sirwal (semacam celana panjang), sarung, jubah, atau yang lainnya. Beda halnya dengan wanita, bila keluar rumah/di depan laki-laki yang bukan mahramnya ia harus menutup tubuhnya sampai ke dua telapak kakinya13. (Al-Muhalla 2/391,392)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَنْظُرُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ
“Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat nanti tidak akan melihat kepada orang yang menyeret pakaiannya karena berlaku sombong.” (HR. Al-Bukhari no. 5783 dan Muslim no. 5420)
Dan telah datang larangan shalat dalam keadaan memanjangkan kain/celana (musbilul izar) dan ancamannya secara khusus. Dari Abu Hurairahradhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan bahwa ada seseorang yang shalat dalam keadaan musbilul izar, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan padanya, “Pergilah dan berwudhulah!” Orang itu pun pergi berwudhu, lalu datang kembali. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan lagi, “Pergilah dan berwudhulah!” Maka ada seseorang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, mengapa anda perintahkan dia untuk berwudhu?” Beliau pun tidak mengatakan apa-apa lagi, kemudian beliau bersabda:
إِنَّهُ كَانَ يُصَلِّي وَهُوَ مُسْبِلٌ إِزَارَهُ، وإِنَّ اللهَ لاَ يَقْبَلُ صَلاَةَ رَجُلٍ مُسْبِلٍ إِزَارَهُ
“Sesungguhnya dia tadi shalat dalam keadaan memanjangkan kainnya dan sesungguhnya Allah tidak menerima shalat seseorang yang memanjangkan kainnya.” (HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 638 dan 4086, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullahu dalam Tahqiq wa Ta’liq terhadap Al-Muhalla Ibnu Hazm rahimahullahu, 4/102)
Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan, “Sisi pendalilan hadits ini –wallahu a’lam– bahwasanya isbalul izar merupakan perbuatan maksiat, dan setiap orang yang melakukan maksiat diperintahkan untuk berwudhu serta shalat, karena wudhu akan memadamkan apa yang terbakar oleh maksiat.” (Tahdzibus Sunan, 6/50)

Faedah
Ibnul ‘Arabi rahimahullahu berkata sebagaimana dinukilkan secara ringkas oleh Al-Hafizh rahimahullahu dalam Fathul Bari (10/325), “Tidak boleh seseorang melebihkan pakaiannya dari mata kakinya lantas berkata, ‘Aku memanjangkannya bukan karena sombong.’ Karena larangan yang ada di dalam hadits terkadang mencakupnya secara lafadz. Dan tidak boleh bagi orang yang tercakup dalam lafadz secara hukum untuk mengatakan, ‘Aku tidak menjalankan larangan yang ada dalam hadits tersebut karena alasan/sebab yang dinyatakan dalam hadits tidak ada padaku’, karena semua ini merupakan pengakuan yang tidak bisa diterima. Bahkan dengan ia sengaja memanjangkan bagian bawah pakaiannya menunjukkan sifat takaburnya.”
Al-Hafizh rahimahullahu berkata setelahnya, “Kesimpulannya, isbal berkonsekuensi kepada memanjangkan pakaian. Sementara menyeret pakaian juga berkonsekuensi adanya sifat sombong, walaupun pemakainya tidak bertujuan untuk berlaku sombong. Yang menguatkan hal ini adalah adits yang diriwayatkan secara marfu’ oleh Ahmad bin Mani’ dari jalan lain dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma:
إِياَّكَ وَجَرَّ اْلإِزَارِ فَإِنَّ جَرَّ اْلإِزَارِ مِنَ الْمَخِيْلَةِ
“Hati-hati engkau dari menyeret kainmu, karena menyeret kain termasuk kesombongan.”

Larangan dan dibencinya sadl dalam shalat
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata:
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ السَّدْلِ فِي الصَّلاَة
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari sadl di dalam shalat.”14 (HR. At-Tirmidzi no. 378, Abu Dawud, dll, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi, Shahih Abi Dawud, Al-Misykat no. 764)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu berkata: Abu ‘Ubaid dalam Gharib-nya menyatakan, “Sadl adalah seseorang menjulurkan (membiarkan terjuntai) pakaiannya (isbal) tanpa menggabungkan dua sisinya di hadapannya, karena bila ia menggabungkannya tidaklah dikatakan sadl.”
Penulis An-Nihayah berkata, “Sadl adalah seseorang berselimut dengan pakaiannya dan memasukkan kedua tangannya dari dalam, lalu ia ruku’ dan sujud dalam keadaan demikian.”
Makna ini dikenakan juga pada gamis dan pakaian lainnya.
Pengertian lain dari sadl adalah seseorang meletakkan bagian tengah izarnya di atas kepalanya serta menjulurkan/melepaskan dua ujungnya ke kanan dan kirinya tanpa meletakkannya pada dua pundaknya.
Al-Jauhari rahimahullahu berkata, “Seseorang mensadl pakaiannya yakni menjulurkannya.”
Al-Khaththabi rahimahullahu menjelaskan, “Sadl adalah menjulurkan pakaian hingga mengenai bumi/tanah.”
Dengan pengertian ini berarti sadl dan isbal sama. Al-‘Iraqi rahimahullahu berkata, “Dimungkinkan yang dimaukan dengan sadl adalah sadl rambut. Di antaranya disebutkan dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma: ‘Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mensadl jambul rambutnya15.’ Dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha disebutkan, ‘Ia mensadl cadarnya dalam keadaan muhrim/berihram16’, yakni menjulurkannya. (Sehingga dari beberapa pengertian di atas, pent.) tidak mengapa membawa hadits larangan melakukan sadl kepada seluruh makna tersebut apabila makna sadl memang musytarak (satu kata namun memiliki beberapa makna), dan membawa yang musytarak kepada seluruh maknanya merupakan mazhab yang kuat. Dan sungguh telah diriwayatkan bahwa sadl ini merupakan perbuatan Yahudi. Al-Khallal dalam Al-‘Ilal dan Abu ‘Ubaid dalam Al-Gharib meriwayatkan dari Abdurrahman bin Sa’id bin Wahb, dari bapaknya, dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Ali keluar dan melihat orang-orang shalat dalam keadaan men-sadl pakaian mereka. Ali pun berkata, “Seakan-akan mereka itu orang Yahudi yang keluar dari quhr mereka.”
Kata Abu Ubaid, “Quhr adalah tempat belajar mereka yang mereka biasa berkumpul di situ.” Penulis Al-Ilmam berkata, “Quhr adalah tempat belajar mereka yang mereka biasa berkumpul di situ.” Di dalam Al-Qamus dan An-Nihayah disebutkan dengan fuhr bukan quhr. (Nailul Authar 2/10)
Namun pengertian sadl sendiri yang dikenal di kalangan ahli fiqih (fuqaha) adalah memakai pakaian/kain di atas dua pundak, kedua ujungnya dibiarkan terjuntai, tidak dikembalikan ke atas dua pundak. Akan tetapi bila model pakaiannya memang dipakai dengan cara seperti itu, maka tidak apa-apa seperti qaba` (mantel atau semacam pakaian luar). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu menyatakan apabila qaba` diletakkan di atas dua pundak tanpa memasukkan dua lengannya bukanlah termasuk sadl, dengan kesepakatan para ulama. Ini tidak termasuk sadl yang dibenci, dan pakaian ini bukanlah pakaian Yahudi. (Asy-Syarhul Mumti’ 1/459, Ghidza`ul Albab 2/156)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu berkata “Hadits di atas menunjukkan diharamkannya sadl di dalam shalat, karena di sini maknanya larangan yang hakiki. Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Mujahid, Ibrahim An-Nakha’i, Ats-Tsauri, dan Asy-Syafi’i rahimahumullah membencinya di dalam ataupun di luar shalat. Al-Imam Ahmad rahimahullahu mengatakan bahwa dibencinya hanya dalam shalat. Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ‘Atha`, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Makhul, dan Az-Zuhri rahimahumullah, semuanya mengatakan tidak apa-apa melakukan sadl. Diriwayatkan hal ini dari Al-Imam Malik rahimahullahu.
Namun sebagaimana yang Anda pahami, apabila hadits yang mengharamkannya itu shahih maka tidak ada yang dapat menyimpangkan dari keharaman ini, karena tidak adanya dalil yang dapat memalingkan dari keharaman tersebut.” (Nailul Authar 2/10)

Larangan menutup mulut, hidung, dan wajah
Termasuk yang dilarang adalah meletakkan kain di atas mulut dan hidung, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
نَهَى أَنْ يُغَطِّيَ الرَّجُلُ فَاهُ
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang menutup mulutnya.”17 (HR. Abu Dawud no. 643, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)
Al-Khaththabi rahimahullahu mengatakan, “Termasuk kebiasaan orang Arab adalah menutup mulut mereka dengan sorban. Oleh karena itu, mereka dilarang melakukan perbuatan ini di dalam shalat. Kecuali ketika menguap, ia harus menutup mulutnya karena adanya hadits yang menyebutkan tentang hal ini.” (‘Aunul Ma’bud, kitab Ash-Shalah, bab As-Sadl fish Shalah)
Dibenci bila seseorang menutup wajahnya di dalam shalat karena penutup wajah tersebut akan menjadi penghalang wajahnya ketika sujud. Dikecualikan dalam hal ini adalah kaum wanita bila di sekitarnya ada laki-laki yang bukan mahramnya, maka ia harus menutup wajahnya walaupun saat mengerjakan shalat. Demikian pula apabila dibutuhkan karena satu sebab, maka perkara yang dimakruhkan ini boleh dilakukan sepanjang ada kebutuhan. Seperti bersin hingga ia terpaksa menutup wajahnya, seseorang menguap di dalam shalatnya maka ia boleh menutup mulutnya untuk menahan kuapan tersebut, atau di sekitarnya tercium aroma busuk yang akan mengganggunya dalam shalat sehingga ia butuh penutup hidung, juga bila ia sedang menderita selesma (flu), maka ia boleh meletakkan kain di daerah hidungnya untuk menahan ingus yang keluar. (Asy-Syarhul Mumti’ 1/460)

Shalat memakai pantalon
Al-Imam Al-Muhaddits Al-Albani rahimahullahu berkata, “Pada pakaian/celana pantalon ada dua musibah:
Musibah pertama: Orang yang memakai pakaian/celana ini telah menyerupai orang kafir, karena kaum muslimin dulunya memakai sirwal yang lapang dan longgar, di mana celana sirwal ini masih terus dipakai di Suriah dan Lebanon. Kaum muslimin tidak mengenal celana pantalon kecuali setelah mereka dijajah oleh orang-orang kafir. Kemudian ketika para penjajah ini telah pergi, mereka meninggalkan pengaruhnya yang buruk, yang kemudian diikuti oleh kaum muslimin karena kebodohan mereka.
Musibah kedua: Celana pantalon ini bila dikenakan akan membentuk aurat, sementara aurat laki-laki antara lutut dan pusar. Orang yang sedang shalat wajib baginya untuk menjauhi perbuatan maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena ia hendak bersujud kepada-Nya. Lalu bagaimana jadinya bila ia sujud dalam keadaan kedua belah pantatnya membentuk di balik pantalonnya. Bahkan engkau lihat kemaluannya juga membentuk!!! Bagaimana orang yang seperti ini shalat dan berdiri di hadapan Rabbul ‘Alamin?
Yang aneh, kebanyakan pemuda muslim mengingkari pakaian ketat yang dikenakan wanita karena memperlihatkan bentuk tubuh mereka, namun melupakan dirinya sendiri. Karena ia justru terjatuh dalam perbuatan yang ia ingkari. Tidak ada perbedaan antara wanita yang memakai pakaian ketat hingga menampakkan lekuk tubuhnya dengan pria yang mengenakan pantalon yang juga membentuk pantatnya. Pantat laki-laki dan perempuan sama-sama aurat.” (Dinukil dari ta’liq kitab Al-Qaulul Mubin fi Aktha`il Mushallin, hal. 22-23)
Adapun bila pantalon itu lebar, tidak ketat, dan tidak tipis sehingga menerawang auratnya terhadap orang yang di belakangnya maka sah shalat dengan memakainya. Dan yang afdhal bila di atas pantalon itu dipakai gamis/jubah (baju panjang) yang menutupi antara pusar sampai lutut dan panjangnya sampai setengah betis atau sampai di atas mata kaki, karena yang demikian itu lebih sempurna dalam menutup aurat. Namun apabila menerawang karena tipisnya sehingga menampakkan auratnya terhadap orang yang di belakangnya, maka batal shalatnya. Dan apabila hanya membentuk kemaluannya saja, maka dibenci shalatnya, terkecuali bila dia tidak mendapatkan pakaian yang lainnya. (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu 10/414 dan jawaban Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal Ifta` nomor 2003)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab, wal ‘ilmu ‘indallah.

1 Ia menarik bajunya hingga terangkat atau melipatnya hingga terangkat. (Asy-Syarhul Mumti’, 1/460)
Menahan baju contohnya seperti seseorang mengambil ujung pakaiannya, lalu ia masukkan ke dalam ikat pinggang atau tali celananya. Sedangkan menahan rambut contohnya seseorang mengambil bagian yang terurai dari rambutnya lalu dipilinnya untuk digabungkan dengan rambut di atas kepala atau ia mengikatnya dengan benang, karet, atau yang semisalnya. (At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah ‘ala Ar-Raudhatin Nadiyyah, 1/256)
2 Maksudnya seseorang menarik/menggulung/melipat pakaian yang dikenakannya dan mengikat rambutnya karena hendak mengerjakan shalat.
3 Ulama mengatakan, “Tidak ada perbedaan antara ia melakukannya tatkala hendak shalat karena shalat tersebut, atau ia melakukannya sebelum mengerjakan shalat. Misalnya ia sedang bekerja, ia menarik/menggulung/melipat lengan bajunya atau bagian bawah celananya, kemudian ketika hendak shalat ia membiarkan lengan bajunya tetap tergulung/terlipat, maka kita katakan kepadanya, “Lepaskan lipatan/gulungan lengan bajumu.” (Asy-Syarhul Mumti’, 1/461)
4 Rambutnya dipilin kemudian ujung-ujung rambut disatukan dengan pangkalnya.
5 HR. Muslim no. 1101
6 Rambut bagian bawah yang semestinya tidak tertutupi oleh sorban tapi dipaksakan untuk dimasukkan ke dalam sorban karena tidak ingin rambutnya terkena tanah ketika sujud.
7 Ia sengaja menyingsingkan baju atau lengan bajunya misalnya karena khawatir ketika sujud bajunya akan terkena kotoran. Hal ini jelas merupakan suatu bentuk kesombongan.
8 Yang dimaksud adalah hadits:
إِنَّمَا مَثَلُ هَذَا مَثَلُ الَّذِي يُصَلِّي وَهُوَ مَكْتُوْفٌ
9 Telah diterangkan bahwa sama saja baik ia melakukannya di dalam shalat ataupun di luar shalat ketika hendak melakukan shalat.
10 Maksudnya, wanita tidak terlarang shalat dalam keadaan rambutnya dipilin, karena larangan yang ada hanya berlaku untuk laki-laki.
11 Termasuk dalam makna isytimal ash-shamma`, bila seseorang memakai gamis lantas tidak memasukkan kedua lengannya ke dalam lengan gamis tersebut. (Asy-Syarhul Mumti’, 1/460)
12 Zinah adalah sesuatu yang dikenakan untuk berhias/memperindah diri seperti pakaian. (Mukhtarush Shihah, hal. 139).
13 Al-Imam At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibnu Majah meriwayatkan dari hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Siapa yang menyeret pakaiannya (menjulurkannya sampai tanah/di bawah mata kaki, pent.) karena sombong (isbal) maka Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihatnya pada hari kiamat.”
Mendengar hal itu, berkatalah Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha:
فَكَيْفَ تَصْنَعُ النِّسَاءُ بِذُيُوْلِهِنَّ؟ قَالَ: يُرْخِيْنَهُ شِبْرًا. قَالَتْ: إِذًا تَنْكَشِفُ أَقْدَامُهُنَّ. قَالَ: يُرْخِيْنَ ذِرَاعًا وَلاَ يَزِدْنَ
“Lalu bagaimana yang harus diperbuat oleh wanita dengan ekor-ekor (ujung/bagian bawah) pakaian mereka?” Beliau berkata: “Hendaklah mereka menurunkannya sejengkal (dari betis, pent.).” Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata: “Bila demikian, masih terlihat telapak kaki mereka.” Beliau berkata: “Turunkan satu hasta dan jangan lebih.” (Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi, Shahih Abi Dawud dan Shahih Ibni Majah)
Ath-Thibi dalam Syarhul Misykat (9/2898) menerangkan bahwa ketika Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha mendengar hadits ini:
إِزَارُ الْمُؤْمِنِ إِلىَ أَنْصَافِ سَاقَيْهِ، لاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ فِيْمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَعْبَيْنِ، وَمَا أَسْفَلَ ذَلِكَ فِي النَّارِ
“Kain/pakaian seorang mukmin sampai setengah kedua betisnya. Dan tidak ada dosa baginya yang berada antara tengah betis dan dua mata kakinya. Sedangkan apa yang di bawah batasan tersebut akan diadzab dalam neraka.” (HR. Ahmad 3/5 dan selainnya. Kata Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa Fish Shahihain, hadits no. 410, 1/346, “Hadits ini hasan di atas syarat Muslim.”)
Ia menyangka bahwa hukum ini mencakup dirinya (wanita). Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan kepadanya bahwa hukum ini khusus bagi laki-laki, sedangkan kaum wanita mereka menurunkan pakaian mereka satu hasta. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu dalam Fathul Bari menyebutkan yang semacam ini.
14 Hadits ini didhaifkan oleh sebagian ahlul hadits. Dan di antara yang melemahkannya adalah Al-Imam Ahmad dan Abu Dawud rahimahumallah. (lihat Tuhfatul Ahwadzi Syarhu Jami’it At-Tirmidzi, Kitabus Shalah bab Ma Ja`a fi Karahiyatis Sadl fish Shalah)
15 Diriwayatkan Al-Bukhari no. 5917dan Muslim no. 2336
16 Diriwayatkan Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 1833
17 Guru besar kami Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu mendhaifkan hadits ini karena seorang perawi yang bernama Hasan ibnu Dzakwan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar