Minggu, 06 Juni 2010

CINTA KASIH SEORANG IBU, .... Cinta Dari Darah dan Ruh ....

Bismillahi Nawaitu Lilahi Ta'ala....

Lelaki itu sudah mengabdi kepada ibunya sampai tuntas. Ia menggendong ibunya yang lumpuh. Memandikan dan mensucikannya dari semua hadatsnya. Ikhlas penuh ia melakukannya. Itu balas budi dari seorang anak yang menyadari bahwa perintah berbuat baik kepada orang tua diturunkan Allah persis setelah perintah tauhid.

Tapi entah karena dorongan apa ia kemudian bertanya kepada Umar bin Khattab: “Apakah pengabdianku sudah cukup untuk membalas budi ibuku?”. Lalu Umar pun menjawab, “Tidak! Tidak cukup! Karena kamu melakukannya sembari menunggu kematiannya, sementara ibumu merawatmu sembari mengharap kehidupanmu. ”

Tidak! Tidak! Tidak!

Tidak ada budi yang dapat membalas cinta seorang ibu. Apalagi mengimbanginya. Sebab cinta ibu mengalir dari darah dan ruh. Anak adalah buah cinta dua hati. Tapi ia tidak dititip dalam dua rahim. Ia dititip dalam rahim sang ibu selama sembilan bulan: disana sang hidup bergeliat dalam sunyi sembari menyedot saripati kehidupan sang ibu. Ia lalu keluar diantara darah: inilah ruh baru yang dititip dari ruh yang lain.

Itu sebabnya cinta ibu merupakan cinta misi. Tapi dengan ciri lain yang membedakannya dari jenis cinta misi lainnya, darah! Ya, darah! Anak adalah metamorfosis dari darah dan daging sang ibu, yang lahir dari sebuah kesepakatan. Cinta ini adalah campuran darah dan ruh. Ketika seorang ibu menatap anaknya yang sedang tidur terlelap, ia akan berkata di akar hatinya: itu darahnya, itu ruhnya! Tapi ketika ia memandang anaknya sedang merangkak dan belajar berjalan, ia akan berkata di dasar jiwanya: itu hidupnya, itu harapannya, itu masa depannya! Itu silsilah yang menyambung kehadirannya sebagai peserta alam raya.

Itu kelezatan jiwa yang tercipta dari hubungan darah. Tapi di atas kelezatan jiwa itu ada kelezatan ruhani. Itu karena kesadarannya bahwa anak adalah amanat langit yang harus dipertanggungjawabk an di akhirat. Kalau anak merupakan isyarat kehadirannya di muka bumi, maka ia juga penentu masa depannya di akhirat. Dari situ ia menemukan semangat penumbuhan tanpa batas: anak memberinya kebanggaan eksistensial, juga sebuah pertanggungjawaban dan sepucuk harapan tentang tempat yang lebih terhormat di surga berkat doa-doa sang anak.

Dalam semua perasaan itu sang ibu tidak sendiri. Sang ayah juga berserikat bersamanya. Sebab anak itu bukti kesepakatan jiwa mereka. Mungkin karena kesadaran tentang sisi dalam jiwa orang tua itu, DR. Mustafa Sibai menulis persembahan kecil di halaman depan buku monumentalnya “Kedudukan Sunnah Dalam Syariat Islam”. Buku ini, kata Sibai, kupersembahkan kepada ruh ayahandaku yang senantiasa melantunkan doa-doanya: “Ya Allah, jadikanlah anakku ini sebagai sumber kebaikanku di akhirat kelak.”

Doa sang ibu dan sang ayah selamanya merupakan potongan-potongan jiwanya! Karena itu ia selamanya terkabul!

Serial Cinta - Anis Matta

Cinta Ibu atau Suami?

Ketika seorang wanita memutuskan untuk mengarungi
bahtera rumah tangga, tentu dia harus sudah siap
dengan segala konsekuensinya. Termasuk harus siap
berbagi perhatian dan cinta kepada ibu yang
melahirkan, membesarkan dan mendidiknya hingga dewasa.
Pun kepada suami yang akan menemani sampai akhir
hidupnya.

Pada kenyataannya tidak mudah untuk berlaku adil
terhadap keduanya. Terutama bagi seorang wanita yang
tidak pernah berpisah dengan ibunya sejak kecil hingga
dewasa dan memiliki kedekatan psikologis yang erat,
akan terasa sangat berat jika harus berpisah untuk
mengikuti suaminya.

Terkadang kita (sebagai seorang wanita) lebih memilih
untuk tetap tinggal bersama ibu, sementara suami
sebenarnya merasa kurang sreg bila harus tinggal di
rumah mertuanya. Keadaan seperti itu kurang baik bagi
perjalanan keluarga yang bersangkuta. Bakal terjadi
perasaan tak enak, bahkan tertekan pada suami.

Berbagi Atau Memilih Cinta?

Sebagai seorang muslimah yang mengerti kewajiban
sebagai seorang istri, mau tidak mau, suka atau tidak,
ketika kita sudah menikah, tentu ketaatan kepada suami
adalah lebih utama (selama masih berada dalam
kebaikan), sekalipun sebenarnya berat untuk berpisah
dengan ibu yang sangat dicintainya.

Suami yang saleh biasanya akan memberikan kesempatan
dan mendukung sang istri untuk tetap memberikan
perhatian dan kasih sayang kepada ibunya. Sehingga
tidaklah perlu memilih antara cinta kepada
suami/keluarga atau dengan ibu sendiri.

Ada banyak cara mencurahkan kasih sayang kepada ibu
tanpa harus mengorbankan cinta kepada suami.

Contohnya, bila telah jauh dari orang tua, atau
memiliki rumah tangga sendiri, bisa dengan cara
menjenguk ibu bersama anak dan suami. Atau sesekali
mengajaknya menginap di rumah agar kita dapat
melepaskan rindu dan mendengarkan dengan sabar segala
curahan hatinya. Pun sekedar menghiburnya lewat
telepon.

Sungguh berbahagia memiliki suami yang bersedia
melakukan semua itu bersama-sama kita dan anak-anak.
Hal itu bukannya mengurangi cinta terhadap suami,
tetapi justru semakin membuat kita mencintainya hari
demi hari.

Namun..., tidak bisa dipungkiri, ada hal-hal khusus
yang berkaitan dengan cinta kita kepada ibu dan suami
yang jika kita tidak mensikapinya dengan cermat justru
akan menimbulkan masalah yang cukup mengganggu. Apa
itu?

Bila Sibuk Menjadi Penghalang

Kalau mau jujur, sebenarnya dengan semakin lama usia
perkawinan kita, anak-anak bertambah banyak, dan
kesibukan di tempat kerja (bagi yang bekerja) semakin
padat, kita menjadi agak jarang memperhatikan ibu yang
memang tidak tinggal bersama kita. Kita lupa
mengingatnya untuk beberapa waktu. Dan akhirnya
perasaan cinta kita pun mulai luntur. Kita mungkin
masih mendoakannya setiap habis shalat, tapi jelas
terasa itu pun tanpa ruh. Doa itu hanya menjadi
semacam tradisi ritual, tanpa muatan rasa rindu.

Rasanya memang kita perlu merenungkan kembali,
terutama sehabis shalat fardlu atau shalat malam,
sebenarnya apa yang menyebabkan kita sering melupakan
ibu. Benarkah cinta kita kepada ibu kita sudah mulai
berkurang? Kalau tidak, mengapa cinta kita pada suami
(dan anak) saat ini terasa lebih dominan? Apakah ini
dikarenakan ibu sudah tidak lagi dapat menjawab
kebutuhan-kebutuhan kita secara langsung, sementara
suami dapat menafkahi, melindungi, dan memperhatikan
kita? Lho, jadi... selama ini kita mencintai ibu atau
suami hanya karena kita dapat bergantung kepadanya?

Kalau memang demikian ukurannya, alangkah tidak
adilnya kita. Alangkah dangkalnya cinta kita kepada
ibu atau suami kita atau bahkan (mungkin kelak) kepada
anak-anak kita.

Mencintai untuk Meraih Ridha Allah

Dengan pikiran yang jernih dan perasaan penuh rendah
hati di hadapan Allah untuk mendapatkan petunjuk,
akhirnya kita sadari bahwa sesungguhnya berlangsungnya
perasaan cinta yang kurang proposional itu tidak akan
terjadi jika kita mengawali cinta kita dengan
motivasi/niat yang benar. Jika awal mencintai ibu atau
suami adalah untuk meraih cinta Allah, rasanya cinta
kita tidak perlu pudar atau salah arah

Sebenarnya, masalah ini dapat dipahami karena dalam
level tertentu cinta itu memang harus diupayakan. Nah,
dalam upaya mewujudkan cinta inilah mungkin sekali
kita terganggu atau terbelokkan. Namun jika kita
memiliki niat atau tujuan akhir yang jelas, yaitu
untuk meraih cinta Allah, maka kita dapat mengupayakan
cinta kita agar tetap berada pada jalur yang benar.

Cinta kepada Allahlah yang akan menjadi mercusuar bagi
cinta-cinta kita yang lain itu agar tetap lurus,
tulus, bermakna dan tidak kehilangan arah. Bahkan
sebenarnya cinta kita kepada Allahlah yang akan
melahirkan cinta-cinta yang lain sebagaimana pepatah
bijak mengatakan, "hanya dengan memiliki, engkau dapat
berbagi". Bersumber dari cinta Allah kita dapat
membagi cinta itu kita kepada ibu, suami, anak-anak
kita dan orang lain dengan hati yang nyaman..

Sedang untuk memupuk rasa cinta yang sudah ada itu,
berdasarkan pengalaman, ada beberapa tips, di
antaranya:

- menjaga silaturrahim bersama-sama suami dan
anak-anak ke rumah ibu (jangan memandang suami atau
anak dan ibu adalah dua pihak yang bertentangan dalam
hal cinta/perhatian),
- segera menjenguknya bila beliau sakit, mendoakannya
setiap selesai salat dengan penuh ketulusan sambil
mengingat jasa dan kebaikannya yang tak mungkin
terbalas,
- dan tidak segan-segan meminta maaf bila kita berbuat
salah atau menyinggung hatinya.

Yang jelas semua itu diawali dengan semangat memberi,
bukan meminta.

"Cintailah (dulu), (maka) engkau akan dicintai".
Itulah prinsip cinta yang fundamental.


Sumber :
http://mhs.blog.ui.ac.id/herman.pamuji/2010/05/16/cinta-dari-darah-dan-ruh/
http://shohwatulislam.multiply.com/journal/item/127/Cinta_Ibu_atau_Suami
http://www.boemi-islam.com/?q=node%2F266


ASemoga Bermanfaat.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar