Rabu, 09 Juni 2010

ANAK -sebuah tanggungjawab besar dan amanah yang sangat berat-


“Wahai orang-orang yang beriman! peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia diperintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim:6)

Menurut Sayidina Ali, maksud firman Allah, “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…,” adalah “Ajarkanlah kebaikan kepada dirimu dan keluargamu!”

Imam Fakhur Rozi menerangkan dalam tafsirnya bahwa “Jagalah dirimu dan keluargamu…” adalah perintah terhadap diri dan keluarga untuk meninggalkan apa saja yang dilarang oleh Allah.

Menurut Muqatil, “Seorang muslim hendaknya mendidik diri dan keluarganya, memerintah mereka agar melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan.

Dalam tafsir Al-Kasysyaf diterangkan, “Jagalah dirimu” dengan cara meninggalkan kemaksiatan dan menjalankan ketaatan “dan keluargamu” dengan memperingatkan mereka sebagaimana kamu memperingatkan dirimu.

Qatadah berkata, “Engkau menyuruh mereka untuk taat kepada Allah dan melarang mereka dari maksiat kepada Allah, engkau mengayomi mereka dengan perintah Allah dan memerintahkan mereka dengannya serta membantu mereka atasnya. Bila engkau melihat kemaksiatan terhadap Allah, meka engkau menyingkirkan mereka darinya serta menghardik mereka darinya.”

Ibnul Qayyim berkata, “Siapa yang menelantarkan anaknya dan apa yang bermanfaat baginya serta membiarkannya begitu saja, maka dia telah berbuat buruk kepadanya dengan sebenar-benarnya. Dan mayoritas anak hanyalah menjadi rusak dengan sebab bapak-bapaknya dan pelantaran yang dilakukan terhadapnya serta tidak mengajari mereka kewajiban-kewajiban dan sunnah-sunnah diennya.”

Orang tua yang menyia-nyiakan anaknya disaat kecil sehingga si anak tidak bermanfaat bagi diri mereka sendiri dan tidak bermanfaat bagi orang tuanya di saat dewasa. Sebagaimana sebagian mereka mencela anaknya karena durhaka, maka si anak berkata, “Wahai ayah, sesungguhnya engkau telah durhaka kepadaku saat aku kecil, maka aku durhaka kepadamu di saat aku dewasa, engkau telah menyia-nyiakanku saat aku kecil, maka aku menyia-nyiakanmu di masa tua.” (Tuflahul Wadud).

Penyia-nyiaan dan kerugian ini sangatlah jelas dihari kiamat, dimana seseorang lari dari saudaranya, ibunya, ayahnya, istrinya dan anak-anaknya. Mereka bercerai-berai dan tidak bertemu selama-lamanya, baik karena keluarga mereka telah pergi ke surga, sedangkan mereka pergi ke neraka, atau mereka seluruhnya masuk neraka, sehingga tidak ada pertemuan dan kebahagiaan. –na’udzubillah-

Demikianlah, bahwa kerugian sebenarnya yang terbesar bukanlah kerugian dari kerugian-kerugian yang dialami bani Adam di dunia ini berupa perniagaan atau harta benda, pangkat/jabatan bukan pula berupa kerugian ijazah-ijazah dan pekerjaan dinas atau hal-hal lain yang selalu menjadi bahan perhatian dan pemikiran manusia.

Namun kerugian yang sebenarnya adalah kerugian jiwa dan keluarga dengan tafrith (menyepelekan) pada hak Allah atas dirinya dan atas anak-anaknya berupa taat kepada-Nya, mentauhidkan-Nya, istiqamah diatas ajaran-Nya, mempelajari dien-Nya, mendidik keluarga dan mentadribnya dengan etika-etika Islamiyah yang terpuji serta membimbing mereka atas ketaatan juga menjauhkan mereka dari maksiat dan kemungkaran.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya):
“Dan kamu akan melihat mereka dihadapkan ke neraka dalam keadaan tertunduk karena (merasa) hina, mereka melihat dengan pandangan yang lesu. Dan orang-orang yang beriman berkata: ‘Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari kiamat.’ Ingatlah sesungguhnya orang-orang zalim itu berada dalam azab yang kekal. Dan mereka tidak akan mempunyai pelindung yang dapat menolong mereka selain Allah. Barangsiapa dibiarkan sesat oleh Allah tidak akan ada jalan keluar baginya (untuk mendapat petunjuk). Penuhilah seruan Tuhanmu sebelum datang dari Allah suatu hari yang tidak dapat ditolak (atas perintah dari Allah). Pada hari itu kamu tidak memperoleh tempat berlindung dan tidak (pula) dapat mengingkari (dosa-dosamu).” (Qs. Asy-Syura:45-47).

Kondisi ini sungguh jauh berbeda dengan orang-orang mukmin yang menghabiskan umur mereka dengan ketaatan kepada Allah dan mencari keridhaan-Nya pada diri mereka, anak keturunannya dan keluarga-keluarganya. Mereka membimbing anak-istrinya dengan tarbiyyah shalihah dan menanamkan kalimatut-taqwa pada diri mereka dan sungguh mereka akan mendapatkan manfaat pada diri anak-istrinya di dunia ini dengan sikap baktinya dan kepatuhannya terhadap mereka, dan setelah kematian mereka tetap mendapatkan manfaat berupa do’a dan amal shalihnya, serta bisa berkumpul dengannya di hari kiamat, disertakan disurga, tidak ada rasa takut atas mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya):
“Dan orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di dalam surga), dan Kami tidak mengurangi sedikitpun pahala amal (kebajikan) mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya. Dan Kami berikan kepada mereka tambahan dengan buah-buahan dan daging dari segala jenis yang mereka ingini. (di dalam surga itu) mereka saling mengulurkan gelas yang isinya tidak (menimbulkan) ucapan yang tidak berfaedah ataupun perbuatan dosa. Dan disekitar mereka ada anak-anak muda yang berkeliling untuk (melayani) mereka, seakan-akan mereka itu mutiara yang tersimpan. Dan sebagian mereka berhadap-hadapan satu sama lain saling bertegur sapa. Mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami dahulu, sewaktu berada di tengah-tengah keluarga kami merasa takut (akan azab). Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka. Sesungguhnya kami menyembah-Nya sejak dahulu. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Melimpahkan Kebaikan, Maha Penyayang’.” (QS. Ath-Tur:21-28).

Oleh sebab itu, bagi orang-orang yang berakal lagi paham, mereka menangani tarbiyah anak-anak dan keturunannya dengan perhatian yang sangat serius, mereka lebih memperhatikan hal tersebut diatas banyak hal.

Lihatlah Lukman -yang telah Allah karuniakan ilmu dan hikmah- bagaimana beliau menasehati putranya dan mengajarkan islam, tauhid, akhlak dan budi pekerti yang terpuji. Beliau membimbingnya pada sumber-sumber kebaikan dan sikap bakti. Sebagaimana di kisahkan dalam Al-Qur’an Surat Luqman (yang artinya) berikut ini:
“Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, “Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (13)
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu.” (14)
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu, maka Aku beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (15)
“(Lukman berkata), “Wahai anakku! Sungguh, jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau langit atau bumu, niscaya Allah akan memberinya (balasan). Sesungguhnya Allah Mahahalus, Mahateliti.” (16)
“Wahai anakku! Laksanakanlah salat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting.” (17)
“Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.” (18)
“Dan sederhanakanlah dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (19)

Menurut Abdul Hakim bin Amir Abdat, nasehat Luqman diatas, merupakan nasehat yang besar dan agung bagi pendidikan anak. Nasehat itu dibina atas dasar tashfiyah (pembersihan) dan tarbiyah (pendidikan) yang meliputi beberapa pelajaran dan fawaa-id, diantaranya:
1). Kewajiban setiap bapak mengajarkan agama kepada anak-anaknya;
2). Pelajaran atau da’wah yang wajib diberikan pertama kali adalah pendidikan tauhid dan yang menjadi lawannya yaitu syirik;
3). Kebesaran dan kemuliaan tauhid;
4). Syirik adalah dosa manusia yang paling besar kepada Rabb-nya;
5). Kewajiban berbuat kebaikan kepada orang tua di dalam perkara-perkara yang diperintahkan atau dibenarkan oleh syara’;
6). Kebesaran dan kemuliaan hak orang tua;
7). Hak ibu lebih tinggi dari bapak;
8). Tidak mengikuti dan manta’ati keduanya di dalam maksiat kepada Allah, akan tetapi tidak ada halangan untuk tetap berbuat kebaikan kepada keduanya di dalam kehidupan dunia hatta keduanya berlainan agama;
9). Kewajiban mengikuti kebenaran meskipun menyalahi orang tua.
10). Kewajiban bersyukur kepada Allah;
11). Kewajiban bersyukur kepada kedua orang tua;
12). Kewajiban mendirikan salat;
13). Kewajiban amar ma’ruf dan nahi munkar;
14). Kewajiban sabar;
15). Mengenal dan mendahulukan yang lebih penting dan utama;
16). Larangan sombong;
17). Larangan membanggakan diri;
18). Adab berjalan di muka bumi;
19). Adab-adab berjalan;
20). Adab-adab berbicara.

Selanjutnya kita bisa melihat kisah para Nabi -manusia yang paling mengerti dan bijak- lihatlah bagaimana mereka sangat memperhatikan keadaan anak-anaknya dan mewasiatkan kepada agar taat kepada Allah Azza wa Jalla, mentauhidkan-Nya, serta berpegang teguh pada dien-Nya yang haq.
“Dan Ibrahim mewasiatkan (ucapan) itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’kub. ‘Wahai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” (QS. Al-Baqarah:132).

Perhatikan Nuh ‘alaihissalam, bagimana beliau sangat berupaya agar anaknya mendapatkan hidayah, beliau berusaha keras menyelamatkan anaknya dari kekafiran dan kesesatan hingga akhir kesempatan yang sangat menentukan. Beliau tiada berhenti dari menasehati anaknya dan mendakwahinya pada jalan kaum mikminin. Beliau tidak berputus asa dari hidayah untuk anaknya, padahal anaknya itu mu’anis (membangkang) dan mustakbir. Sebagaimana dikisahkan dalam Al-Qur’an (yang artinya):
“Dan kapal itu berlayar membawa mereka ke dalam gelombang laksana gunung-gunung. Dan Nuh memanggil anaknya, ketika dia (anak itu) berada di tempat yang jauh terpencil, ‘Wahai anakku! naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah engkau bersama orang-orang kafir.’ Dia (anaknya) menjawab, ‘Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menghindarkan aku dari air bah!’ (Nuh) berkata, ‘Tidak ada yang melindungidari siksaan Allah pada hari ini selain Allah Yang Maha Penyayang.’ Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah dia (anak itu) termasuk orang yang ditenggelamkan.” (QS.Hud:42-43).

Inilah Khatamul Anbiya wal Mursalin Shallallahu ‘alaihi wa sallam, manusia paling sempurna diennya, paling baik akalnya dan paling mulia akhlaknya. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkannya, dengan firman-Nya (yang artinya):
“Dan Perintahkanlah keluargamu melaksanakan salat dan sabar dalam mengerjakannya…” (QS. Thaha:132).

Lihatlah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan perhatikan kesungguhannya terhadap anak-anak kecil dan anak-cucu serta perhatiannya untuk mengajari dan melatih mereka. perhatikanlah tuntunan beliau bersama mereka, tentulah akan engkau dapati tuntunan terbaik dan paling sempurna. Beliau adalah sang pengajar dan sang pendidik yang telah mempersiapkan generasi terbaik, yang lewat tangan-tangan mereka Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan dunia timur dan barat, serta dengan kerunia iman dan jihad mereka, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengangkat tinggi panji tauhid dengan setinggi-tingginya sehingga mereka menguasai dunia.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kita (baik-baik) terhadap anak, dalam banyak hadits-haditsnya dan beliau menjelaskan betapa besar tanggung jawab para bapak terhadap anak-anaknya di hadapan Allah Azza wa Jalla. Diantaranya sebagaimana hadits riwayat Ibnu Umar ra.:
Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: “Ketahuilah! Masing-masing kamu adalah pemimpin, dan masing-masing kamu akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpin. Seorang raja yang memimpin rakyat adalah pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin anggota keluarganya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap mereka. Seorang istri juga pemimpin bagi rumah tangga serta anak suaminya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya. Seorang budak juga pemimpin atas harta tuannya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinnya. Ingatlah! Masing-masing kamu adalah pemimpin dan masing-masing kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” (Shahih Muslim No.3408).

Dan diantaranya juga apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Ma’qil Ibnu Yasar, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapapun hambanya yang Allah percayakan memimpin rakyat, terus dia tidak berupaya sungguh-sungguh menasehatinya, maka dia tidak akan mendapatkan wangi surga.”

Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meletakkan kaidah dasar yang intinya adalah bahwa seorang anak itu akan tumbuh dewasa sesuai dengan agama orang tuanya, kedua orang tuanyalah yang besar pengaruhnya terhadap mereka. Rasulullah bersabda, “Setiap anak yang baru dilahirkan itu lahir dengan membawa fitrah. Orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi atau Nasrani.”

Oleh karena itu, ketika anak-anak mulai bisa berbicara hendaknya di-talqin-kan kepada mereka kalimat tauhid. Hakim meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ajarkan kalimat Laa ilaaha illallah sebagai kelimat pertama dan talqin-kan kepada mereka Laa ilaaha illallah ketika menjelang ajal mereka.”
Abdurrazzaq meriwayatkan bahwasanya para sahabat itu suka untuk mengajarkan kepada anak-anak mereka kalimat Laa ilaaha illallah sebagai kalimat yang pertama kali bisa mereka ucapkan secara fasih sampai tujuh kali, sehingga kalimat ini menjadi kalimat pertama mereka.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Nafkahilah keluargamu sesuai dengan kemampuan yang kau miliki, dan janganlah kamu angkat tongkatmu di hadapan mereka serta tanamkanlah pada mereka rasa takut pada Allah.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Bukhari).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengajarkan shalat kepada anak-anak kecil di usia 7 (tujuh) tahun, dan mewasiatkan agar memukul mereka untuk shalat di usia 10 (sepuluh) tahun[1], dan bahkan karena sangat perhatiannya terhadap mereka serta keseriusan beliau terhadap terbiyah mereka, sesungguhnya beliau membawa mereka bersamanya dan menuntun mereka ke masjid[2] serta mendudukkannya disamping beliau[3] atau membawa mereka sedangkan[4] beliau khutbah diatas mimbar, dan dalam hal itu beliau tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan sampai-sampai beliau shalat menggendong Umamah binti Zainab diatas pundaknya[5], dan beliau memanjangkan shalat karena mereka, sebagaimana beliau lakukan tatkala ditunggangi Hasan atau Husain di dalam shalat[6] dan beliau memendekkan shalatnya kerena mereka juga, sebagaimana beliau lakukan ketika mendengar tangisan bayi bersama ibunya dalam shalat[7], bahkan telah tsabit (tetap) darinya bahwa beliau mengakhirkan ifadlah (pulang) dari Arafah karena Usamah yang beliau tunggu, dan beliau tidak meninggalkan Arafah sehingga Usamah datang padahal saat itu ia masih kanak-kanak[8]. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat kasih sayang terhadap mereka[9], bermain-main[10] dengan mereka, mengucapkan salam terhadap mereka di jalanan[11], membonceng mereka di belakangnya[12] dan makan bersama mereka[13].

Wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ibnu ‘Abbas sedangkan dia masih kecil[14] adalah sangat masyhur, lagi penuh dengan makna-makna tawakal, yaqin, ta’dhim Allah Azza wa Jalla, isti’anah terhadap-Nya saja dan hal-hal lainnya yang diperlukan banyak orang-orang dewasa dan para bapak, bagimana gerangan seandainya para anak dididik di atas nilai-nilai ini semenjak dini ?!...

Tidak diragukan bahwa perkataan yang sangat besar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap anak-anak kecil dan bimbingannya terhadap mereka dengan tarbiyah inilah serta arahan-arahannya yang telah mencetak generasi terbaik -sepanjang masa- dan tidaklah apa yang dituliskan ini melainkan secuil dari gundukan besar perhatian Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap anak keturunan, yang seandainya ditelusuri hal tersebut tentunya bahasannya sangatlah luar biasa panjang.

Dari kesemuanya itu nampak bagi kita begitu besar tanggungjawab ayah atas anak-anaknya, betapa besar dan beratnya amanah ini, dan nampaklah bahaya yang dasyat dan kesalahan yang besar yang jatuh didalamnya, banyak para bapak yang muslim pada zaman ini yang sedikit kebaikannya dan besar keburukannya, serta berbagai macam fitnah yang menerjang dengan sebab mereka melalaikan tarbiyah anak-anaknya dan mereka taqshir (teledor) terhadapnya serta mencampakkan anak-anaknya pada kemungkaran-kemungkaran tanpa peduli atau perhatian. Mereka mengabaikan tanggungjawab besar yang Allah bebankan kepada mereka, meremehkannya, dan menyepelekan racun-racun, kebejatan, kemungkaran dan kemaksiatan yang merasuki anak-anaknya.

Dan yang sangat mengherankan, sesungguhnya dengan hal ini semua terdapat mayoritas para bapak itu adalah orang yang mendengung-dengungkan / mendakwahi manusia untuk menjauhi thawaghit (thaghut-thaghut) dan bara’ (berlepas diri) dari mereka, sedangkan mereka itu telah menyerahkan anak-anak mereka dan buah hati belahan jiwanya kepada thaghut, dia (thaghut) mendidik mereka (anak-anak) untuk loyal kepadanya dan mengarahkan sekehendak dia. Dan diantara para bapak itu ada yang mendengung-dengungkan dakwah pada jihad dan pada meninggikan kalimat tauhid serta dalam rangka menegakkan dailatul islam, sedangkan mereka itu hingga sekarang tidak mampu menegakkannya di rumah-rumah mereka dan di tengah anak-anaknya, dan mereka sampai detik inipun tidak mampu berlepas diri dengan berlepas diri yang sebenarnya dari jahiliyah masyarakat-masyarakat ini, dari najisnya dan kotorannya.

Mereka tidak mampu menjauhi kerusakannya dengan diri mereka sendiri dan anak-anaknya, bahkan mereka masih bergumul dengan lembaga-lembaganya yang bathil, sekolah-sekolahnya yang lebih mengutamakan belajar tentang dunia dari pada akherat, lembaga-lembaga pendidikannya yang lebih mengutamakan makan berjamaah dari pada shalat berjamaah. Dan bahkan mereka itu terus bersemangat untuk tidak meninggalkan dan menjauhinya.

Kiranya, kita sekarang ini berada pada zaman jahiliyyah seperti yang pernah dilalui Islam atau bahkan lebih gelap lagi. Setiap apa yang ada disekeliling kita adalah jahilliyyah. Pola pikir manusia dan aqidah-aqidahnya, adat-istiadat mereka dan kebiasaan yang diwariskannya, sumber-sumber pergerakan mereka, seni-seninya dan etika-etikanya, hukum-hukum mereka dan undang-undangnya, hingga banyak hal yang kita duga sebagai tsaqafah Islamiyyah, referensi-referensi Islamiyyah, filsafat Islamiyyah dan tafkir Islamiyyah, ia juga produk-produk jahiliyyah -na’udzibillah-

“Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dan keluargaku dari (akibat) perbuatan yang mereka kerjakan.” (QS. Asy-Syu’ara:169).

“Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak-cucuku orang yang tetap melaksanakan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.” (QS. Ibrahim:40).

“Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS.Al-Furqan:74).



Catatan:

[1] Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Perintahkanlah anak-anak untuk mendirikan shalat ketika berumur tujuh tahun. Dan ketika dia telah berumur sepuluh tahun, maka pukullah dia kalau dia meninggalkan shalat. (hadits shahih diriwatkan Abu Dawud dan lain-lain dari jalan Sabrah bin Ma’bad).
Hadits perintah anak kecil shalat pada usia tujuh tahun diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad dan yang lainnya dengan sanad yang shahih.

[2] Sebagaimana dalam hadits Umamah dalam al-Bukhari dan yang lainnya, dan hadits al-Imam Ahmad, an-Nasa’I dan yang lainnya, dari Abdullah Ibnu Syaddad dari ayahnya, barkata: (Rsulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dalam salah satu shalat maghrib atau isya, sedangkan beliau menggendong Hasan atau Husain, maka Rasulullah maju, terus meletakkannya kemudian takbir untuk shalat).

[3] Sebagimana dalam hadits Abu Bakrah dalam al-Bukhari (Saya mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas mimbar sedangkan Hasan ada disampingnya).

[4] Sebagaimana dalam khabar turunnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari mimbar menghampiri Hasan dan Husain serta menggendong keduanya dan ucapannya Maha Benar Allah, “Harta dan anak-anak kalian ini hanyalah fitnah.” Diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad, Abu Dawud, dan yang lainnya.

[5] Shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan beliau menggendong Usamah, diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim serta yang lainnya.

[6] Sebagimana dalam hadits al-Imam Ahmad, an-Nasa’i dan yang lainnya.

[7] Hadis riwayat Anas ra., ia berkata: Rasulullah saw. pernah mendengar tangis anak kecil bersama ibunya ketika sedang salat. Maka beliau membaca surat yang ringan atau surat yang pendek. (Shahih Muslim No.722).
Hadits Rasulullah memendekkan shalat kerena tangisan anak kecil juga diriwayatkan al-Bukhari dan yang lainnya.

[8] Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat (4/63) dengan isnad para perawinya tsiqat dari Hisyam Ibnu ‘Urwah dari bapaknya: Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan ifadhah dari Arafah karena menunggu Usamah.

[9] Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was sallam pernah mencium Hasan bin Ali dan di situ ada Aqra’ bin Habis sedang duduk. (melihat itu) lalu Aqra’ berkata, Sesungguhnya aku mempunyai sepuluh orang anak, aku tidak pernah mencium seorangpun diantara mereka.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memandangnya, kemudian beliau bersabda, “Barang siapa yang tidak penyayang niscaya tidak disayang.” (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan Ahmad).

[10] Sebagaimana dalam hadits (Wahai ‘Umair, apa yang dilakukan Nughair) dalam al-Bukhari dan yang lainnya. Dan begitu hadits Mahmud Ibnu ar-Rabi’ dalam al-Bukhari juga, berkata,: saya mengingat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam semburan yang beliau semburkan diwajahku saat saya berumur lima tahun dari ember.” (al-Fath, I:172).

[11] Hadis riwayat Anas bin Malik ra.: Rasulullah saw. pernah melewati anak-anak lalu beliau mengucapkan salam kepada mereka. (Shahih Muslim No.4031).

[12] Sebagaimana dalam hadits Ibnu ‘Abbas yang akan datang –pada catatan nomor 14-: (wahai anak, sesungguhnya aku akan ajarkan kepadamu beberapa kalimat) dan dalam hadits tersebut dijelaskan bahwa beliau berada dibelakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[13] Dari Umar bin Abi Salamah, dia berkata, “dahulu aku adalah kanak-kanak yang berada di dalam pengawasan dan tarbiyah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tanganku (kalau makan) selalu berputar-putar di piring besar. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, “Wahai anak, sebutlah nama Allah!”
(Dalam riwayat lain, “Wahai anak, apabila engkau makan maka ucapkanlah Bismillah” –riwayat yang kedua ini diriwayatkan imam Ath Thabraniy)
“dan makanlah dengan tangan kananmu. Dan makanlah dari apa-apa yang dekat kepadamu.”
(Berkata Umar bin Abi Salama) “Maka begitulah selanjutnya terus menerus sifat makanku sesudah itu.”
Hadits shahih dikeluarkan oleh Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad dan Ath-Thabrani dan lain-lain imam ahli hadits.

[14] Dari Ibnu Abbas dia berkata: Pada suatu hari aku pernah berada di belakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau bersabda, “Wahai anak! Sesungguhnya aku akan mengajarkan kepada engkau beberapa kalimat.”
Dan dalam riwayat lain, “Sesungguhnya aku akan menceritakan kepada engkau hadits.”
Dan di dalam riwayat yang lain lagi, “Maukah aku ajarkan kepada engkau beberapa kalimat yang Allah akan memberi manfaat kepadamu dengannya?”
Maka aku menjawab, “Ya mau!”
(Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda):
1). Peliharalah (Perintah-perintah dan larangan-larangan) Allah niscaya Allah akan memeliharamu.
2). Peliharalah (hak) Allah niscaya engkau dapati Allah dihadapanmu.
3). Kenallah kepada-Nya ketika engkau berada didalam kesenangan, niscaya Dia akan mengenalmu ketika engkau berada didalam kesusahan.
4). Dan apabila engkau meminta, maka mintalah kepada Allah. Dan apabila engkau memohon pertolongan, maka mohonlah pertolongan kepada Allah.
5). Dan ketahuilah! Sesungguhnya umat itu kalau mereka berkumpul untuk memberikan suatu manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak bisa memberikan manfaat sedikitpun juga kepadamu kecuali (manfaat) yang Allah telah tentukan untukmu. Dan jika mereka berkumpul untuk memberikan sesuatu bahaya kepadamu, niscaya mereka tidak bisa sedikitpun juga membahayakanmu kecuali (bahaya) yang Allah telah tentukan atasmu. (Karena) telah diangkat pena dan telah kering lembaran-lembaran (yakni telah selesai ketentuan-ketentuan bagi hamba).
6). Dan ketahuilah! Sesungguhnya bersabar atas apa-apa yang tidak engkau sukai terdapat kebaikan yang banyak sekali.
7). Dan sesungguhnya pertolongan itu bersama kesabaran.
8). Dan sesungguhnya kelapangan itu bersama kesusahan.
9). Dan sesungguhnya bersama kesusahan ada kemudahan.”
Hadits shahih dikeluarkan oleh Imam Tirmidzi dan Ahmad dan Thamrani dan lain-lain.



-----
Daftar pustaka:
- Al-Quran Dan Terjemahnya - Departemen Agama RI.
- Abdul Hakim bin Amir Abdat, Menanti Buah Hati & Hadiah Untuk Yang Dinanti, Pustaka Mu’awiyah bin Abi Sufyan, 2009.
- Abdul Mun’im al-Hasyimi, Akhlak Rasul Menurut Bukhari & Muslim, Gema Insani, 2009.
- Kumpulan Hadits Dari Shahih Muslim.
- Muhammad Ibnu Abdul Hafidh Suwaid, Manhaj Tarbiyah Nabawiyah Lith Thifli (Cara Nabi Mendidik Anak) diterjemahkan oleh Hamim Thohari, B.IRK (HONS) dkk, Al-I’tishom Cahaya Umat, 2004.
- Syaikh Abu Muhammad ‘Ashim Al-Maqdisi, I’daad al-Qaddah al-Fawaaris bi-Hajri Fasaad al-Madaaris (Begitu Besar Tanggungjawab Bapak Terhadap Anak-anaknya) diterjemahkan oleh Abu Sulaiman Aman Abdurrahman, Hunafa Media, 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar