Rabu, 10 Februari 2010

Tinggalkanlah (Ritual) Shalat, dan (Dirikanlah) Shalat : Sebuah Renungan Awam

Dalam Al-Quran, Surat al-Ankabuuut (29) ayat 45 Tuhan berfirman : Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.

Jika kita merujuk secara harafiah pada firman tersebut, terasa begitu agung dan mulianya akibat dari mendirikan shalat. Dan pada semestinya, seseorang—siapapun, yang telah mendirikan shalat, akhlaknya menjadi mulia, kesadarannya semakin tumbuh-berkembang, dan dalam kehidupan sehari-hari, secara otomatis, dia akan berperilaku lurus.

Tetapi yang sangat membingungkan—dan membuat kita sebagai muslim selalu bertanya—adalah bahwa pada praktiknya, terlalu banyak muslim yang berperilaku amat jauh dari apa yang Tuhan janjikan dalam firman-Nya tersebut. Adakah yang salah? Kenyataan tersebut terasa amat getir, karena efek domino yang timbul berikutnya adalah banyak muslim yang menjadi skeptis terhadap agamanya dan mengabaikan begitu banyak norma-norma Islam : mengingkari larangan-larangan, dan mengabaikan perintah-perintah.

Tentunya ada yang salah, dan secara logis, kita harus menyelidik kepada dimensi manusianya terlebih dahulu. Firman Tuhan dalam Al-Quran adalah sebuah naskah historis yang telah lama hadir, telah lama menjadi pedoman bagi tumbuh dan jayanya bangsa-bangsa di dunia, dan secara etis, sebagai muslim, jelas berdosa mempertanyakan keotentikan Alkitab—yaitu Al-Quran.

Dalam Al-Quran, perintah tentang shalat tertuang dalam Surat al-Baqarah (2), ayat 110 : Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.

Firman Tuhan tersebut berbicara mengenai ‘mendirikan shalat’. Istilah yang dominan terletak pada mendirikan-shalat. Jika kita merujuk pada Thesaurus Bahasa Indonesia(1), kata mendirikan berafiliasi dengan padanan-padanan kata berikut : 1. mencacakkan, menegakkan; 2. memasang, membangun, membentuk, membikin, membuat; mengadakan, mengasaskan, menyelenggarakan; 3. melaksanakan, mengerjakan, menjalankan. Jadi, bisa dianalogikan secara sederhana, bahwa kata mendirikan memiliki konteks makna yang kompleks. Ia mencakup segala bagian-bagian proses dan bangunan yang utuh, tidak sekedar lantai, atau dinding, atau tiang-tiang. Mendirikan shalat berarti menghayati shalat, dan menghayati pesan-pesan agung darinya, dan menegakkan ajaran-ajaran moral dengan konsisten. Mendirikan shalat tidaklah cukup dengan mengerjakan ritual itu lima kali sehari, tetapi juga masih harus diikuti dengan mendirikan akhlak Islam yang agung.

Dan dari pengertian-pengertian tersebut, kita bisa menimbang bahwa kebanyakan muslim—termasuk saya, selama ini, lebih mendekat kepada arti ‘melaksanakan’, ‘mengerjakan’, atau ‘menjalankan’. Kita mengerjakan shalat sebagai sebuah ritual agama, yang dengan logika teknis sederhana, menisbatkan ritual tersebut dengan Surat 29:45 di atas.

Kebanyakan dari kita akan berasumsi, beranggapan, berharap, dan ber-logika bahwa ’setelah mengerjakan shalat, pasti akhlak kita akan bagus, dengan sendirinya’. Sebuah logika yang tak pantas disalahkan secara serentak, tapi perlu dipikirkan dengan amat serius. Benarkah se’pragmatis’ itu? Benarkah se’sederhana’ itu? Benarkan se’bodoh’ itu? Tampaknya tidak! Bahkan nampaknya sangat salah, jika kita komparasikan dengan realita akhlak umat Islam kebanyakan.

Kenyataan janggal dan mengecewakan ini, seringkali membuat saya—dan mungkin banyak muslim, membanding-bandingkan diri dengan umat agama-agama lain. Para Bikku Buddha yang amat zuhud, amat welas-asih bahkan kepada seekor lalat-pun. Para umat Hindu yang toleran. Para umat Kristiani yang nampak hidup damai—dan sejahtera. Kenapa dan ada apa dengan kita? Kita mengklaim diri sebagai umat dari agama final yang lurus dan terang, tetapi kenapa realita kehidupan dan ajaran-formal agama begitu kontras? Korupsi merajalela—dalam kasus Indonesia, pornografi marak dan laris-manis, generasi muda tak berkarakter dan tak berdisplin, kebejatan moral remaja, kekerasan rumat tangga, dan begitu banyak keburukan moral yang sama sekali bertentangan 180 derajat dengan ajaran-ajaran moral formal dari Dinnul Islam.

Tampaknya memang—dan cukup jelas, bahwa pondasi keimanan ini, yaitu shalat, masih berdiri amat rapuh, atau kalau bisa dikatakan : rubuh; ambruk; runtuh; tak berdiri. Ratusan juta muslim lima kali sehari mengerjakan ritual suci—berdiri, ruku`, sujud’, duduk—tetapi kemudian keburukan akhlak masih dan tetap merajalela, eksis dengan amat bergairah.

Memang masih keliru, memang masih salah. Kebanyakan dari kita masih ‘hanya’ mau mengerjakan shalat, tetapi enggan mendirikan shalat. Kita masih sekedar menganggap agama ini sebagai bangunan material yang praktis teknis. Shalat adalah ritual formal, dan bacaan-bacaan suci di dalamnya adalah mantra-mantra magis yang berkhasiat. Jadi memang pantas kita untuk merasa malu dengan saudara-saudara kita umat Buddha. Mereka amat syahdu ber-meditasi mendekatkan diri kepada Yang Tak Terlahir, menyatukan diri kepada Sang Budi Yang Agung, dan melepaskan diri dari gejolak pesona-pesona lahiriah. Pun dengan umat Kristiani, mereka amat syahdu meyakini kebenaran Sang Kristus Penyelamat. Mereka umat Kristiani, lebih sering untuk mengingat berdoa sebelum makan, daripada kita umat Islam. Jadilah kehidupan mereka menjadi keberkahan, karena Tuhan memang akan hadir dalam diri setiap mahluk, apapun status dan pendekatan ’syariah’-nya. Tuhan akan selalu hadir dalam kedekatan manusia dengan-Nya. Tuhan akan hadir dalam rasa welas-asih. Tuhan akan hadir dalam rasa-haru akan keindahan. Tuhan akan hadir dalam derita batin. Tuhan akan hadir dalam setiap pilu yang terurai dari air mata yang suci. Tuhan hadir di manapun, di setiap sudut alam semesta ini, karena Dia memang Mahabesar, karena Dia memang Akbar.

Jadi, missing link yang perlu kita rajut sekarang adalah mencoba untuk mendirikan shalat. Bagaimanakah itu? Untuk permulaan dan juga sebagai intinya, kita harus terus selalu berusaha untuk ‘mengerjakan’ shalat dengan khusyuk. Jika harus dianalogikan dengan sarkastik, kita harus belajar shalat dengan khusyuk dan mendalam, seperti halnya saat kita berhubungan suami-istri—menggairahkan dan syahdu, atau seperti halnya saat kita bekerja di kantor—yang penuh dedikasi dan niat, seperti halnya saat kita buang air besar karena sakit perut—dirasakan betul-betul, atau seperti halnya saat kita menyatakan cinta pertama kepada seseorang.

Secara teknis, saya sendiri masih dalam tahap belajar yang amat sangat belum zuhud dan masih rendah kesadarannya, tetapi nampaknya belajar menggapai shalat yang sejati itu bisa dimulai dengan langkah-langkah berikut :

1. Tenangkan Pikiran
Dengan usaha yang serius, lupakan segala kepenatan dan pikiran antah berantah yang amburadul. Sisakan saja pikiran-pikiran yang baik dan suci. Musnahkan sisa-sisa frame adegan porno yang kita lihat dari internet tempo hari. Musnahkan wajah kekasih kita yang aduhai. Musnahkan ingatan akan urusan Facebook. Lupakan urusan soal motor yang belum dicuci. Lupakan urusan soal pacar yang merajuk. Lupakan urusan soal kawan yang berkhianat. Lupakan urusan soal Si Anu yang telah membeli handphone HSDPA baru. Lupakan urusan soal Microsoft yang merilis software baru. Lupakan urusan soal artis baru yang berfoto syur. Lupakan urusan soal acara TV. Lupakan urusan soal membeli serial baru Harry Potter. Lupakan urusan soal membeli perhiasan baru. Lupakan urusan soal lampu kamar yang mati. Lupakan urusan soal kemungkinan jalanan akan macet. Lupakan semua pikiran antah-berantah itu. Lupakan urusan soal suami yang berkomentar tentang masakan. Lupakan urusan soal istri yang mengeluh. Lupakan soal anak yang suka membuat sesak dada.

2. Khidmat
Shalat tidak boleh terburu-buru. Dengan tidak terburu-buru, shalat hanya memakan waktu sekitar 5-9 menit. Saya sering menjumpai—dan saya juga sering melakukan—shalat yang amat terburu-buru, dan sehingga, untuk shalat 4 rekaat, hanya memakan waktu berkisar 2 menit! ‘Luar biasa’! Belajarlah shalat dengan khidmat. Waktu 5 atau 6 menit tak lebih lama dari waktu buang air, dan jelas itu tak mengganggu aktivitas kita.

3. ‘Meditasi’
Bagi muslim puritan yang kaku, penisbatan istilah meditasi mungkin akan didekatkan kepada ke-haram-an, tetapi meditasi yang saya maksud adalah perasaan khusyuk yang serius, yaitu perasaan menyatu dengan Tuhan. Perasaan khusyuk ini kompleks, perpaduan antara rasa takut, haru, damai, tenteram, mesra, dan bergetar. Jika perasaan ini bisa timbul, maka air mata pasti akan keluar, walau sedikit. Shalat adalah sarana kita ‘mencium’ telapak kaki Tuhan : mengiba, memuji, berdoa, berharap, dan menyerahkan kegelisahan diri. Adakah tips memunculkan rasa-rasa itu? Sejauh yang saya ketahui, tak ada hadist yang menerangkan secara teknis mengenai itu. Tetapi kalau saya pribadi, kadangkala saya mengingat hal-hal mengharukan sebelum shalat, seperti mengingat kedua orang tua yang telah renta, mengingat segala dosa dan kegagalan masa lalu, dan mengingat kemungkinan-kemungkinan masa depan yang belum pasti. Ingatan akan hal-hal itu akan memunculkan rasa haru yang mendalam, yang nantinya akan sangat membantu memunculkan rasa khusyuk menyatu dengan Tuhan dalam shalat.

4. Pendalaman Teks
Islam ‘versi’ Muhammad diturunkan dalam bahasa Arab—Islam ‘versi’ lain bermacam-macam : Islam ‘versi’ Musa diturunkan dalam bahasa Ibrani, yang kemudian pengikut akhirnya mengaku sebagai umat Yahudi’; Islam ‘versi’ Isa AS juga hadir dalam budaya Ibrani, yang kemudian pengikut akhir mereka menamai diri sebagai pengikut Kristus, atau umat Kristen.

Berbeda dengan naskah Alkitab Kristen dan Yahudi, yang dalam kegunaan praktis peribadatan sehari-hari sudah menggunakan bahasa terjemahan lokal, naskah Al-Quran Islam masih dipertahankan dalam bahasa Arab, untuk penggunaan dalam ibadah. Karena Al-Quran identik dengan bahasa Arab, maka muslim yang non-Arab sebagian besar tak memahami arti dari teks-teks Al-Quran—dan juga bacaan-bacaan wajib Shalat. Untuk itu, amat utama bagi kita, sedikit demi sedikit, mencari teks-teks terjemahan bacaan wajib Shalat, dan juga pastinya, terjemahan Al-Quran.

Semakin memahami makna teks bacaan Shalat, akan berdampak sangat besar pada revolusi ke-khusyuk-an shalat. Tentu saja tidak sekedar dihafalkan seperti teks pelajaran di sekolah atau kuliah, tetapi diresapi seperti puisi, novel atau lirik lagu. Resapi, resapi, resapi, nikmati. Buatlah kesan bahwa bacaan-bacaan suci itu sebuah Puisi Agung, bukan mantra mistik.

Kemudian, selain mendalami makna-makna teks bacaan shalat, amat baik juga kita memperkaya referensi bacaan ayat-ayat Al-Quran. Walaupun beberapa ayat dan surat dalam Al-Quran memiliki makna-makna khusus—seperti surat al-Ikhlas tentang ke-Esa-an Tuhan, tetapi membaca ayat-ayat yang sama dalam setiap shalat kita selama seumur hidup tentu akan menimbulkan rasa yang tidak menggairahkan—semacam rasa bosan dan tidak elegan.

Begitulah, kuranglebih pendapat saya sebagai muslim yang awam. Secara kontekstual, muslim Indonesia, sebagai bangsa dengan bahasa non-Arab, tentu memiliki masalah kultur sebagai jembatan yang panjang untuk memahami Islam, sehingga perlu sedikit usaha lebih untuk menginternalisasi makna-makna agung dari shalat dan ajaran Islam secara umum.

Pada akhir renungan, saya hanya bisa mengungkapkan satu pengakuan, bahwa saya adalah seorang muslim awam, dan renungan ini pun adalah ekspresi dari tingkat kedalaman pemahaman saya yang sama sekali belum seberapa. Diskusi dari para Ahli Hadist, Ahli Bahasa Arab, dan Ahli Agama Islam amat saya harapkan, dan saya merasa bersyukur jika hal itu bisa terjadi. Semoga Tuhan, Allah SWT, senantiasa merahmati kita dengan petunjuk dan kemudahan-kemudahan.

——
Catatan :
(1) : Endarmoko, Eko. 2006. Tesaurus Bahasa Indonesia. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar